Benarkah Jargon Merdeka Belajar Kampus Merdeka Itu "Mbelgedhes"?


TintaSiyasi.com -- Saya awali artikel "coup luck" ini dengan nukilan paragraf nakal dari seorang guru besar ITS bernama Prof. Daniel M. Rasyid yang sering melontarkan kata-kata berbahasa Jawa yang "nylekit". Salah satunya adalah kata "mbelgedhes". Kata ini kalau diterjemahkan bebas artinya senafas dengan kata "sodron", "sontoloyo", "gombal mukiyo". Maknanya: omong doang (omdo) alias bullshit. Kasus tindakan represif terhadap guru besar yang dinilai salah padahal notabenenya ingin menyuarakan dan mengungkap kebenaran dan keadilan dalam perspektif "ngilmiah" bukan baru kali ini terjadi. Penulis pun pernah dijatuhi hukuman disiplin berat pada tahun 2018/2019 lantaran dinilai melanggar disiplin pegawai negeri sebagaimana diatur dalam PP 53 Tahun 2010. Kasus yang kemudian saya gugat di PTUN Semarang itu berbuntut dicopotnya tugas tambahan saya di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, yakni sebagai (1) Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum FH Undip; (2) Ketua Senat FH Undip dan (3) Anggota Senat pada Seksi Pengembangan dan Penelitian Undip oleh Rektor Universitas Diponegoro yang dijabat oleh Prof. Yos Johan Utama. Hal serupa juga dialami oleh beberapa teman di Universitas lain misalnya di UGM atau juga di ITS, misalnya Prof. Daniel M. Rasyid.

Sebagaimana diketahui Mantan Wakil Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UNS Hasan Fauzi usai gelar profesornya dicopot oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim. Demikian pula jabatan guru besar yang disandang oleh Tri Atmojo, Sekretaris MWA UNS.

Pencopotan gelar profesor milik Hasan Fauzi tertuang dalam SK Nomor 29985/RHS/M/08/2023 tanggal 26 Juni 2023. Gelar profesor milik Hasan dicopot karena ia dinilai melanggar PP Nomor 94 Tahun 2021 dan dikenakan pasal 3 huruf E, Pasal 3 huruf F, dan Pasal 5 huruf A. Bukan hanya itu saja, setelah dicopot jabatan guru besarnya kemudian diterbitkan SK baru yang menempatkan kedua mantan guru besar tersebut sebagai pegawai pelaksana (tendik) yang diketahui pensiun dalam usia maksimal 58 tahun. Sementara kedua mantan guru besar ini usianya telah lebih dari 58 tahun. Artinya, dengan SK baru itu selain jabatan guru besar dicopot sekaligus keduanya pensiun dari statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Atas kasus pencopotan dua guru besar di UNS ini, di sebuah GWA, Prof. Daniel M. Rasyid menulis begini: "Pencopotan 2 Guru Besar UNS* yang terjadi saat ini memperpanjang daftar bagaimana pendidikan 'dikerdilkan menjadi sekolah dan kampus' hanya menjadi "instrumen teknokratik" -alat rezim penguasa- untuk menyiapkan buruh yang cukup trampil menjalankan mesin-mesin -mungkin berdasi dengan gaji tinggi- sekaligus cukup dungu untuk setia dan berdisiplin bekerja bagi kepentingan para taipan pemilik modal. 'Investor-driven' Omnibus Laws tidak hanya merampas kembali kewenangan-kewenangan daerah dan kampus yang semula otonom, namun sekaligus untuk melegalkan perampokan kedaulatan pendidikan dari para murid, guru dan dosen, serta publik sebagai 'stakeholders'. Di titik ini, sikap para kapitalis maupun komunis sama saja: vertikal kontrol total. Saat internet menghorizontalkan banyak institusi, membangun berarti memperluas kebebasan, keluwesan, dan kelenturan dalam sebuah 'learning cybernetics'. Krisis UNS saat ini membuat jargon Merdeka Belajar Kampus Merdeka hanya manis di mulut saja. "@Merdeka Mbelgedhes"."

Benarkah jargon Merdeka Belajar Kampus Merdeka hanya manis di mulut saja alias "mbelgedhes"? Sebagaimana biasanya tertulis dalam statuta perguruan tinggi, misi utama pendidikan tinggi adalah mencari, menemukan, menyebarluaskan, dan menjunjung tinggi kebenaran. Agar misi tersebut dapat diwujudkan, maka perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi harus bebas dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apa pun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi, sehingga Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, dapat dilaksanakan berdasarkan kebebasan akademik dan otonomi keilmuan."

Tridharma Perguruan Tinggi di Universitas Indonesia dijalankan berdasarkan otonomi perguruan tinggi. UNS sejak 6 Oktober 2020 telah menjalankan pengelolaan perguruan tinggi yang otonom sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum dengan berlandaskan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, efektivitas dan efisiensi, meritokrasi akademik, layanan prima, akses berkeadilan, dan keberagaman. Dengan kemandirian yang dimiliki, UNS sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum perlu tetap berperan sebagai kekuatan moral yang memiliki kredibilitas untuk mendukung pembangunan nasional. 

Kita sering mendengar slogan tentang OTONOMI PERGURUAN TINGGI, yang meliputi: 

1. Otonomi Keilmuan
2. Kebebasan Akademik
3. Kebebasan Mimbar Akademik Profesor 

Pertanyaan kita, mungkinkah ada otonomi perguruan tinggi ketika para "petinggi" tertawan oleh hegemoni kekuasaan? Ketika perguruan tinggi sudah terhegemoni oleh kekuasaan, maka sangat sulit untuk mengharap tugasnya dalam merohanikan ilmu, yakni pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth

Mengapa saya menilai bahwa upaya pencarian kebenaran dan keadilan dikampus akan menemui jalan buntu ketika kampus khususnya rektor dan aturan hukum perguruan tinggi terhegemoni oleh kekuasaan? Kita bisa mencoba menguliknya melalui sistem pemilihan rektor di PTN. 

Dalam pemilihan rektor kewenangan untuk menentukan eksistensi rektor (memilih, mengangkat hingga memberhentikan) ada di tangan pemerintah, yakni khususnya dengan penggunaan hak suara menteri pendidikan di MWA (PTNBH) atau Senat (BLU) sebesar 35%. Atas fenomena ini, jadilah strategi komunikasi rezim penguasa dinilai banyak pihak bermain pada pernyataan ambigu dan terbuka untuk ditafsirkan. Inikah gaya kepemimpinan yang menjaga "tangan tetap bersih" sembari menimpakan "barang kotor" pada pihak lain? Pada kasus UNS, Pemerintah mempunyai kehendak, interest tersendiri tetapi menimpakan kesalahan pada MWA dengan penilaian cacat aturan dan lain-lain sehingga berujung pembekuan MWA dan pembatalan hasil pemilihan rektor. Apakah sedemikian naif anggota-anggota MWA yang membuat aturan hukum MWA dan soal pemilihan rektor di UNS?

Seandainya pun ada kesalahan dalam pembuatan aturan atau ketidaksinkronan aturan yang dibuat oleh MWA dan aturan pemilihan rektor, apakah harus berakhir dengan pencopotan jabatan guru besar atas nama wakil ketua dan sekretaris MWA UNS? Bukankah aturan maupun tindakan dalam menjalankan aturan itu dapat dilakukan perbaikan dan pembinaan tanpa harus menghukum pelaksananya dengan hukuman disiplin berat berupa pencopotan dan penurunan jabatan sebagai guru besar bahkan bisa saja hanya diberikan sanksi etik? Apa yang dialami oleh kedua guru besar UNS ini seolah mengisyaratkan agar siapa pun ASN jangan pernah berani melawan titah "rezim penguasa". Berani berbeda, apalagi berani melawan rezim penguasa mesti bersiap untuk ditindak secara represif dan "dihadiahi" dengan sanksi administratif indisipliner tingkat berat sekaligus. Sementara di muka sudah dikatakan bahwa segenap sivitas kampus mesti menjunjung tingga prinsip kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Sering kita dengar bahwa slogan akademisi pun beda dengan slogan politisi. Akademisi boleh salah tetapi tidak boleh berbohong, sedang politisi itu slogannya tidak boleh salah, tetapi boleh berbohong. 

Kita bisa membayangkan, jika kesalahan yang dilakukan oleh dosen yang kebetulan mendapat tugas tambahan di kampus sedikit-sedikit diancam dengan sanksi berat berupa pencopotan tugas tambahan dan jabatan fungsionalnya, maka dapat dipastikan hanya akan menyisakan pejabat kampus yang bersikap sebagai "yes man" bahkan bermental penjilat pada rezim penguasa sekalipun tahu sedang berada di track yang salah.  

Akhirnya pejabat kampus hanya akan menjadi "kepanjangan tangan" rezim penguasa dengan menanggalkan marwah akademisnya sekalipun. Masihkah ia bisa berteriak lantang tentang makna kampus merdeka dan merdeka belajar? Jawabnya pasti tidak. Faktanya dalam kasus UNS ini patut diduga perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi tidak bebas dari pengaruh, tekanan, dan kontaminasi apa pun seperti kekuatan politik dan/atau kekuatan ekonomi. Atas dasar pemikiran demikian itu, maka, tidak berlebihan jika Prof. Daniel M. Rasyid menyatakan bahwa jargon Merdeka Belajar, Kampus Merdeka itu "@mbelgedhes". Lalu, apakah benar kampus akhirnya hanya akan menjadi peternakan manusia pekerja pabrik nir nalar sehat dan marwah akademis yang menjunjung tinggi moral dalam pencarian kebenaran dan keadilan? []

#savegubesUNS

Semarang, Selasa: 18 Juli 2023


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar