TintaSiyasi.com-- Poligami kadung menjadi isu seksi. Publik kembali heboh dengan kabar tentang aturan diperbolehkannya pegawai negeri sipil (PNS) beristri lebih dari satu (poligami). Meski sebenarnya regulasi ini telah diterbitkan sejak 40 tahun lalu. Tepatnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 yang diubah menjadi PP No. 45/1990.
Meski boleh, untuk bisa berpoligami, PNS harus memenuhi syarat dan ketentuan sangat ketat. Di antaranya, persetujuan tertulis dari istri, izin pejabat berwenang, hingga sanksi bagi PNS yang berpoligami tanpa izin berupa penurunan jabatan sampai pemberhentian tidak hormat. Sebagaimana menimpa Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Makassar, Chaidir, yang dicopot dari jabatan karena diduga berpoligami tanpa izin (cnnindonesia.com, 7/6/2023).
Intinya, bagi PNS, poligami boleh (syarat dan ketentuan berlaku) tapi nikah siri dilarang. Meskipun dalam bayang-bayang sanksi pencopotan jabatan, karena persyaratan poligami yang sangat ketat dan berbagai alasan lainnya, ada saja PNS yang nekat berpoligami siri. Pun di kalangan masyarakat secara umum, poligami siri banyak dilakukan. Prosedur berpoligami berdasarkan UU Perkawinan yang juga ketat membuat mereka memilih menjalaninya dengan nikah siri.
Sementara dalam pandangan agama (Islam), poligami itu mubah (boleh). Hukum kebolehannya adalah mutlak, tanpa syarat apa pun. Meski begitu, karena dalam kemubahan mengandung pilihan, maka seorang Muslim akan memutuskan menjalani atau tidak berdasarkan kemashlahatan atau kemudharatan yang akan diraih. Lebih mendekatkan pada kewajiban atau justru mengarahkan pada keharaman. Hukum berpoligami adalah boleh, namun bersikap adil kepada istri-istri (sebagai konsekuensinya) itu wajib.
Faktor Penyebab Banyaknya Praktik Poligami Siri
Berdasarkan pengertiannya, poligami ialah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan lebih dari seorang istri dalam waktu yang sama. Adapun nikah siri, secara etimologi berarti pernikahan secara sembunyi-sembunyi/rahasia. Secara terminologi, nikah siri ialah pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan agama, tetapi tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau
tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Dalam praktiknya, nikah siri ada dua macam. Pertama, nikah yang tidak memenuhi rukun dan syarat nikah. Yaitu akad nikah dilakukan tanpa hadirnya orang tua (wali), hanya dihadiri mempelai laki-laki dan perempuan, dua orang saksi, serta guru atau ulama yang menikahkan tanpa memperoleh pendelegasian kuasa dari wali nikah yang
berhak.
Padahal dalam pernikahan Islam, unsur wali merupakan salah satu rukun. Tanpa wali (izin wali nikah), keabsahannya dapat dipersoalkan. Meskipun dalam pernikahan terdapat guru/ulama yang menikahkan dan bertindak sebagai “wali”, dia bukan
orang yang mendapat kuasa dari walinya dan bukan pula penguasa yang berhak menikahkan.
Kedua, nikah yang memenuhi rukun dan syarat nikah, yaitu lengkap dengan wali nikah. Akadnya dihadiri oleh mempelai laki-laki dan perempuan, wali nikah, serta dua orang saksi. Kedua macam nikah siri di atas berlangsung tanpa dicatatkan pada pegawai pencatat nikah (KUA).
Dan kasus poligami dengan cara nikah siri ini banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Faktor penyebabnya antara lain:
Pertama, tidak adanya izin atau keberatan dari istri untuk melakukan poligami. Atau tidak ingin diketahui oleh pihak istri pertama atau istri sebelumnya. Karena bila istri tahu, akan menimbulkan perasaan negatif; sedih, kecewa, cemburu, hingga bisa memicu pertengkaran bahkan berujung perceraian.
Kedua, tidak dapat memenuhi syarat sesuai ketentuan berlaku yang dibebankan pengadilan kepada pelaku poligami. Menurut UU Perkawinan, pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berpoligami bila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Khusus bagi PNS, juga ada persyaratan berpoligami yang ditetapkan, terdiri dari syarat alternatif dan syarat kumulatif. Bila tak mampu memenuhinya, nikah siri menjadi pilihan.
Ketiga, menganggap nikah siri yang dilakukan telah sah secara agama. Sehingga merasa tidak perlu mencatatkan pernikahan di KUA. Pun pelaku poligami merasa telah terhindar dari dosa berzina.
Keempat, kesulitan ekonomi. Kedua belah pihak tidak mampu membiayai administrasi pernikahan. Meski hal ini bisa disolusi dengan cara membawa surat keterangan miskin untuk mendapatkan pelayanan gratis dari KUA setempat.
Kelima, hanya ingin mencoba-coba pernikahan (having fun). Bila cocok dilanjutkan, jika tidak cocok, dengan nikah siri, pasangan lebih mudah untuk berpisah.
Keenam, untuk kepentingan jangka waktu tertentu. Misalnya, penugasan seseorang ke suatu wilayah atau negara tanpa membawa istri. Terjadilah long distance relation (LDR) dengan pasangan. Daripada memenuhi kehendak seksualnya dengan berzina, sang suami memilih nikah siri di tempat ia bertugas.
Demikianlah faktor penyebab banyaknya poligami dijalankan dengan nikah siri. Dari persoalan ketatnya regulasi, kemampuan ekonomi, hingga pribadi pasangannya.
Keabsahan Poligami Siri dalam Perspektif Hukum Agama dan Negara
Dalam perspektif hukum Islam, poligami dihalalkan (sah). Allah SWT berfirman: “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat.” (QS. An-Nisa: 3)
Tidak ada syarat adil dalam poligami. Maka, tak bisa dimaknai bahwa suami hanya sah berpoligami jika sanggup adil kepada istri-istrinya termasuk soal kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri. Adil bukan syarat sah poligami, tetapi adil adalah hukum syara yang menjadi atsar (akibat/konsekuensi) dari akad pernikahan poligami yang wajib dilakukan.
Perbedaan antara syarat dengan atsar adalah; syarat memengaruhi keabsahan akad, sementara atsar adalah konsekuensi dari akad. Ijab qabul misalnya, adalah syarat sah akad, sementara kewajiban memberi nafkah, kewajiban berbuat adil bagi lelaki yang poligami, kewajiban membayar mahar, dan lain-lain adalah contoh atsar dari akad nikah.
Adapun lanjutan ayat di atas yang berbunyi: “kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. An Nisa’: 3)
Maka ayat ini tidak bisa menjadi dalil bahwa adil adalah syarat sah poligami, tetapi hanya menunjukkan anjuran menikah dengan satu istri jika khawatir tidak bisa berbuat adil.
Adil yang menjadi kewajiban lelaki berpoligami bukanlah keadilan mutlak yang meliputi segala hal, karena hal ini mustahil dilakukan. Keadilan yang dituntut dalam batas kemanusiaan, misalnya soal nafkah, waktu bermalam, ajakan keluar rumah, dan lain-lain. Adapun kadar cinta dan intensitas berhubungan suami istri, maka hal ini di luar kemampuan manusia, sehingga tidak ada tuntutan berbuat adil pada dua hal ini.
Keadilan ini kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Hadis berikut memberikan peringatan bagi para suami yang tidak mampu berlaku adil pada istri-istrinya.
"Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah).
Dalam berpoligami juga tidak disyaratkan izin istri, karena tidak ada dalilnya. Poligami Rasulullah SAW. pun menunjukkan bahwa pernikahan-pernikahan beliau tanpa meminta izin istri sebelumnya, bahkan sekadar bermusyawarah atau meminta pertimbangan.
Dengan mengaca pada sejarah Rasulullah SAW dan para sahabat, tampak bahwa poligami di masa mereka tidaklah aneh atau dianggap aib. Bahkan poligami yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. bertujuan demi memperkokoh penyebaran Islam. Sehingga poligami tidak bertentangan dengan ketakwaan, hidup zuhud, tugas dakwah, dan semisalnya asal dengan niat benar dan cara yang syar’i, bukan semata-mata pemuasan syahwat.
Adapun nikah siri juga sah secara syar’i asalkan memenuhi syarat dan rukun nikah, meski tidak tercatat oleh negara. Kelemahan nikah siri dari segi tata hukum di Indonesia hanya terletak pada tidak diperolehnya hak-hak hukum seperti pewarisan, nafkah, pengasuhan anak, dan lain-lain, jika persoalan rumah tangga diajukan ke pengadilan di Indonesia.
Namun, bila yang dimaksud nikah siri adalah pernikahan tanpa wali, padahal wali masih ada dan hak perwaliannya tidak gugur, maka pernikahan siri tersebut fasid (rusak) dan harus diulang. Kedudukannya sama dengan orang yang menikah tanpa saksi, atau menikahi wanita dalam masa iddah.
Sementara dalam perspektif hukum negara, poligami diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dasar hukum poligami ada di Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur bahwa "Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan."
Khusus bagi yang beragama Islam, dasar hukum poligami diatur pula dalam Pasal 56 ayat (1) KHI, "Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama."
Maka dapat disimpulkan bahwa hukum poligami di Indonesia dapat dilakukan, sepanjang sesuai hukum poligami yang berlaku dan memenuhi sejumlah syarat poligami. Agar poligami sah menurut hukum negara, harus memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:
Pertama, suami wajib mengajukan permohonan ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dengan syarat:
a. Ada persetujuan dari istri/istri-istri (Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Perkawinan) dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jika (Pasal 5 ayat (2) UU Perkawinan):
1. Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian
2. Tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun
3. Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
b. Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
Kedua, pengadilan hanya memberikan izin poligami jika (Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan):
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Izin tersebut diberikan pengadilan jika berpendapat adanya cukup alasan bagi pemohon (suami) untuk beristri lebih dari seorang.
Dalam hukum positif Indonesia, nikah siri dianggap sebagai pernikahan ilegal. Bahkan dalam perundang-undangan nasional tentang pernikahan, baik dalam UU perkawinan maupun KHI, tidak ada satu kata pun yang menyebut aturan praktik nikah siri. Yang dibahas adalah pernikahan secara umum. Hal ini menunjukkan, nikah siri tidak dianggap dalam hukum pernikahan nasional.
Mengenai sahnya pernikahan dan pencatatannya terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, sebuah pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti, jika pernikahan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan, maka perkawinan tersebut sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi ini perlu disahkan lagi oleh negara, yang ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan tentang pencatatan perkawinan.
Bagi yang menikah menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai buktinya. (Pasal 7 ayat 1 KHI ”Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”). Sedangkan bagi non-Muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil.
Khusus bagi PNS, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, mereka diperbolehkan poligami dengan sejumlah ketentuan yang mesti ditaati.
Berikut aturan yang dimuat dalam PP No. 45 tahun 1990 Pasal 4 yang berbunyi:
(1) PNS pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
(2) PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.
Adapun, ketentuan bagi atasan yang berhak menerbitkan izin poligami bagi PNS diatur dalam ayat (2) Pasal 5 berbunyi sebagai berikut :
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari PNS dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
Namun berdasarkan PP ini pula, PNS dilarang nikah siri atau pernikahan tanpa pencatatan yang sah. Dalam peraturan PNS, menikah siri diartikan dengan hidup tanpa ikatan perkawinan yang sah, hal ini tentu melanggar Pasal 14 PP Nomor 45 Tahun 1990 yang berbunyi "PNS dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah."
Apabila PNS melanggarnya, maka ia akan menerima hukuman disiplin berat. Tertuang dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 pasal 8 ayat 4 yang berbunyi jenis hukuman disiplin berat terdiri atas:
a. penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan
b. pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan
c. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS
Demikianlah perbandingan keabsahan poligami siri dalam perspektif hukum agama dan negara. Dalam Islam, hukum poligami boleh tanpa syarat apa pun. Nikah siri pun boleh selama syarat sah dan rukunnya terpenuhi. Sementara dalam hukum negara (termasuk PNS), poligami boleh dengan syarat dan ketentuan mengikat. Nikah siri dianggap ilegal (terlarang), bahkan bagi PNS bila diketahui melakukannya akan mendapatkan sanksi pemberhentian jabatan.
Strategi Kebijakan Ideal dalam Poligami hingga Absah Secara Hukum Agama dan Negara
Islam membolehkan poligami bukan berarti mengharuskannya. Poligami adalah pilihan yang diberikan oleh Allah SWT. bagi hamba-Nya. Boleh dipilih dan boleh tidak dipilih. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah syara' bahwa ada mashlahat dalam syariat, maka demikian pula pada poligami. Sebagai aktivitas yang dibolehkan, sudah pasti ia memiliki mashlahat. Mampu menjadi solusi pada beberapa masalah kehidupan. Dengan catatan, aktivitas tersebut berlandaskan pada syariat.
Misalnya, suami istri yang tidak memiliki keturunan sebab istri mandul, padahal mereka berdua saling cinta namun sang suami juga menginginkan keturunan. Pada fakta semisal ini, poligami bisa dipilih sebagai solusi. Suami istri tadi bisa tetap menjalin rumah tangga dan merajut cinta bersama. Sang suami pun dapat memperoleh keturunan dari istri sah lainnya.
Maka, perlu digagas sebuah strategi kebijakan ideal dalam pernikahan poligami sehingga terpenuhi keabsahannya baik secara hukum agama maupun negara.
Pertama, negara membina masyarakat berbasis iman takwa dan pemahaman syariat Islam. Hal ini akan membentuk sumber daya manusia yang berkepribadian Islam tinggi, tercermin dari pola pikir dan pola sikap mereka dalam kehidupan keseharian. Pun pikiran dan hati mereka cenderung mudah menerima kebaikan dan kebenaran. Hal ini dilakukan misalnya dengan mengaktifkan media, masjid, dan sarana lain untuk memberikan pencerahan berbasis Islam.
Kedua, meningkatkan ketahanan keluarga. Mengingat keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat, maka negara selayaknya memberikan perhatian. Bagaimana pun keluarga berkontribusi mewujudkan kebaikan masyarakat dan negara. Misalnya, membuat program keluarga sakinah, salah satunya dengan memberikan edukasi tentang gambaran poligami sehat sesuai syariat. Dari masalah hukumnya, konsekuensi, kewajiban dan hak, hingga sanksi atas kelalaian menjalankan kewajiban. Sehingga poligami bisa menjadi sarana meningkatkan ketahanan keluarga, bukan justru merusak kesakinahan.
Ketiga, negara memberikan edukasi pada masyarakat bahwa poligami adalah ajaran Islam, boleh dilakukan, memberikan mashlahat, dan solusi bagi beberapa permasalahan. Hal ini sekaligus untuk menepis citra negatif yang selama ini dilekatkan pada syariat poligami. Kesalahan/kekurangan pelaku poligami dalam mempraktikkannya seringkali ditunjuk sebagai gambaran syariat poligami itu sendiri. Misalnya, ada pelaku poligami tidak adil dalam memperlakukan istri-istrinya, lantas disimpulkan oleh publik bahwa poligami itu menindas kaum hawa. Sehingga poligami tak lagi dinilai tabu atau aib.
Keempat, memudahkan bagi pelaku poligami untuk mencatatkan pernikahan kedua atau ketiga atau keempat. Meskipun pencatatan nikah secara negara bukanlah syarat atau rukun nikah dalam agama Islam, tetapi bila dipandang cara ini memberikan mashlahat, misalnya lebih menjamin kepastian hukum istri dan anak dalam mendapatkan nafkah dan hak lain dari sang suami/ayah, maka tentunya lebih utama untuk dilakukan. Selain itu, secara administratif, pencatatan pernikahan juga akan berguna bagi negara dalam menjalankan pengurusan rakyat.
Kelima, meniadakan sanksi administratif bagi pegawai atau pejabat pemerintahan yang melakukan poligami. Seperti kasus pencopotan seorang pejabat di Makasar yang diduga poligami tanpa izin beberapa waktu lalu. Sanksi tersebut mengesankan pelaku poligami siri bak kriminal yang tak layak memegang jabatan. Selanjutnya akan memberikan citra buruk bagi ajaran poligami itu sendiri. Padahal poligami dan nikah siri bukan kriminalitas. Kriminal itu para koruptor dan penggarong uang negara lainnya.
Demikian beberapa alternatif kebijakan agar pernikahan poligami absah baik secara hukum agama maupun hukum negara. Saat sistem Islam belum diterapkan seperti saat ini, ajaran Islam sering di-bully dan disudutkan. Bila menghendaki seluruh ajaran-Nya bisa diterima dan dijalankan, hal ini akan terjadi dalam penerapan sistem Islam.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. dan Puspita Satyawati
0 Komentar