Kekuasaan Otoriter: Bukti Matinya Demokrasi dan Berpotensi Memicu People Power


TintaSiyasi.com -- Ada sebuah buku berjudul How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pernah mengunggah foto sedang membaca buku berjudul 'How Democracies Die' di media sosialnya. Anies mengunggah buku tersebut sambil menikmati suasana libur di akhir pekan. "Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi," kata Anies, Minggu (22/11/2020). Ketika itu muncul banyak pertanyaan "Mengapa tiba-tiba beredar foto Anies membaca buku How Democracies Die? Apakah dia sedang "mengeja puzzle" peristiwa yang tengah dipertontonkan di negeri ini yang menggiring pada jurang kehancuran demokrasi?"

Buku yang berjudul "How Democracies Die", yang ditulis oleh Steven Levitsky and Daniel Ziblatt, dua orang ilmuwan politik dari Harvard University yang saya beli tahun 2018 di Bandara Ahmad Yani Semarang tampaknya masih asyik untuk "dibuka-buka". Sejak awal saya bertanya dalam hati bagaimana bisa demokrasi dapat mati? Bukankah sistem ini pilihan terbaik semua negara bangsa (nation state) sekarang ini?

Saya mencoba untuk mengais-ngais informasi di buku yang bersampul warna hitam bertajuk HOW DEMOCRACIES DIE itu. Di bagian pendahuluan Steven Levitsky and Daniel Ziblatt menceritakan bagaimana demokrasi bisa mati. "But there is another way to break a democracy". Siapa pembunuh demokrasi itu? Pembunuhnya bukan para jenderal tiran, diktator, tetapi penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri. It is less dramatic but equally destructive (p. 3). 

Ziblatt dan Levitsky membeberkan banyak contoh; mulai dari Chávez di Venezuela, pemimpin terpilih di Georgia, Hungaria, Nicaragua, Peru, Filipina, Polandia, Russia, Sri Lanka, Turki, Ukraina, dan tentu saja AS sendiri, semuanya para pemimpin tadi membunuh demokrasi secara perlahan. Ternyata demokrasi juga mengalami senjakala mendekati lonceng kematiannya. Apakah mungkin penguasa Indonesia yang mengaku sebagai penguasa demokratis berdasar Pancasila saat ini termasuk yang sedang membunuh sistem yang dipilih dan diciptakannnya sendiri?

Empat Indikator Perilaku Otoritarianisme

Steven dan Daniel mengatakan tidak semua pemimpin terpilih tadi memiliki track record represif dan otoriter. Memang ada yang sejak awal tampak otoriter seperti Hitler dan Chávez. Tapi banyak juga yang awalnya berwajah polos dan lugu, pelan tapi pasti lalu menjadi otoriter setelah memimpin dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Steven dan Daniel memberikan daftar pertanyaan sekaligus sebagai indikator apakah sebuah sistem kepemimpinan itu otoriter ataukah demokratis.

Ada empat indikator otoritarianisme yang disebut dengan "Four Key Indicators of Authoritarian Behavior". Untuk mengetes indikator otoritatianisme itu digunakan "litmus test" (p. 23-24). Keempat indikator itu adalah:

Pertama
Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi). 

Parameternya: 
(1) Apakah mereka suka mengubah-ubah UU? (2) Apakah mereka melarang organisasi tertentu? 
(3) Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara? 
(Do they banning certain organizations, or restricting basic civil or political rights).

Jika kita telusuri peristiwa yang sekarang terjadi, misalnya dengan perubahan UU KPK, UU Minerba, 79 UU dalam UU Omnibus Law yang disebut UU Kejar Tayang dan legitimasinya rendah lantaran ditolak oleh "buanyak pihak" mungkin parameter indikator pertama terpenuhi. Parameter kedua indikator pertama tampaknya juga terpenuhi dengan kejadian pencabutan badan hukum dan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tahun 2017 dan para aktivisnya yang "dipersekusi". Surat Terdaftar FPI setahu saya juga tidak diperpanjang lagi oleh Pemerintah.

Kini ada kejadian lagi terkait dengan perundungan terhadap organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dengan menangkap 8 aktivisnya karena diduga menyatakan pendapat dalam grup WA yang dinilai terkait dengan demonstrasi menolak satu UU yang saya sebut UU Omnibus Law CLBK (Cipta Lapangan Bisnis dan Kerja) yang berakhir rusuh. Apakah ini bisa diartikan telah terjadi pembatasan hak dasar politik untuk berkumpul dan menyatakan pendapat yang seharusnya dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi itu sendiri?

Kedua
Denial of the legitimacy of political opponent (Penolakan terhadap legitimasi oposisi).

Parameternya antara lain: Apakah mereka menyematkan lawan politik mereka dengan sebutan-sebutan subversif, mengancam asas dan ideologi negara? Apakah mereka mengkriminalisasi lawan-lawan politik mereka dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada?

Saya kira masih segar ingatan kita bagaimana banyak orang kritis di negeri ini yang disematkan kepadanya tuduhan terpapar radikalisme, terpapar idelogi "khilafahisme", makar, anti Pancasila dan anti NKRI, serta para banyak ustadz dan ulama yang "dikriminalisasi". Saya sendiri adalah korban propaganda issue radikalisme yang menyasar perguruan tinggi lantaran tidak setuju dengan Perppu Ormas 2017 dan menyatakan bahwa khilafah itu sebagai bagian dari ajaran Islam yang boleh didakwahkan. Dugaan persekusi terhadap ustadz, aktivis dengan tuduhan remeh temeh yang terkesan mengada-ada dan tebang pilih pun terjadi misalnya kepada Ustadz GN, HI, AT, aktivis AD telah terjadi. Kini penangkapan terhadap para aktivis KAMI juga terkesan cukup jelas membuktikan adanya ancaman terhadap kekuasaan yang tengah berlangsung. Terakhir soal kepulangan HRS dari Arab Saudi yang akhirnya ditanggapi secara beragam oleh masyarakat dan pemerintah. Pejabat Pemerintah banyak yang kegerahan atas statemen-statemen HRS pada saat acara maulid Nabi dan pernikahan putrinya di Petamburan. HRS seolah terkesan diposisikan sebagai musuh negara. Apakah adanya bukti-bukti tersebut juga menunjukkan bahwa parameter indikator kedua ini ada?

Ketiga
Toleration or encouragement of violence (Toleransi, membiarkan atau mendorong adanya aksi kekerasan).

Parameternya antara lain: Apakah mereka memiliki hubungan dengan semacam organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri? Saya tidak perlu menyebut nama ormas kepemudaan berseragam "militer" yang acapkali "mempersekusi", membubarkan pengajian, serta bertindak seolah mendudukkan diri sebagai polisi, jaksa dan hakim sekaligus. Apa yang terjadi di Pasuruan dan Surabaya beberapa bulan yang lalu hanyalah sebuah rentetan adanya indikator adanya dugaan hubungan antara paramiliter dengan kekuasaan. 

Tugas menahan, menghentikan kegiatan warga itu adalah tugas aparat penegak hukum, bukan tugas ormas apa pun bahkan apabila ormas melakukan kegiatan itu seharusnya menurut UU Ormas 2017 ormas itu dapat diberi sanksi untuk dibubarkan dan anggota atau pengurusnya dapat dipidana penjara. Namun, kita saksikan penguasa terkesan hanya diam dan seolah menyetujui semuanya. Apakah bukti-bukti yang tersimak ini juga membuktikan bahwa parameter indikator ketiga ini terpenuhi?

Keempat
Readiness to curtail civil liberties of opponent, including media (Kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil). 

Parameter di antaranya: 

(1) Apakah mereka mendukung (atau membuat) UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat? 
(2) Apakah mereka melarang tema-tema tertentu? 

Diterbitkannya UU Ormas, RUU HIP, serta berbagai kebijakan penguasa yang melarang pembahasan tema tertentu misalnya tentang khilafah karena dianggap mengancam Pancasila dan NKRI, sementara khilafah itu adalah bagian dari ajaran Islam tentang Fikih Siyasah yang boleh dipelajari dan didakwahkan sebagaimana sholat, zakat, haji dan lain-lain menjadi bukti adanya parameter indikator keempat ini. Ancaman psikologis terhadap para aktivis pendakwah, ustadz dan lain-lain dengan narasi terpapar radikalisme cukup menghambat hak politik untuk menyampaikan pendapat. Demikian pula penangkapan dan penahanan para aktivis KAMI pada tanggal 11/12 Oktober 2020 juga sebagai indikasi adanya pembatasan bahkan ancaman terhadap hak menyatakan pendapat dan berkumpul. Apakah fakta ini juga menunjukkan terpenuhinya parameter otoritarianisme indikator yang keempat ini?

Keempat indikator itu mungkin terpenuhi semua atau sebagian terpenuhi, maka dapat disebut bahwa suatu negara demokrasi telah mengarah kepada lonceng kematiannya. Jadi, jika jawaban dari semua pertanyaan yang menjadi parameter setiap indikator di atas adalah ya, maka jelas patut diduga bahwa rezim saat ini termasuk otoriter dan represif. Lalu apa dampaknya? Menurut Steven dan Daniel, tindakan represif mereka tidak hanya membunuh demokrasi, tapi juga mengakibatkan polarisasi sedemikian parah di tengah masyarakat, dan kemungkinan terburuknya bisa terjadi perang sipil. Menurut saya, keadaan itu pun bisa memicu gerakan People Power yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan yang otoriter tersebut. Tabik!

Semarang, Sabtu: 8 Juli 2023

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 

Posting Komentar

0 Komentar