TintaSiyasi.com -- Ahli Fiqih Islam KH. Muhammad Siddiq Al-Jawi membeberkan sembilan hukum syarak terpenting dalam fiqih badal haji.
"Ada sembilan hukum syarak terpenting dalam fiqih badal haji," tuturnya di YouTube Ngaji Subuh: Fiqih Badal Haji, Kamis (22/06/2023).
Pertama, hukum badal haji adalah boleh (jāiz) asalkan orang yang berhaji untuk orang lain itu sudah pernah berhaji lebih dulu untuk dirinya sendiri. Jadi tidak boleh seseorang yang belum pernah berhaji untuk dirinya sendiri, berhaji untuk orang lain.
"Kedua, hukumnya seseorang berhaji untuk orang lain yang sudah meninggal dunia, jika yang meninggal ini di masa hidupnya belum menunaikan kewajiban hajinya," jelasnya.
Ketiga, boleh hukumnya seseorang berhaji untuk orang lain yang masih hidup, jika orang yang digantikan ini tidak mempunyai kemampuan fisik atau kesehatan (al-istithā’ah al-badaniyah) untuk berhaji, misalnya mengalami lumpuh atau stroke, tetapi sudah mempunyai kemampuan finansial (al-istithā’ah al-māliyah), yaitu sudah mempunyai harta yang cukup untuk berangkat naik haji.
"Keempat, tidak disyaratkan orang yang berhaji untuk orang lain, adalah kerabat dari orang yang digantikan, melainkan boleh saja orang itu bukan kerabat," ujarnya.
Kelima, seseorang yang akan berhaji untuk orang lain yang masih hidup, wajib mendapat izin dari orang yang masih hidup tersebut. Para fuqaha tidak berbeda pendapat dalam masalah ini.
"Ada pun seseorang yang akan berhaji untuk orang lain yang sudah meninggal, ada khilāfiyah di kalangan fuqoha. Sebagian ulama mensyaratkan harus ada wasiat untuk berhaji sebelum orang itu meninggal, sedang sebagian ulama lainnya tidak mensyaratkan adanya wasiat tersebut. Jadi baik ada wasiat maupun tidak ada wasiat, maka boleh hukumnya ada orang lain yang berhaji untuk orang yang sudah meninggal itu," terangnya.
Namun, pendapat yang rājih adalah pendapat terakhir, sebagaimana pentarjihan Syekh ‘Atha Abu Rasytah bin Khalil, yaitu pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, bahwa kalau ada seseorang berhaji untuk orang lain, sedang orang lain itu tidak pernah berwasiat untuk menghajikan dia sebelum dia meninggal, maka hajinya orang itu (pembadal haji) sah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 17/75).
Keenam, orang yang berhaji untuk orang lain, wajib berniat untuk menghajikan orang lain, yakni berniat di dalam hati, dan lebih afdhol lagi kalau dia melafalkan niat itu dengan lidahnya, yaitu dengan mengucapkan kalimat:
أَحْرَمْتُ بِالْحَجِّ عَنْ فُلاَنٍ وَلَبَّيْكَ بِحَجَّةٍ عَنْ فُلاَنٍ
“Ahramtu bil hajji ‘an fulan, wa labbayka bi-hajjatin ‘an fulan.” (Aku berniat ihram untuk berhaji atas nama Fulan [sebut namanya], dan aku menyambut seruanmu Ya Allah atas nama Fulan [sebut namanya].”
"Ketujuh, boleh hukumnya orang yang berhaji untuk orang lain, mengambil upah secara ma’ruf, yaitu upah yang besarnya kurang lebih sama dengan upah badal haji yang dilakukan oleh orang lain pada umumnya," imbuhnya.
Kedelapan, orang yang berhaji untuk orang lain, hanya boleh menghajikan satu orang saja, tidak boleh menghajikan untuk dua orang atau tiga orang atau lebih.
"Kesembilan, yang berhaji untuk orang lain ini, hendaklah dipilih dari orang yang jujur dan amanah untuk melaksanakan haji badal, dan niat orang tersebut juga wajib ikhlas lillaahi ta’ala, bukan untuk bekerja mencari uang," pungkas nya. [] Rina.
0 Komentar