Bunuh Diri Marak di Klangan Mahasiswa: Jalan Sesat Akibat Gagalnya Pembentukan Budi Pekerti Warga Masyarakat


TintaSiyasi.com -- Miris! Seorang mahasiswa berprestasi di sebuah kampus swasta di Yogyakarta ditemukan sang ayah meninggal akibat gantung diri di kamar kosnya. (detik.com, 9/7/2023). Tragedi ini menambah daftar panjang maraknya bunuh diri di kalangan mahasiswa di negeri ini. 

Di Jambi, masyarakat geger dengan penemuan mayat seorang mahasiswa Universitas Jambi yang gantung diri di kamar kosnya (jambiekspres.co.id, 2/3/2023). Diduga ada masalah asmara dengan sang pacar, seorang mahasiswa di Samarinda ditemukan tergantung dengan sebuah kabel di sebuah indekos (kaltimpost.jawapos.com, 20/2/2023). Di Jakarta Barat, diduga depresi gegara skripsi, seorang mahasiswa tewas mengenaskan pasca nekat melompat dari lantai empat (bicaranetwork.com, 5/6/2023). 

Sungguh menyesakkan dada! Mahasiswa yang di pundaknya tersemat sebutan the agent of change, bahkan the leader of change, ternyata banyak mengalami gangguan kesehatan mental hingga berujung pada bunuh diri. Jadilah mereka sebagai generasi stroberi. Dari luar nampak cantik menarik, tampan menawan, tapi di dalam rapuh, mudah luruh.  

Bila tragedi semacam ini terus terjadi, bayang-bayang suram tentu membayangi nasib generasi dan perjalanan bangsa di masa depan. Selama pola asuhan sistem sekularisme liberalistik kapitalistik, bunuh diri menjadi keniscayaan. Kala agama dipisahkan dari berbagai sisi kehidupan, saat materi yang jadi tujuan, kala kebebasan bertindak adalah kewajaran, maka bunuh diri kini menjadi opsi. 

Daripada hidup menanggung derita, anak muda memilih mengakhiri hidup dengan membunuh dirinya. Padahal derita abadi sejatinya tengah menanti di akhirat nanti. Sering berulangnya bunuh diri khususnya di kalangan mahasiswa (pemuda), semestinya menuntut perhatian segenap elemen masyarakat khususnya pemerintah untuk mencegah agar tragedi kemanusiaan ini tak terjadi lagi.

Marak Mahasiswa Bunuh Diri: Antara Peningkatan Budi Pekerti dan Akibat Penerapan Sekularisme Kapitalistik Liberal

Berlabel kaum cendekia tak lantas membuat seluruh mahasiswa mengoptimalkan akal dalam menyelesaikan persoalan hidupnya. Realitasnya, banyak yang memilih bunuh diri dengan harapan mampu memutus dirinya dengan masalah yang tengah melanda. Pemicu mahasiswa bunuh diri pun beragam. Dari cekcok soal asmara dengan sang pacar, stres akibat tugas kuliah menumpuk, depresi gegara skripsi, tujuh tahun tidak lulus kuliah, kesulitan dana untuk membayar UKT, hingga terjebak pinjaman online (pinjol).

Menurut Psikolog Universitas Airlangga, Atika Dian Ariana, M.Sc., M.Psi., depresi dan gangguan mental merupakan penyebab seseorang bunuh diri. Bunuh diri biasanya timbul melalui perasaan marah, kecewa, dan panik yang intens. Keberagaman penyebab bunuh diri dapat dikategorikan secara biopsikososial.

Faktor biologis, orang tersebut dapat memiliki keluhan fisik yang membuat tidak berdaya seperti masalah jantung dan hormonal. Psikologis, orang tersebut memiliki kerentanan untuk merasa tidak berarti. Sosial, orang tersebut memiliki permasalahan pada relasi sebayanya. Berdasarkan tiga aspek tersebut, faktor terdekat dari bunuh diri adalah depresi dari proses sosial (unair.ac.id, 11/7/2023).

Menyelisik penyebab maraknya mahasiswa bunuh diri dari aspek kesehatan mental sepertinya memang kompleks. Ada multifaktor, baik dari internal individu maupun eksternal, dari luar individu. Berikut penjelasannya. 

Pertama, individu rapuh. Di satu sisi, stresor kian banyak (tugas kuliah, masalah asmara, kesulitan ekonomi), sementara di sisi lain kapasitas untuk meng- handle masalah semakin rapuh. 

Kedua, pola asuh minim ruh. Orang tua cenderung mudah memfasilitasi anak dalam mendapatkan (membeli) sesuatu. Ukuran anak bahagia adalah terpenuhi keinginan materialnya. Jarang ditempa kesulitan membuat anak mudah down saat menghadapi masalah. Selain itu, iman dan takwa (aspek ruhiyah) sebagai pondasi, tak ditanamkan pada anak sebagai modal dasar mengarungi kehidupan yang pasti selalu ada masalah sebagai ujian.

Ketiga, kemudahan mengakses banyak hal melalui kecanggihan teknologi saat ini. Ingin makan, tinggal pesan sajian online. Ingin beli baju trendy, tinggal masukkan keranjang online, barang diantar. Mau cari bahan tugas kuliah, tinggal klik link dan searching di internet.  Terbiasa bergaya hidup instan, membuat daya juang anak muda justru melemah. Hanya karena soal remeh-temeh, mudah menyerah, putus asa, hingga bikin story WA "Selamat tinggal temanku," dan berakhir di tali gantungan.

Keempat, lingkungan pergaulan serba hedonis. Kini, gaya hidup hedonis mendominasi anak muda. Jargonnya "Kecil dimanja, muda hura-hura, dewasa kaya raya, mati masuk surga." Apalagi di era media sosial seperti sekarang. Mereka terjangkiti fenomena Fomo (fear of missing out), yaitu perasaan cemas bila tidak mengikuti sesuatu yang lagi tren atau viral di media sosial.

Kelima, sistem sekularisme kapitalistik liberal yang melingkupi kehidupan manusia, termasuk anak muda. Sistem hidup yang diterapkan oleh penguasa di negeri ini mengarahkan pemuda Muslim agar menjauhkan pengaturan agama bagi kehidupan. Beragama cukup menjalankan ibadah bersifat ritual saat manusia butuh berinteraksi dengan Tuhan. 

Akibatnya, anak muda tidak terisi jiwanya dengan aspek spiritual. Hidup tak lagi untuk menghamba pada Allah SWT, tapi berganti sesembahan. Pertama adalah uang, kedua cuan, ketiga duit. Karena jauh dari agama, hidup cenderung bebas sesuai kehendak dan hawa nafsunya. Bahkan terjadi hukum rimba. 

Wajar bila dalam asuhan sistem hidup ini, anak muda berkembang menjadi pribadi rapuh. Bahkan split personality. Di satu sisi dia Muslim, tapi di sisi lain, pemikiran dan perasaannya jauh dari Islam. Hidup jauh dari Allah, tentu bikin galau, bingung, dan putus asa. Maka, bunuh diri seakan menjadi tren penyelesaian masalah.

Demikianlah beberapa faktor penyebab maraknya bunuh diri di kalangan mahasiswa. Meskipun pemerintah telah berupaya meningkatkan budi pekerti masyarakat termasuk para pemudanya, misalnya dengan konsep pendidikan karakter yang bertujuan membentuk kemampuan individu terus-menerus guna penyempurnaan diri ke arah hidup yang lebih baik. Atau menggulirkan Profil Pelajar Pancasila yang merupakan karakter untuk diraih peserta didik berdasarkan nilai Pancasila. Namun, pengaruh program ini nampaknya belum signifikan dalam peningkatan budi pekerti tersebut.

Dampak Maraknya Bunuh Diri di kalangan Mahasiswa bagi Masyarakat, Khususnya Proses Regenerasi Bangsa

Anak muda dan depresi adalah dua hal yang seolah tak bisa dipisahkan, sekaligus menjadi hal yang bisa memicu keinginan untuk bunuh diri. Bahkan dalam penelitian yang dirilis di Journal of Psychiarty, pernah mengamati tren keinginan bunuh diri pada mahasiswa di enam negara, termasuk Indonesia. Penelitian tersebut melibatkan 231 mahasiswa Yogyakarta, dan hasilnya sekitar 6,9 persen dari mereka pernah berpikir dan memiliki keinginan untuk bunuh diri. Ada banyak faktor yang memicu pemikiran mahasiswa untuk bunuh diri. Ironisnya, skripsi alias tugas akhir menjadi salah satu penyebab tersering mahasiswa ingin mengakhiri hidup.

Bunuh diri tentu berdampak buruk bagi proses regenerasi bangsa di masa depan yaitu: 

Pertama, bila dibiarkan, prosesi bunuh diri akan dianggap sebagai kelaziman atau hal biasa bahkan menjadi tren anak muda "menyelesaikan masalah." Sesuatu yang buruk bila berlangsung terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran. Padahal jelas agama (Islam) melarang bunuh diri karena menganiaya diri dan wujud ketidakpercayaan akan kehendak-Nya.

Kedua, menggerus fungsi strategis mahasiswa sebagai garda terdepan perubahan. Sungguh ironis, bila sang pemimpin perubahan justru dihinggapi banyak problem, kesehatan mentalnya lemah, hingga bunuh diri demi lari dari masalah. Bagaimana mungkin dengan kelemahan ini, mereka mampu memimpin perubahan bangsa ke arah lebih baik, dan tegak dalam beramar makruf nahi mungkar?

Ketiga, mengancam kelangsungan generasi masa depan. Bila kasus bunuh diri tak serius diatasi, kesehatan mental mahasiswa tak terjaga, maka bayang-bayang lost generation akan kian nyata.

Demikian beberapa dampak negatif dari maraknya bunuh diri di kalangan mahasiswa. Menjadi bahan pemikiran segenap elemen bangsa ini agar melakukan upaya pencegahan hingga fenomena bunuh diri anak muda tidak terus terjadi. Termasuk terus menjaga kesehatan mental anak muda agar mereka selalu produktif dan berdaya bagi sesama.

Solusi Pencegahan agar Bunuh Diri Mahasiswa Tidak Terulang

Ide bunuh diri merupakan pikiran-pikiran tentang menyakiti dan membunuh diri sendiri. Ia menunjukkan sejarah depresi, keputusasaan, perfeksionisme, konflik keluarga, putusnya hubungan, kurangnya dukungan sosial, serta adanya permasalahan finansial dalam menuntaskan kewajiban akademiknya. Oleh karena itu perlu
adanya kampanye terkait pentingnya 
kesehatan mental dan kesadaran akan risiko bunuh diri dalam bentuk pencegahan sehingga terbentuk sistem yang baik demi membantu mahasiswa dalam membangun koping dan pemecahan masalah yang adaptif terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini perlu adanya kerjasama di antara mahasiswa, universitas, profesional di kesehatan mental, pembuat kebijakan, peneliti, dan akademisi yang berhubungan
dengan kesejahteraan psikologis mahasiswa (Urme, 2022).

Selain itu, keberadaan keluarga, terlebih negara, semestinya juga berperan dalam menyiapkan mahasiswa berkepribadian tangguh. Berikut ini solusi pencegahan secara sinergis agar bunuh diri mahasiswa tidak terulang:

Pertama, pribadi mahasiswa. 

a. Seiring perkembangan usia, mestinya memiliki kesadaran untuk meningkatkan kualitas kepribadian dirinya. Mengkaji Islam, memperbanyak ibadah, dan amal shalih akan menguatkan kesehatan mentalnya. 

b. Pun mengikuti aktivitas bermanfaat lainnya juga akan menempa diri lebih siap menghadapi tantangan hidup. 

Kedua, support system dari keluarga dan orang sekitar seperti teman pergaulan. 

a. Berlandaskan pandangan bahwa keimanan adalah kunci kesehatan mental, orang tua bertugas menginternalisasi nilai-nilai iman sejak dini pada putra-putrinya.

b. Membentuk pola asuh yang tidak "menggampangkan" anak untuk memperoleh sesuatu tanpa upaya atau kerja keras.

c. Menjadi orang tua terapeutik (penyembuh). Jangan memberi luka-luka pengasuhan yang membekas buruk pada batin anak. Karena mengobatinya susah. Bila luka menumpuk, akan menggerogoti kesehatan jiwa anak. 

d. Memperkuat bonding dengan anak. Menjalin hubungan, mengajak dialog dari hati ke hati, merangkul mereka, memahami tidak mudah menyalahkan anak.

Ketiga, universitas sebagai tempat pendidikan mahasiswa juga bertanggung jawab dalam pencegahan ini. Secara teknis, universitas bisa melakukan program-program seperti;

a. Memberikan psikoedukasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental: menciptakan kesempatan kepada mahasiswa untuk berbagi
pengalaman personal, meningkatkan kesadaran terkait perbedaan kepribadian, mengimplementasikan strategi penyelesaian masalah, mengurangi persepsi akan kesepian. Dalam hal ini klien akan diundang dalam kelompok aktivitas psikoterapi dan dibentuk dalam psikodrama dan kelompok self-hel groups. Di akhir sesi, dosen akan meminta mahasiswa untuk mengelaborasi pengalamannya (Testoni et al, 2021).

b. Memberikan pelatihan kepada mahasiswa untuk meningkatkan kesadaran terkait isu bunuh diri dan mengenali risikonya pada mahasiswa. Program akan menyediakan informasi tentang tanda-tanda bunuh diri, menyediakan ruangan untuk menyampaikan emosi, permasalahan, dan berbagai kesulitan, mengarahkan siswa yang berisiko ke layanan psikologi, menyediakan layanan pasca bunuh diri.

c. Menyediakan ruang untuk mahasiswa mengekspresikan diri misalnya melalui karya seni untuk menunjukkan perasaan dan emosinya agar dapat tersalurkan. Dalam hal ini, konsultasi dengan profesional penyedia layanan psikologi dan kesehatan mental menjadi penting (Butterham, et al, 2018).

d. Bekerjasama dengan komunitas terkait pencegahan bunuh diri. Dalam hal ini, bekerja sama penyedia layanan kesehatan mental baik yang ada di dalam kampus maupun di luar kampus. Pencegahan bunuh diri dilakukan dengan menyediakan layanan konseling oleh profesional dan
juga bekerjasama dengan 
penyedia layanan medis (Brann, 2021).

Keempat, media massa berperan strategis dalam pencegahan bunuh diri dan peningkatan derajat kesehatan jiwa. Tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga sarana untuk menghapuskan stigma dan diskriminasi terhadap penyintas bunuh diri dan penyintas kehilangan bunuh diri.

Dalam jangka panjang, peran media massa dapat menjadi sangat signifikan dalam menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan kesehatan jiwa seseorang sehingga dapat menekan angka bunuh diri. Meskipun pemberitaan mengenai bunuh diri tidak selalu memiliki efek langsung, tetapi dapat memengaruhi pemikiran dan perilaku individu di masa depan.

Keempat, mewujudkan sistem kehidupan yang kondusif bagi kesehatan mental. Sekularisme kapitalistik liberal terbukti melahirkan sosok manusia yang "kemrungsung" dan cenderung liar mengejar aspek material minim spiritual. Maka butuh keberadaan sistem yang menempa anak muda agar memiliki kepribadian tangguh yakni kepribadian Islam, tercermin dari kekuatan pola pikir dan pola sikapnya dalam menyikapi problematika sehari-hari.

Untuk mewujudkannya, membutuhkan peran serta segenap elemen masyarakat khususnya penguasa di negeri ini. Kesediaan para pemimpin untuk menerapkan sistem Islam yang bersumber dari Allah SWT. dan Rasul-Nya insya Allah akan memberikan implikasi positif bagi terbinanya kepribadian anak muda yang tangguh, tidak mudah stres, depresi, hingga tak berpikir untuk bunuh diri.

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati


Posting Komentar

0 Komentar