TintaSiyasi.com -- Kita sudah lama mengenal model hukum dan penegakanannya, yakni ada yang konvesional dan ada pula yang progresif. Apa itu hukum progresif? Secara paradigmatik hukum progresif mempunyai ciri: (1) Ontologi: Hukum is not only rules and logic but also behavior; (2) Epistemologi: Pencarian kebenaran dengan menempatkan hukum sebagai objek kajian secara kritis; (3) Metodologinya: legal pluralism approach; mixed method; socio-legal approach; dan (4) Aksiologi: Keadilan substantif; kebenaran dan kejujuran. Hukum yang melampaui, in making process, tidak absolut dan final. Melampaui positivism hukum, kreativitas, mele (cair, like amoeba). Spirit hukum progresif: pembebasan (tipe cara dan kultur). Cara berhukum: Mengutamakan keadilan substantif sehingga lebih condong pada "mission oriented" dibandingkan dengan "procedure oriented".
Terkait dengan penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia, kita harus memahami dulu tentang misi UU Tipikor. Bila melihat tujuan utama UUPTPK sbgm Pasal 4 UUTipikor, maka misi UU ini adalah selain ada pengembalian kerugian keuangan negara tetapi juga memidana pelaku. Sehingga, kita bisa menegaskan bahwa selain penegakan hukum juga bagaimana UU berorientasi pada perwujudan keadilan sosial (social justice). Hal ini mengamini apa yang dikatakan oleh Brian Z Tamanah dalam On the Rule of Law (ROL), yang membagi dua model ROL yakni formal dan substantif. ROL formal hanya menekankan pada penggunaan hukum sebagai alat untuk social control bahkan sekedar dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan saja, sedang dalam pandangan ROL Substantif usaha penegakan hukum diarahkan hingga pencapaian kesejahteraan sosial (social welfare). Sampai di sini sebenarnya tampak bahwa UU Tipikor sangat erat hubungannya dengan ideologi negara dan bangsa, yakni Pancasila.
Meskipun secara formal, tipikor tidak dikelompokkan sebagai tindak pidana extraordinary crime, namun secara materiil dalam praktik disepakati sebagai extraordinary crime karena tindak pidana ini mempunyai "Multiplying effect".
Kerugian negara yang sering menjadi salah satu ada tidaknya unsur pidana dlm TPK hanyalah awal saja dari effect korupsi. Multiplying effect-nya adalah pembunuhan ideologi bangsa dan negara melalui celah masuknya perilaku para pejabat negara yang bermental korup. Ini yang kita sebut dengan "ideology corruption". Runtuhlah ideologi negara bangsa oleh karena tindakan korup itu. Nilai-nilai Pancasila juga bisa hancur karenanya. Oleh karena itu ketika seseorang itu melakukan tindakan korupsi maka ia sebenarnya telah merongrong "kesaktian" Pancasila. Jadi, korupsi itu bertentangan dengan Pancasila. Implikasinya ketika suatu ormas orpol anggotanya banyak yang melakukan korupsi mestinya ormas atau orpol tersebut mestinya bertentengan dengan Pancasila dan seharusnya dapat dicabut Badan Hukumnya hingga dibubarkan atau bahkan dilarang.
Di samping efek ideologis, ada efek lain yang tidak kalah bahayanya dari TP korupsi terutama korupsi politik (politic corruption). Politic corruption ini berdampak pada munculnya korupsi berjamaah dalam arti seolah ada sindikatnya. Ini lebih sulit pencegahan dan pemberantasannya karena dilakukan secara Terencana, Terstruktur dan Monopolistik (TTM). Muncullah yang kita sebut Syndicate Corruption.
Lalu bagaimana strategi penanganan tindak pidana korupsi yang sesuai dengan karakteristiknya yang extraordinary crime? Mengingat akibat korupsi yang sangat luar biasa tersebut maka secara konvensi tadi disepakati bahwa TP korupsi merupakan extraordinary crime. Oleh karena karakternya itu maka langkah-langkah penanganannya pun mesti extra ordinary, tidak bisa ditangani dengan cara biasa, melainkan luar biasa dan integrated. Kita sudah mempunyai Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) tetapi dalam pandangan saya belum integrated baik dalam visi, misi dan operasi. Dalam penanganan tipikor seolah masing masing lembaga hukum mempunyai "target" sendiri sesuai dengan visi misi institusinya. Bagaimana dengan kasus dugaan korupsi Kabasarnas? Jika penangannya kurang integrated, misi UU Tipikor akhirnya bisa kandas. Misalnya OTT Kabasarnas yang bisa dimaknai sebagai langkah progresif dan penetapan tersangka dianggap keliru, dan akhirnya dibatalkan dan harus diulang dari awal lantaran dinilai tidak koordinasi dengan Mabes TNI. Tentu hal ini akan menciderai rasa keadilan masyarakat. Ada apa dengan penegakan hukum kita hingga menimbulkan rasa pilu dan memilukan (elegi penegakan hukum)?
Penegakan hukum biasa sering terbelenggu dengan mantra-mantra sakti positivisme hukum yang mengandalkan rule and logic dengan alasan karena kita mengkiblat pada hukum Eropa kontinental yang beraroma civil law system. Benarkah? Apakah dengan kultur hukum Pancasila itu kita tidak punya cara tersendiri, cara Indonesia dalam penegakan hukum? Bukankah telah terjadi ingsutan paradigma penegakan hukum dari yang mengutamakan kepastian hukum (rule and logic) kepada kepastian hukum yang adil? Kita lihat UUD 1945 juga UU Kekuasaan Kehakiman dan juga KUHP Baru kita yang mengutamakan nilai keadilan di samping nilai kepastian (rule and logic). Ini adalah langkah progresif. Cukupkah di tataran ide dan di atas kertas? Bukan! Harus diimplementasikan. Nah, di sini perlu legal culture baik Internal Legal Culture (ILC), yakni budaya hukum para penegak hukum, maupun external legal culture (ELC), yaitu budaya hukum masyarakat. Gustav Radbruch dengan Triadism (justice, certainty and expediency (utility)) juga mengatakan: "where statutory law is incompatible with justice requairment, statutory law must be disregarded by a judge..". Maka hukum mestinya mengutamakan pencarian keadilan. Bahkan, Thomas Aquinas menyatakan jelas akibat penerbitan SKL itubahwa hukum yang tidak adil itu bukan hukum (lex injusta non est lex).
Bangsa ini saya kira sulit melupakan ketidakadilan dalam penanganan Kasus BLBI. Pertanyaan mendasarnya adalah: adilkah tidak menghukum orang yang terbukti melakukan tipikor, yang telah melalui proses panjang dan akuntabel? BPK, Polri, Jaksa Hakim PN PT, Saksi, Ahli yang kualitasnya tidak diragukan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Apakah putusan bebas itu tidak menciderai rasa keadilan dalam masyarakat, sedang BPK telah menemukan kerugian negara sekitar 4, 58 T. Kalau bukan Syafrudin AT lalu siapa yang bertanggung jawab? Ataukah negeri ini memang sudah dipenuhi dengan orang-orang yang melempar tanggung jawab dan tidak mau bertanggung jawab? Apakah nasib perkara dugaan korupsi Kabarnas dkk juga akan sama dengan kasus BLBI yang dianggap sama dengan "pengadilan kentut" yang sempat heboh di dunia medsos setelah Speedy Trial Sengketa Pilpres di MK---hanya karena locus dan tempus kentut yang dinilai tidak jelas, sementara kentutnya ada?
Dalam kasus BLBI, ada kesan terdapat "hidden interest, yakni agenda" untuk mempersulit bila perlu membuat kasus BLBI ini tidak terungkap atau setidaknya digiring menjadi mal administrasi dan perdata, misalnya melalui jalur LOBBYING. Seperti diberitakan di media online tirto.id bhw diduga ada upaya lobby oleh 2 hakim (Syamsul dan Arifin) kepada hakim ketua (Salman). Benarkah, KY masih akan mendalaminya. Bila lobby itu terjadi maka diprediksikan akan terjadi semacam syndicate yang akan mempersulit pengungkapan (Exposures) kasus BLBI. Dengan demikian maka akan timbul efek buruk yakni semakin membuka peluang terjadinya Tipikor seperti teori gone Jack Bologne. Ia menyatakan bahwa Tipikor terjadi karena adanya faktor gone (Greeds, Opportunities, Needs dan Exposure). Kekuatan lobby ini menunjukkan kebenaran dalil Marc Galanter yg menyatakan: "The haves always come out ahead".
Putusan MA dalam perkara BLBI yang kontroversial juga memberikan kesan melindungi The Big Fish di balik kasus tersebut, maka jalan terbaiknya adalah memutus ranting dan dahan yang patah untuk menyelamatkan batang dan akar sebatang pohon. Juga ada kesan di negeri ini imunitas para pembesar khususnya Presiden dan Wakil Presiden, dan atau pejabat tinggi lainnya dengan menjalankan pepatah Jawa: mikul dhuwur mendhem jero.
Apakah akan sama akhir penanganan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Kabasarnas dkk yang diawali dengan OTT dengan elegi penegakan hukum dalam kasus BLBI? Jika jawabannya "sama", maka jangan berharap misi dan visi UU Tipikor dapat terwujud, sebaliknya akan kandas. Akhirnya, korupsi berpotensi menjadi evolutionary crime yang sulit diungkap dan makin membuka peluang dilakukannya korupsi-korupsi lainnya di masa depan. Itulah fakta-fakta yang timbul akibat kita terlalu mengagungkan positivisme hukum yang kaku keras, dingin dan menutup pintu kreativitas dalam menegakkan hukum khususnya dalam perkara korupsi melalui hukum progresif. Mau tetap berhukum secara konvensional, ataukah progresif? Mau serius dalam membasmi korupsi atau "pura-pura" serius menanganinya? Tabik!
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Ahad: 30 Juli 2023
0 Komentar