People Power: Inikah Metode Ideal Mewujudkan Pergantian Kepemimpinan Nasional?

TintaSiyasi.com -- People power jadi trending topic di Twitter pasca Prof. Amien Rais menyerukannya dalam Dialog Nasional "Rakyat Bertanya, Kapan People Power?" di Gedung Umat Islam, Kartopuran, Solo, Ahad (11/6/2023), seraya  mengkritisi  pemerintahan Presiden Jokowi. Tweet people power ini mencapai 66,8 ribu hingga Rabu (14/6/2023) pukul 17.00 WIB.

Tak hanya seruan Amien Rais, beragam tweet people power muncul hingga membuatnya trending di Twitter. Ada tweet people power menggema, "Rakyat sudah muak!" dari Aktivis 98 yang mengingatkan Jokowi agar jangan sok jago. Pun tweet dari Nicho Silalahi soal pemanasan untuk hitung mundur people power. Juga tweet jika MK memutuskan sistem Pemilu tertutup, maka rakyat mempunyai alasan melakukan people power (pekanbaru.tribunnews.com, 14/6/2023).

People power saat ini diminati terutama setelah merebaknya fenomena Arab Spring (Musim Semi Arab) di Timur Tengah dan sekitarnya pada tahun 2010. Contoh people power yang pernah berhasil pada masa lalu ialah demonstrasi massal saat pelengseran Presiden Filipina Ferdinand Marcos (1986), Presiden Soeharto (1998), Presiden Mesir Hosni Mubarak (2012), dan sebagainya.

People power diyakini oleh penyerunya sebagai sarana konstitusional demi mendesak sang pemimpin negara mundur atau dimundurkan. Mekanisme people power dinilai memiliki legitimasi berdasarkan Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sedangkan pemakzulan melalui DPR dan MPR jika dipenuhi syarat sebagaimana diatur oleh UUD 1945 khususnya Pasal 7A. 

Maraknya seruan people power di Indonesia akhir-akhir ini, setidaknya mencerminkan penguasa dalam keadaan tidak baik-baik saja sehingga sebagian rakyat menghendaki pergantian kepemimpinan nasional. Bahkan menunggu sampai tahun politik 2024 saja sepertinya sudah tak sabar. Atau mungkin tak percaya mekanisme Pemilu mampu melahirkan pemimpin amanah dan berkapabilitas. Fenomena ini hendaknya menjadi momentum bagi anak bangsa untuk menggagas mekanisme pergantian kepemimpinan nasional terbaik. Tak hanya mampu menghadirkan pemimpin, pun sistem pemerintahan ideal agar baldatun thayibatun warabbun ghafur terwujud.

People power: Dari Distrust hingga Civil Disobidience

Di Indonesia, istilah people power mulai populer sejak demonstrasi besar-besaran yang berhasil memaksa MPRS memberhentikan Presiden Soekarno pada tahun 1966. Selanjutnya rakyat melakukan demonstrasi lebih besar lagi hingga berhasil melengserkan kekuasaan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Istilah ini kembali mencuat saat Pemilu 2019 yang dianggap curang. Waktu itu, pasangan calon presiden Prabowo-Sandiaga menyerukan people power seiring rencana mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena kekalahan mereka.

Apa itu people power (kekuatan rakyat)? People power adalah istilah bagi gerakan aksi demonstrasi massa yang ingin menggulingkan kekuasaan presiden secara paksa, dan melibatkan banyak rakyat turun ke jalan. Bertujuan memaksa presiden melepaskan jabatan karena dianggap melanggar konstitusi negara hingga membahayakan negara.

Menggaungnya seruan people power dimungkinkan akibat distrust sebagian kalangan terhadap kepemimpinan rezim saat ini. Sembilan tahun kepemimpinan Jokowi dinilai tidak berpihak pada rakyat, pun tak menyejahterakan mereka. Bahkan juga disebut mengkhianati suara rakyat karena banyak janji kampanye Jokowi yang tidak ditepati setelah menjabat presiden. 

Sebelum people power menjadi trending topic saat ini, berbagai aksi massa telah digelar beberapa waktu lalu menuntut Jokowi mundur. Lantangnya tuntutan mundur berpotensi menambah tingkat distrust rakyat pada penguasa. Selanjutnya, melunturnya trust rakyat akan berimbas pada melunturnya cinta mereka pada pemimpinnya. Bila pemimpin tak lagi dipercaya dan dicintai rakyatnya, lantas untuk siapa dan demi apa dia berkuasa?

LBH Jakarta dalam Rapot Merah 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin (24/10/2021), merilis 13 catatan buruk kinerja pemerintahan selama rezim Jokowi-Ma’ruf. Pertama, kebijakan penanganan Pandemi COVID-19 yang simpang siur. Kedua, masih masifnya penggunaan pasal-pasal karet untuk membungkam kebebasan berekspresi. Ketiga, institusi Polri digunakan sebagai pelindung kekuasaan yang akhirnya mensegregasi perlindungan terhadap rakyat. 

Keempat, tidak serius melaksanakan agenda pemberantasan korupsi hingga melemahkan KPK. Kelima, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja merupakan tren buruk dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Keenam, dinyatakan bersalah atas buruknya kualitas udara, Presiden justru naik banding. Ketujuh, minimnya perlindungan hukum dan HAM dalam praktik buruk Pinjaman Online.

Kedelapan, persoalan Papua: dari Otonomi Khusus Jilid II, diskriminasi hingga kriminalisasi terhadap aktivis Papua semakin masif. Kesembilan, mandeknya pembahasan RUU PKS dan RUU PPRT menunjukan pemerintah tidak tegas memberikan perlindungan terhadap warga negara. Kesepuluh, watak buruk pembangunanisme negara yang tertuang dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Kesebelas, minimnya perlindungan negara terhadap pekerja migran di luar negeri. Kedua belas, pepesan kosong janji untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Ketiga belas, gagap dalam melakukan penanggulangan bencana banjir.

Distrust rakyat pada penguasa secara terus-menerus bisa mengakibatkan civil disobidience (pembangkangan sosial). Civil disobidience biasanya juga dipicu oleh  authoritarianism, yaitu penggunaan dan pengutamaan pendekatan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana telah dipraktikkan oleh penguasa negeri ini. 

Karakter otoritarian ini dapat dijumpai di berbagai lingkaran kekuasaan, termasuk militer. Bila karakter ini merembet ke lingkaran kekuasaan lainnya bahkan masif terjadi, maka tidak menutup kemungkinan rakyat mengangkat "sumpah" untuk tidak taat lagi kepada pemerintahnya. Apa artinya pemerintah tanpa dukungan rakyatnya? Taruhlah 50% rakyat membangkang, maka dapat diprediksikan pemerintahan negara ini akan collaps.

Ketika keadaan ini terjadi, maka sebenarnya "penguasa" telah kehilangan kepercayaan (trust) rakyatnya. Padahal sebagaimana pernah diungkapkan oleh Mahfud MD, pemimpin yang tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya mestinya malu dan mengundurkan diri. Dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa pada bagian Etika Politik dan Pemerintahan ditegaskan bahwa;

"Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai atau pun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara."

Karakter abai terhadap kepentingan rakyat hingga otoriter demi mempertahankan kekuasaan suatu rezim (status quo) justru semakin melunturkan trust rakyat yang memicu terjadinya civil disobidience atau bahkan people power.

Dampak Gerakan People Power terhadap Keberlangsungan Sistem Pemerintahan

People power biasanya digunakan untuk melakukan perubahan dengan menjatuhkan rezim yang ada, lalu menggantinya dengan rezim baru. Perubahan dengan kekuatan rakyat ini bisa digunakan untuk tujuan reformasi maupun revolusi, baik untuk mengubah sebagian sistem yang ada maupun mengubah seluruh sistem yang ada dengan sistem yang lain sama sekali.

Dalam konteks Islam, perubahan yang dimaksud tentu adalah perubahan dari sistem kufur menjadi sistem Islam. Namun proses perubahan ini tak akan terwujud menggunakan people power karena tidak sesuai metode Rasulullah SAW dalam melakukan perubahan masyarakat dan bisa dinilai sebagai bentuk kesalahan strategi dengan melihat potensi dampak buruknya bagi umat. 

Berikut dampak gerakan people power terhadap keberlangsungan sistem pemerintahan yang ada: 

Pertama, tujuan mewujudkan rezim baru guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik, justru berpotensi menimbulkan kekacauan (kekerasan), termasuk mengorbankan hak milik umum, negara dan kepentingan rakyat. Selain itu, bisa memicu konflik horizontal yang mengakibatkan perpecahan di tengah umat. Lantas, mungkinkah membangun negara dan pemerintahan yang solid hingga seluruh sistemnya bisa dijalankan, jika umat dan rakyatnya terpecah-belah?

Kedua, stigmatisasi dan generalisasi menimpa seluruh kaum Muslim. Belajar dari kasus Suriah, meski people power dilakukan oleh kelompok tertentu, sebut saja Ikhwan al-Muslimin, akibat dari tindakan kelompok tersebut, stigmatisasi dan generalisasi pun terjadi pada seluruh kaum Muslim. Dampak dari tindakan tersebut, penguasa Suriah bahkan memberlakukan larangan terhadap apa pun yang berbau Islam hingga shalat lima waktu. Hingga kini, penguasa Suriah bertindak sadis dan di luar batas perikemanusiaan. Tindakan-tindakan brutal tersebut dipicu oleh pengalaman sejarah peristiwa people power. Meski penguasanya berganti, tradisi kebengisan dan kebrutalannya tetap dipertahankan.

Ketiga, tidak terbentuknya opini umum kuat yang berbasis visi politik tunggal. Secara alamiah,  kekuatan people power tidak akan terbentuk dari satu kelompok saja, melainkan dari berbagai kelompok masyarakat; ada yang islami, pun sekuler. Koalisi pelangi ini mengakibatkan tidak adanya visi politik tunggal yang solid dan jelas. Meski bertujuan sama untuk menurunkan presiden, namun masing-masing kelompok bervisi politik sendiri-sendiri. Selain itu, koalisi pelangi akan memunculkan perbedaan opini publik. Di Mesir misalnya, selain opini pro daulah islamiyah, ada juga yang menginginkan daulah madaniyah (negara sipil) alias negara sekuler. Padahal opini umum sangat penting untuk mendorong ke arah perubahan yang diinginkan.

Keempat, sulit terjadinya perubahan revolusioner. Bila terjadi kekacauan dan pembentukan opini publik yang tidak sama di antara pelaku perubahan, maka perubahan secara revolusioner akan sulit terwujud. Kalau pun terjadi perubahan, sifatnya reformasi. Misalnya berhasil mengganti pemimpin lama dengan yang baru, tapi tidak mengubah sistem pemerintahannya.

Demikianlah dampak gerakan people power terhadap keberlangsungan sistem pemerintahan. Alih-alih membawa pada perubahan masyarakat yang lebih baik akibat terjadinya perubahan sistem pemerintahan, yang terjadi justru potensi kerusakan. Kalau pun terjadi perubahan, tak lebih dari pergantian pemimpin. Bukan pada perubahan sistem pemerintahan

Strategi Pergantian Kepemimpinan Nasional Ideal Tanpa Gerakan People Power

Chenoweth dan Stephan mengumpulkan data dari 323 gerakan damai dan perlawanan dengan kekerasan. Hasil kajian ini mereka terbitkan melalui buku Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. Secara umum, perlawanan damai dua kali lebih sukses ketimbang gerakan kekerasan. Metode damai ini punya peluang sukses 53%, sedangkan perlawanan dengan kekerasan hanya 26%.

Secara realitas, apakah semua negara yang berhasil menumbangkan rezim zalim melalui people power juga sukses mewujudkan kondisi ideal masyarakat; sejahtera, aman, tenang, dan tenteram jiwanya?

Pelaksanaan Pemilu secara berkala dengan pembatasan periode kepemimpinan di mana masyarakat terus menginginkan pergantian  kepemimpinan nasional, membuktikan bahwa kondisi ideal sulit terwujud di negara demokrasi. Rezim demokrasi senantiasa melahirkan kekhawatiran akan munculnya kekuasaan menindas.

Dari beberapa gerakan people power di dunia, gelombang perubahan selalu bermuara pada pergantian rezim zalim. Hampir tidak pernah keluar dari target pergantian rezim. 

Dalam konteks Indonesia, dikenal peristiwa reformasi. Padahal, siapa pun yang melakukan pengamatan secara mendalam dan menyeluruh akan mendapatkan jenis perubahan yang lebih layak disebut sebagai perubahan, yakni perubahan sistem. Seperti yang terjadi pada Uni Soviet (Desember 1991) dan Khilafah Utsmaniyah (Maret 1924).

Dari kedua contoh perubahan sistem tersebut, penentu terjadinya perubahan terletak pada ada tidaknya bangunan ideologi baru yang diterima masyarakat sebagai keyakinan, standardisasi, dan pemahaman hidup mereka. Penerimaan rakyat terhadap ideologi baru tentu karena mereka telah menyaksikan betapa ideologi lama dianggap tidak mampu menyolusi berbagai problematika kehidupan.

Bila merujuk pada metode perubahan masyarakat ala Rasulullah SAW, beliau menjalankan strategi pergantian kepemimpinan sekaligus sistem pemerintahan yang melingkupinya. Berikut strategi beliau:

Pertama, thalab an-nushrah yakni mencari pertolongan kepada ahlul quwwah (yang mempunyai kekuatan dan bisa menolong dakwah). Di masa Rasulullah, pemilik kekuatan adalah kepala suku dan kabilah. Rasulullah pernah mendatangi Bani Tsaqif di Taif, Bani Hanifah, Bani Kalb, Bani Amir bin Sha’sha’ah dan kabilah lain. 

Dalam konteks sekarang, thalab an-nushrah bisa dilakukan terhadap kepala negara, kepala suku dan kabilah, polisi, militer, dan pemilik kekuatan serta pengaruh riil di tengah masyarakat. Syaratnya, mereka harus mengimani sistem Islam dan membenarkannya. Ini berdasarkan riwayat:

ÙˆَÙŠَسْØ£َÙ„ُÙ‡ُÙ…ْ Ø£َÙ†ْ ÙŠُصَدِّÙ‚ُÙˆْÙ‡ُ، ÙˆَÙŠَÙ…ْÙ†َعُÙˆْÙ‡ُ

"Beliau pun meminta mereka untuk membenarkan beliau, dan memberikan perlindungan kepadanya." (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Dar Ihya’ at-Turats al-’Arabi, Bairut, cet. II, 1417 H/1997 M, II/36.).

Kedua, thariq al-ummah (jalan umat). Namun hal ini tidaklah bermakna people power. Melainkan upaya sungguh-sungguh dan sistematik mengubah sistem berdasarkan kekuatan umat melalui keyakinan, dukungan, dan implementasi mereka terhadap sistem tersebut. 

Caranya, umat harus dipersiapkan agar meyakini dan menerima sistem Islam, baik sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, maupun politik luar negerinya. Sebab kekuatan negara dan pemerintahan dalam pandangan Islam terletak pada umat. karena faktanya negara adalah entitas teknis yang mengimplementasikan seluruh konsepsi, standarisasi, dan keyakinan yang diterima oleh umat. Karena itu, penerimaan umat terhadap konsepsi, standarisasi, dan keyakinan Islam merupakan pilar dasar bagi tegaknya sistem Islam.

Demikian strategi pergantian kepemimpinan nasional ala Rasulullah SAW berpola top-down and bottom-up. Baik kalangan akar rumput maupun penguasa, menjadi sasaran bahkan subyek perubahan. Umat Islam semestinya meyakini bahwa hanya dengan perubahan menuju sistem Islam, manusia akan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Pun hanya dengan mengikuti metode perjuangan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW untuk meraih tujuan perubahan tersebut.


 PUSTAKA

Talitha, Tasya, Apa Itu People Power? Ini Sejarah, Fakta, & Dampak People Power, gramedia.com

Bagaimana ‘People Power’ Menurut Syariat Islam, anaksholeh.net

Tristanti, Endiyah Puji, Mahasiswa, Ingin Perubahan Sistem atau Sekadar Perbaikan Sistem? muslimahnews.net, 13 April 2022

Oleh: Prof.Dr.Suteki, S.H.,M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik Media)


Posting Komentar

0 Komentar