OTT dan Penetapan Tersangka Kabasarnas: Tidak Perlu Diulang, Cukup Upaya Praperadilan

TintaSiyasi.com -- Sudah mafhum diketahui bahwa tindak pidana korupsi "dikelompokkan" sebagai tindak pidana yang bersifat extraordinary crime. Oleh karena sifatnya extraordinary crime maka penanganannya pun juga bisa bersifat extraordinary, tidak biasa, luar biasa dan sangat mungkin dalam keadaan tertentu "menyalahi" prosedur. Intinya tindakan aparat penegak hukum bisa bersifat progresif dan tidak terkungkung oleh bunyi aturan UU. Semua dilakukan dalam rangka untuk menunjukkan bahwa kita khsususnya aparat penegak hukum, lebih khusus lagi KPK memiliki "sense of crisis" terhadap tindak pidana korupsi. 

Dalam peradilan kita memang dikenal peradilan koneksitas. Bukan hanya menyangkut wilayah, melainkan juga termasuk kewenangan dalam proses peradilan pidana, mulai dari penyelidikan hingga proses pemeriksaan di pengadilan. Namun, koneksitas tersebut tidak boleh menghilangkan aspek materiil suatu tindak pidana. Operasi Tangkap Tangan (OTT) hanya merupakan tindakan hukum yang bersifat formal dalam mendindak suatu dugaan adanya tindak pidana. Jika ada dugaan kekeliruan dalam prosedur hingga penetapan tersangka, maka APH tidak perlu meminta maaf, karena ada prosedur hukum yang bisa ditempuh, yakni melalui pra peradilan. Jadi, dalam hal penetapan tersangka oleh KPK atas Kabasarnas yang nota benenya seorang anggota TNI, KPK tidak perlu merasa bersalah oleh karena pelaku tindak pidana tertangkap tangan ketika sedang melakukan tindak pidana korupsi. Jika ada pihak yang merasa keberatan atas penetapan tersangka atas dasar OTT, dapat melakukan pra peradilan.

Ada pertanyaan yang perlu diajukan, apakah seorang TNI--dalam jabatan sipil--yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tak semestinya dikenakan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK karena dianggap memiliki hukum militer tersendiri? Berkaitan dengan pertanyaan ini, perlu dibahas dulu tentang apakah ada kedudukan-kedudukan khusus bagi warga negara di depan hukum. Pada prinsipnya kita kenal equality before the law. Ini prinsip negara hukum dan demokrasi. Semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dengan tiada kecualinya (Pasal 27 UUD 1945). Jadi, tidak ada warga istimewa, tidak ada putra mahkota, tidak ada penguasa di atas hukum yang berlaku. 

Namun harus dipahami meski kedudukannya sama, hukum yang mengaturnya beda memang ada mekanisme sendiri. Misalnya, sama-sama melakukan pencurian atau perbuatan tercela lainnya tentu beda antara penanganan terhadap presiden dengan WN biasa. Kalau WN langsung bisa diciduk, tapi Presiden tidak bisa, karena terkait dengan proses Politik dan Hukum (mulai dari DPR, MK dan MPR). Tapi prinsipnya tidak ada yang punya kekebalan hukum. 

Mengenai OTT dan KPK merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. OTT KPK adalah singkatan dari Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. KUHAP kita tidak mengenal OTT, yang ada adalah tertangkap tangan. Ada 5 unsur yang terkait dengan tindakan APH dalam menangani seseorang yang tertangkap tangan sebagaimana Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah sebagai berikut:

(1) Tertangkapnya seseorang artinya: ada orang yang tertangkap.

(2) Pada waktu sedang melakukan tindak pidana artinya: orang itu tertangkap saat sedang melakukan tindak pidana; atau

(3) Segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan artinya: si pelaku tertangkap beberapa saat kemudian setelah melakukan tindak pidana itu; atau

(4) Sesaat kemudian diserukanya/diteriakan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana artinya: si pelaku ketika sedang melakukan perbuatan tindak pidana terlihat oleh khalayak ramai, lalu diserukan sebagai pelakunya dan ketika ia melarikan diri ditangkap oleh orang ramai tersebut; atau

(5) Sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana dan/atau barang bukti hasil kejahatannya.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK juga menggunakan teknik-teknik pengumpulan barang bukti untuk dapat menandingi kecanggihan aktivitas korupsi yang dilakukan oleh koruptor. Adapun teknik yang mengemuka adalah penyadapan dan penjebakan. Penyadapan yang dilakukan oleh KPK didasari pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019 pada Pasal 12 ayat (1) yaitu dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, KPK berwenang melakukan penyadapan. 

Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel, komunikasi, jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi maupun alat elektronik lainnya.

Teknik selanjutnya adalah penjebakan, yang dimaksud dengan penjebakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh penegak hukum untuk menemukan proses pidana untuk menangani tindak pidana korupsi. Penggunaan teknik ini ditentang oleh beberapa kalangan untuk dipakai dalam mengungkap tindak pidana korupsi dengan beberapa alasan antara lain karena tidak ada hukum yang mengatur penjebakan terkait korupsi di Indonesia. Dalam UU KPK, tidak ada satu pasal pun yang memberikan legitimasi bagi penyidik untuk melakukan penjebakan dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi.

Namun, terdapat banyak pro dan kontra terkait tindakan OTT oleh KPK. Pihak yang pro menyatakan bahwa OTT merupakan cara yang tepat untuk menangkap para koruptor karena tidak memerlukan alur birokrasi yang panjang dan menghasilkan barang bukti yang konkret. Di sisi lain pihak yang kontra menganggap pelaksanaan OTT menyalahi aturan dalam KUHAP. Disebut menyalahi karena terminologi dalam KUHAP adalah “tertangkap tangan” dan bukan “operasi tangkap tangan” seperti yang selama ini dilakukan oleh KPK.

Selain OTT, penanganan tipikor dapat dilakukan dengan cara yang disebut case building. Ada yang berpendapat bahwa case building dinilai lebih bisa mendapat keadilan ketimbang OTT. Sebab, ia bisa diuji oleh semua pihak, beda dengan OTT. Selain itu penindakan hukum dengan cara lain selain OTT lebih ada unsur kewajaran yang bisa terlihat. Juga tidak menimbulkan isu kriminalisasi dan politisasi.

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Rabu, 25 Agustus 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih memilih pengembangan kasus atau case building  ketimbang operasi tangkap tangan (OTT). Hal itu karena waktu pemberkasan kasus pada OTT terlalu cepat. Menurut Marwata, OTT membuat KPK tidak bisa mengeksplorasi lebih jauh kasus terkait. Pasalnya, ketika KPK menangkap pejabat negara, status hukumnya harus ditentukan dalam waktu 1x24 jam dan menahan tersangka. Setelah itu, KPK harus segera merampungkan berkas perkara dalam waktu 120 hari. Jangka waktu itu terlalu mepet untuk menangani kasus korupsi.

Sementara itu, case building bisa membuat KPK mengeksplorasi kasus. Lembaga Antikorupsi punya banyak waktu untuk penyelidikan, penyidikan, sampai penahanan tersangka sebelum pemberkasan. Namun demikian, jika OTT dihapus lalu diganti dengan case building diperkirakan akan berpengaruh terhadap upaya pemberantan tindak pidana korupsi di Indonesia karena saya anggap upaya ini termasuk stretegi pelemahan KPK atau bisa dikatakan sebagai moderasi OTT. Bahkan, dalam 5-10 tahun ke depan saya tidak optimis kalau korupsi akan hilang di Indonesia, bahkan sebaliknya.

OTT meski tidak dikenal dalam KUHAP sebenarnya menjadi shock therapy dan menjadi alat yang ampuh untuk membuktikan adanya sense of crisis kita terhadap pemberantasan TP korupsi yang disepakati sebagai extra ordinary crime. Dua sarana penyadapan dan penjebakan ini mrpk instrumen canggih untuk segera mengungkap tipikor.

Menurut saya, ketika OTT tidak lagi diterapkan dan diganti case building serta adanya upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK tahun 2019, misalnya ada Dewan Pengawas KPK yang punya gigi tajam untuk caged penyidik KPK kinerja KPK akan saya ragukan dan dengan demikian banyak kasus korupsi yang tidak terungkap. Dari kaca statistik mungkin akan ada penurunan jumlah kasus, tapi bukan berarti tipikor tidak tinggi. 

Apalagi kalau kita mengamini pernyataan Bupati Banyumas yang saya kutif dari Akun twitter milik eks pegawai KPK Aulia Postiera. Pernyataan dari Bupati Banyumas Achmad Husein, sbb:

"Kami para kepala daerah, kami semua takut dan tidak mau di-OTT. Maka kami mohon kepada KPK sebelum OTT, mohon kalau ditemukan kesalahan, sebelum OTT kami dipanggil terlebih dahulu. Kalau ternyata dia itu mau berubah, ya sudah lepas gitu. Tapi kalau kemudian tidak mau berubah, baru ditangkap, pak,".

Jadi, kalau kita mengikuti alur pikir orang-orang yg berpotensi melakukan korupsi ini dan pelemahan KPK terus terjadi, maka 5 sd 10 tahun ke depan korupsi tidak akan surut bahkan semakin tinggi, apalagi didukung oleh sistem pemerintahan oligarki. Oleh karena itu, saya tetap berharap OTT tetap dijalankan. Jika memang bertujuan untuk pengembangan tindak pidana korupsi mestinya dari sisi hukum acara, waktu penangkapan bisa diperpanjang menjadi 14 hari bahkan bisa ditambah 7 hari seperti tindak pidana extraordinary crime terorisme. Bukankah korupsi juga disepakati sebagai extraordinary crime? Jadi, pemberantasan korupsi bukan hanya menggunakan jalur OTT tapi juga case building sekaligus. Jika OTT sudah dilakukan oleh KPK, maka penetapan tersangka yang nota bene seorang militer dalam jabatan sipil dapat dilakukan melalui koordinasi dengan pihak mabes TNI. Namun, apabila belum sempat berkoordinasi karena alasan tertentu, saya kira tetap bisa dilakukan mengingat sifat extraordinary-nya tindak pidana korupsi. Jika ada yang berkeberatan atas penetapan tersangka karena adanya OTT maka bisa mengajukan pra peradilan tetapi OTT tidak perlu diulang dan KPK tidak perlu meminta maaf. Ini pandangan yang progresif. Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Semarang, 29 Juli 2023

Posting Komentar

0 Komentar