TintaSiyasi.com -- Pada tanggal 16 Juni 2023, di Yogyakarta, Ketua Majelis Dewan Guru Besar (MDGB) Perguruan Tingggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), Harkristuti Hakrisnowo menegaskan bahwa gelar profesor kehormatan tidak bisa sembarangan diberikan. Alasannya, untuk menjadi profesor kehormatan harus melalui tahapan-tahapan panjang. Salah satu yang paling utama adalah melakukan Tridharma Perguruan Tinggi. Bahkan setelah menjadi profesor harus lebih banyak lagi menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi penelitian dan pengabdian masyarakat.
Sementara itu, ada yang menilai bahwa praktik penganugerahan gelar (yang benar adalah jabatan akademik) profesor kehormatan dewasa ini terkesan "diobral" diberikan kepada para pejabat negara dan bahkan satu orang bisa dianugerahi jabatan akademik profesor lebih dari satu kali. Kebijakan semacam itu dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi. Lalu, bagaimana idealnya penganugerahan jabatan akademik profesor tersebut?
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada Pasal 72 ayat 5 menyebutkan bahwa Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik Profesor atas usul Perguruan TInggi.
Kemudian pada Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 Pasal 2 disebutkan bahwa Menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai Profesor/Guru Besar tidak tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
Jadi, ada alasan khusus pengukuhan seseorang sebagai guru besar tidak tetap yakni:
Dilatarbelakangi oleh karena yang bersangkutan memiliki prestasi luar biasa dalam bidangnya. Ini juga berarti seharusnya seseorang tersebut memiliki rekam jejak akademik berupa studi, baik di tingkat sarjana maupun pasca sarjana. Bagaimana mungkin di era Revolusi Industri 4.0 seseorang memiliki prestasi luar biasa di bidangnya tanpa pernah menempuh pendidikan di bidangnya tersebut.
Di samping itu, lalu dengan bukti apa seseorang berprestasi luar biasa di bidangnya?
(1) Prestasi tentu antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk karya-karya ilmiah, penelitian dan pengabdian.
Misalnya telah menghasilkan banyak buku ilmiiah di bidangnya sehingga layak disebut sebagai ahli, menulis di jurnal-jurnal bereputasi nasional dan internasional terkait ilmu di bidangnya, apalagi jurnal tersebut berindeks Scopus.
(2) Atau pula seseorang dinilai telah banyak mengembangkan pemikiran dan langkah-langkah progresif dan inovatif sebagi terobosan kreatif (creative breakthrough) yang mencerminkan sikap tanggap, keberanian sekaligus menunjukkan kapasitas dan kompetensinya yang luar biasa sebagai seorang praktisi maupun teoretisi.
Memang harus diakui bahwa telah terjadi gelar guru besar (GB) tidak tetap diberikan kepada beberapa tokoh seperti SBY dari Universitas Pertahanan Nasional sebelum beliau mengakhiri tugasnya sebagai presiden, Otto Hasibuan dari Universitas Jayabaya, serta Chairul Tanjung dari Universitas Airlanga.
Landasan peraturannya adalah Surat Dirjen Dikti no. 454/E/KP/2013 tanggal 27 Februari 2013, Pasal 72 ayat 5 UU Nomor 12 Tahun 2012 bahwa Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik Profesor atas usul Perguruan Tinggi, dan Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 bahwa Menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, sebagai berikut:
(1) Seseorang yang dicalonkan sebagai Guru Besar tidak tetap bukan berasal dari akademisi.
(2) Calon Guru Besar Tidak Tetap memiliki karya yang bersifat “tacit knowledge” yang memiliki potensi dikembangkan menjadi “explicit knowledge” di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia.
(3) Calon Guru Besar Tidak Tetap diajukan oleh perguruan tinggi setelah melalui Rapat Senat Perguruan Tinggi kepada Menteri dengan dilampiri karya-karya yang bersangkutan.
(4) Romo Mangunwijaya (lingkungan/pemukiman), dan Abdulrahman Wahid (pluralisme) merupakan contoh sosok yang layak sebagai Guru Besar Tidak Tetap.
GB tidak tetap tersebut berstatus dosen tidak tetap, tidak dituntut untuk kerja penuh waktu, tidak ada beban kerja dosen, tidak ada tunjangan dan tidak ada batas pensiunnya. Dengan demikian menjadi kewajiban bagi perguruan tinggi pengusul untuk memanfaatkan GB tidak tetap itu sehingga dapat mengembangkan “tacit knowledge” menjadi “explicit knowledge”.
Guru besar tidak tetap seperti Gus Dur yang dikatakan Dirjen Dikti layak itu, belum punya ijazah sarjana.
Guru Besar Kehormatan
Perlu diketahui bahwa untuk jabatan akademik profesor atau guru besar itu dalam nomenklatur hukum tidak dikenal profesor kehormatan seperti doktor honoris causa (HC), yang ada adalah profesor atau guru besar tidak tetap. Jadi tidak ada profesor honoris causa (HC).
Jika sekarang diada-adakan berarti patut diduga ada kehendak politik dan hukum di mana hukum hanya dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan. Sepanjang rezim penguasa menghendaki, maka hukum pun dapat ditundukkan agar mau melayani kepentingan politik. Hal ini saya kira sudah jamak terjadi di negeri ini. Apa yang tidak bisa diatur, dikondisikan. Jika hukumnya belum ada, sangat mudah untuk mengadakan hukum yang baru, meskipun dari sisi etis cacat moral.
Menyandang jabatan akademik profesor atau guru besar itu tidak ringan bebannya. Berat pertanggungjawabannya secara akademik keilmuwan.
Kewenangan dan Kewajiban
Mengutip pasal 49 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berikut adalah sejumlah kewajiban dan wewenang dari seorang guru besar atau profesor:
(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor
(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat
(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jika merasa tidak kompeten, kurang mampu, tidak memiliki keahlian tertentu yang luar biasa lebih baik seseorang tidak mengusulkan atau tidak mau diusulkan menjadi Profesor atau Guru Besar Tidak Tetap. Karena mau tetap atau tidak tetap, seseorang yang dikukuhkan menjadi guru besar akan berhak menyandang titel profesor.
Apakah tidak lebih baik menolak pengukuhannya dari pada di-bully di semua media. Akan lebih terhormat menolak jabatan akademik profesor "kehormatan" dari pada menerimanya dengan rasa kurang terhormat dan dihormati oleh kalangan akademik (teman sejawat) sendiri. Menerima penganugerahan doktor honoris causa saja bisa persoalkan dan bahkan diremehkan, apalagi mau menerima pengukuhan profesor "honoris causa" yang tidak ada "cantolan" moral akademik dan hukumnya. #LiveOppressedOrRiseUpAgainst Tabik![]
Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Sabtu: 17 Juni 2023
0 Komentar