TintaSiyasi.com -- Perubahan adalah keniscayaan. Menjadi lebih baik adalah keharusan. Bukankah begitu, Tuan dan Puan? Sehingga bila realitas di hadapan tak sesuai keidealan atau standar kebaikan, manusia wajib mengubahnya. Terlebih bila yang mengemuka adalah kemaksiatan.
Sebagaimana yang terjadi di Indonesia. Bergelar Zamrud Khatulistiwa dengan letak geografis strategis dan kekayaan alam berlimpah, tak menjamin rakyat hidup sejahtera. Pada September 2022, persentase penduduk miskin 9,57 persen, meningkat 0,03 persen poin terhadap Maret 2022. Setara dengan 26,36 juta orang, meningkat 0,20 juta orang terhadap Maret 2022 (bps.go.id, 16/1/2023). Kesenjangan ekonomi pun tak terelakkan. Menurut LSM Oxfam, mengacu ke Data Kekayaan Global (Global Wealth Databook), harta empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin (bbc.com, 23/2/2017.
Berjuluk negara hukum, tapi keadilan seolah barang langka yang diperebutkan. Tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas adalah rasa penegakan hukumnya. Jika bukan termasuk lingkar istana, jangan coba-coba bersuara apalagi lantang mengkritik penguasa, atau Anda akan tergugu dalam dinginnya tembok penjara. Di sisi lain, para penista agama justru menjelma menjadi the untouchable man, diduga kedekatannya dengan sang pemilik tahta.
Tata tentrem kerta raharja pun tak lebih dari slogan. Nyatanya, aman dan nyaman begitu mahal untuk dirasai semua orang. Kasus kriminalitas menjadi santapan harian. Perilaku bejat seperti pergaulan bebas baik dengan sejenis maupun lawan jenis seolah tak berkesudahan. Kekerasan pada anak dan perempuan menjadi-jadi. Kekerasan jalanan remaja meninggi. Hingga merebaknya penularan penyakit kelamin yang mesti dicari solusi.
Demikianlah potret buram bangsa ini. Tak hanya Indonesia, nasib negeri Muslim lainnya di dunia tak jauh berbeda. Bila realitasnya demikian, apa yang hendak kita dilakukan? Hanya mengeluh dan terus berkubang dalam kenistaan, atau bangkit meraih kemuliaan?
Bukankah Allah SWT telah mengingatkan, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." (QS. Ar Ra'du: 11). Maka, bila baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur masih menjadi asa bersama, perubahan (transformasi) mesti dilakukan. Menjadi tugas seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkannya.
Peradaban Suatu Bangsa Terpuruk karena Mengabaikan Aturan-Nya
Mungkin Anda pernah mendengar ungkapan, bangsa Barat maju karena meninggalkan kitab sucinya sedangkan umat Islam mundur karena juga meninggalkan kitab suci (Al-Qur'an). Ungkapan ini ada benarnya saat kita menyaksikan betapa terpuruknya umat Islam di berbagai sektor kehidupan; politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sementara itu, negara-negara Barat sedemikian perkasa menguasai dunia dengan kekuatan militer, ekonomi, sosial politik, dan budaya, serta mempengaruhi umat Islam serta belahan dunia lainnya. Pengaruh negara Barat terhadap negeri kaum Muslimin bukan rahasia umum. Ketergantungan dunia Islam terhadap negara adikuasa tak terelakkan. Apalagi program globalisasi ala negara-negara maju sebenarnya hanya melanggengkan pengaruh Barat di dunia.
Inilah yang sekarang terjadi di negeri-negeri Islam, tak terkecuali di Indonesia. Lambat laun, hukum-hukum Islam yang bertentangan dengan prinsip sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan demokrasi ditiadakan. Bahkan umat Islam terus dicekoki dengan monsterisasi khilafah dan jihad. Seolah ajaran inilah biang kerusakan di berbagai negara. Padahal beragam perang dan konflik dunia dipicu oleh negara-negara penjajah seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Rusia. Bukan karena Islam.
Secara ekonomi, negeri ini masuk dalam jurang resesi. Bukan karena Islam, tapi karena utang ribawi. Jumlah utang Indonesia mencapai Rp 6.008 triliun. Sementara kekayaan alam dikuasai asing baik Amerika maupun Cina. Kurang apa lagi derita penduduk negeri ini?
Telah terbukti, ketika umat Islam mengabaikan aturan Allah SWT dan lebih memilih menerapkan sekularisme kapitalisme ala Barat, rusaklah umat dan negeri ini. Adapun Sekularisme itu sendiri sejatinya masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).
Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politik, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik.
Inti Islam Politik adalah pertama, dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda. Kedua, dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda. Ketiga, dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).
Uniknya, sebagian kaum Muslim secara sadar atau tidak justru mengagung-agungkan paham ini sebagai produk pemikiran impor dari Barat. Pemikiran sekularisme inilah yang justru menjadi jalan penjajah untuk tetap mengangkangi bumi pertiwi, meski tak lagi berbentuk penjajahan fisik. Baik penjajahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan. Dan hingga hari ini, sekularisme terus dikampanyekan oleh para pendukungnya.
Dampak Keterpurukan Peradaban terhadap Tugas Manusia Memakmurkan Bumi
Umat Muslim pernah memiliki peradaban luhur dan memimpin dunia. Tak satu pun negeri yang penduduknya menerima dakwah Islam, melainkan masyarakatnya berbondong-bondong memeluk Islam. Sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam, kaum Muslim pernah memimpin dua pertiga dunia; dari Afrika hingga sebagian Eropa.
Kaum Muslim dengan khilafahnya, pernah menciptakan keadilan dan kemakmuran. Khilafah melebur umat manusia tanpa perbedaan suku bangsa, ras, dan bahasa. Umat non-Muslim pun mendapatkan keadilan dan perlindungan.
Namun, gambaran sejarah di atas kontras dengan keadaan umat hari ini. Peradaban Islam terpuruk dan akan berdampak terhadap tugas manusia memakmurkan bumi yaitu:
1. Umat Islam tidak mampu menjalankan fungsi sebagai khalifatullah fil ardhi yang bertugas memakmurkan bumi. Fungsi kepemimpinan ini pasti akan dijegal oleh musuh-musuh kaum Muslimin karena mengancam kekuasaan mereka saat ini. Sehingga kaum Muslim kesulitan mengelola dunia berdasarkan hukum Allah SWT.
2. Menjadi bangsa pengekor. Konsekuensi kaum terpuruk adalah harus mau mengikuti kehendaknya bangsa maju. Disetir bak boneka dan berbagai kebijakannya didikte bangsa lain. Meski mengklaim merdeka, realitasnya penguasa Muslim tak bisa menjalankan syariatnya sendiri secara kaffah karena di bawah kendali asing.
3. Perilaku jahiliyah kembali merajalela. Saat Islam datang hingga di puncak peradabannya, kemuliaan umat terbina. Namun dominasi pemikiran dan aturan Barat berbasis sekularisasi dan liberalisasi, mengakibatkan sebagian umat Islam kembali berperilaku jahiliyah seperti membunuh janin/bayi, gaul bebas, L68T, miras, utang ribawi, dan sebagainya.
4. Kerusakan menimpa berbagai sisi dunia. Ketidakmampuan mengelola bumi dan banyaknya perilaku jahiliyah akan mengantarkan pada kerusakan. Sebagaimana firman Allah SWT, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar Ruum: 41)
Itulah dampak buruk keterpurukan peradaban suatu bangsa terhadap tugas manusia memakmurkan bumi. Meski umat Islam merasa berat dalam kondisi terpuruk ini, semoga tidak menyurutkan tekad untuk bangkit meraih kejayaan peradabannya kembali.
Strategi Membangkitkan Keterpurukan Peradaban Melalui Transformasi Kehidupan Sesuai Fitrah Manusia
Sebelum Islam datang, manusia telah mengenal berbagai macam peradaban. Ada peradaban Hindu, Budha, Tao, Yunani, dan lain sebagainya. Pada abad 7 M, Islam datang sebagai The New Order of The Ages yang menawarkan kehidupan lebih baik dan beradab, sesuai fitrah hidup manusia yakni ketauhidan, ibadah, dan syariat serta pengutamaan pertimbangan akal sehat.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Ia hadir dalam bentuk garis-garis hukum global (khuthuuth 'ariidlah), yakni makna-makna tekstual umum yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Sehingga dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan masalah dalam kehidupan manusia.
Islam menjadikan cara pemecahan problem kehidupan tersebut bersandar pada landasan fikriyah (dasar pemikiran) yang memancarkan seluruh pemikiran tentang kehidupan. Kaidah itu telah ditetapkan pula sebagai standar pemikiran, yang dibangun di atasnya setiap pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul).
Jika kita simak sejarah peradaban Islam, Islam datang bukan dengan otak kosong namun dengan blue print jelas, tepat, dan benar, tidak ada keraguan di dalamnya hingga mampu melakukan berbagai transformasi (hijrah).
Setidaknya ada empat transformasi yang ditawarkan Islam agar manusia (juga bangsa) mampu berhijrah dari kegelapan menuju cahaya terang kehidupan sejati. Keempat macam transformasi itu sebagai berikut:
1. Transformasi pertama.
Mengubah pandangan hidup manusia. Dari pemikiran yang dangkal ke pemikiran yang mendalam. Hal ini tercermin dalam akidah Islam yaitu pemikiran menyeluruh tentang alam dari sebelum dan sesudah kehidupan.
Semula orang hanya tahu hidup itu sekadar: kerja, cari duit, cari makan, dan lain-lain. Islam datang dengan mengubah pemahaman tentang kehidupan. Hidup ini hanya jembatan kehidupan yang setelahnya ada pertanggungjawaban. Dunia sementara, sebentar tapi sangat menentukan baik buruknya akhirat yang kekal selama-lamanya. Tidak ada tempat kembali.
2. Transformasi kedua.
Islam mengubah standar perbuatan manusia, yang semula hanya untuk kenikmatan diri sendiri dan serba jasmani (hedonistik) menjadi berstandar halal atau haram.
Semula makan sekadar untuk kenikmatan, lalu berubah menjadi standar halal atau haram. Tak sekadar nafsu tetapi ada pertimbangan halal atau haram. Dalam perkara makan pun Muslim punya visi akhirat. Jadi orang Islam itu orang yg cerdas, tidak dungu (a-vidya) karena mampu mengendalikan dirinya. Perbuatan atau nafsunya dikendalikan dan visinya jangka panjang setelah kematian.
Kalau manusia paham dan bervisi jangka panjang, ia tidak akan korupsi. Ingatlah, Bangsa Arab semula tidak dipandang dunia tapi ketika memiliki standar hidup, bahkan baru 10 tahun saja, bangsa ini bisa berhadapan tegak dengan bangsa Persia dan Romawi.
3. Transformasi ketiga.
Mengubah pemahaman tentang bahagia. Apa itu bahagia? Bahagia sebelum Islam dimaknai sebagai pemuasan nafsu dan keinginan terpenuhi. Setelah Islam datang, bahagia itu adalah ketika mendapat ridha Allah SWT.
Salman Al Farisi itu miskin tetapi merasa bahagia. Abdurrahman bin Auf dengan uangnya diinfaqkan di jalan Allah. Itu bahagia. Umar bin khattab yang semula gagah berani dan bangga patriotis, ia jadi pembela Islam tangguh karena untuk mencapai kebahagiaan sebagai umat yang satu tidak tersekat dinding chauvinisme.
4. Transformasi keempat.
Mengubah pola interaksi manusia, semula hanya mengejar manfaat dan diikat sukuisme, nasionalisme, dan atau negeri menjadi ikatan akidah.
Allah SWT berfirman, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (QS. Al Hujurat: 10)
Orang Islam itu merasa bersaudara dengan tidak peduli dari asal bangsanya. Ummatan wahidah. Negeri Madinah itu sejak awal terdiri dari dua suku bangsa yakni Aus dan Khazraj konflik lebih dari 200 tahun. Dengan datangnya Islam mereka bersatu dalam akidah. Perbedaan tidak mesti harus berhadap-hadapan untuk dipertentangkan dan bermusuhan.
Dengan demikian, transformasi hakiki itu berlandaskan pada ideologi (akidah) yang memancarkan sistem pengaturan urusan manusia. Pun kebangkitan yang sahih berdasar pada akidah sahih yaitu akidah Islam.
Selanjutnya, untuk mewujudkan kebangkitan dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Merumuskan konsepsi syariat untuk mewujudkan kebangkitan (akidah, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem pendidikan, sanksi hukum, hukum pembuktian, politik luar negeri, dan sebagainya) dengan matang dan mendalam.
2. Menghimpun umat berlandaskan konsepsi di atas. Harus ada orang-orang yang secara terorganisir melakukan kontak dinamis dengan umat untuk mensosialisasikan fikrah (konsepsi syariat) secara berpengaruh sehingga fikrah tersebut menjadi fikrah mereka. Hingga muncul kesadaran ideologis akan urgensi dan wajibnya fikrah tersebut diwujudkan pada tataran riil.
3. Membentuk kesadaran politik di tengah umat hingga terbentuk dukungan kuat. Dengan begitu mereka tahu ancaman terhadap Islam, umat, negara, masyarakat dan diri mereka.
4. Menggalang dukungan politik umat. Setelah mayoritas komponen umat Islam menerima dan mendukung, maka dukungan politik terhadap fikrah tersebut akan menguat. Dukungan inilah sarana paling efektif untuk mewujudkan kebangkitan hakiki dan benar (Islam).
Diharapkan, selanjutnya terjadi perubahan dengan pondasi fikrah yang kokoh yaitu akidah dan syariat Islam. Itulah perubahan yang dicontohkan Nabi SAW. Beliau membangun pemerintahan Islam di Madinah berlandaskan akidah Islam (laa ilaaha illa Allaah Muhammad Rasulullaah) dan sistem yang terpancar darinya.
Oleha karena itu, bila ingin Indonesia bangkit, maka himpunlah umat Islam di Indonesia dengan fikrah (akidah dan syariat) Islam, mengarahkan hidup mereka pada fikrah Islam, dan membangun pemerintahan berdasarkan fikrah Islam tersebut.
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)
0 Komentar