Pertemuan L68T se-ASEAN Batal: Layak Ditolak!


TintaSiyasi.com -- Ramai ditolak, akhirnya batal! Itulah rencana pertemuan L68T se-ASEAN yang batal digelar pada 17-21 Juli 2023 di Jakarta. Forum berbandrol ASEAN Queer Advocacy Week ini ditolak mentah-mentah oleh Majelis Ulama Islam (MUI) dan sejumlah elemen umat Islam.  

Mengapa penyelenggara forum tersebut tidak belajar dari penolakan serupa? Saat rencana kedatangan Jessica Stern, utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk memajukan Hak Asasi Manusia Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, Interseks dan tanda + mewakili orang yang tidak mengidentifikasi gender atau orientasi seksual (HAM LGBTQI+) pada akhir Desember 2022 di Indonesia, juga batal akibat ditentang habis-habisan oleh umat Islam.

Ya, L68T dan pengusungnya memang layak ditolak. Seluruh agama di negeri ini tidak menyepakatinya. Terlebih ajaran Islam. L68T adalah tindakan tidak sesuai fitrah manusia yang dilaknat oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Dari sisi hukum dan moral tidak sesuai. Dampak buruknya pun menimpa berbagai sisi kehidupan manusia. Lantas, apanya yang bisa diterima?

Dari aspek politis, rencana pertemuan L68T se-Asean di Indonesia sejatinya merupakan bentuk pelecehan terhadap religious nation state yang berpenduduk mayoritas Muslim dan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bila pemerintah konsisten dengan prinsip keagamaan serta bervisi melindungi rakyat dari segala ide dan perilaku merusak, maka tidak ada alasan mengizinkannya. 

Dari pembatalan pertemuan L68T ini kita belajar agar terus dan berani menyuarakan kebenaran. Andai tidak ada satu pun elemen dari umat Islam yang menolaknya, tentu forum tersebut akan terlaksana dan melanjutkan misi penguatan L68T di negeri ini. Tetap waspada, karena pengusung L68T tentu akan melakukan segala cara demi meraih targetnya.

Latar Belakang Rencana Pertemuan L68T se-ASEAN

Rencana pertemuan L68T se-ASEAN (ASEAN Queer Advocacy Week) diselenggarakan oleh ASEAN SOGIE Caucus, organisasi di bawah naungan Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 2021. Mereka mendeskripsikan diri sebagai organisasi regional pembela HAM dari berbagai negara di Asia Tenggara.

Dalam rilis resmi yang dikutip liputan6.com, 13/7/2023, mereka bertugas untuk mengadvokasi pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak semua orang terlepas dari orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender, serta karakteristik seks mereka (SOGIESC).

Organisasi ini juga mendukung kapasitas advokat lokal untuk terlibat dalam mekanisme HAM domestik, regional, dan internasional. Sebelumnya, ASEAN SOGIE Caucus juga sudah menyampaikan laporan tematik ahli independen tentang perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender untuk sesi ke-41 Dewan Hak Asasi Manusia, merujuk laman Komisi Hak Asasi Manusia PBB.

Pihak penyelenggara menegaskan bahwa tujuan kegiatan adalah dialog dengan kelompok-kelompok terpinggirkan, termasuk kalangan yang didiskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan berbagai karakteristik seks. 

Selain itu, mereka memiliki visi bersama tentang kawasan ASEAN yang inklusif didasarkan pada keberadaan ruang aman bagi masyarakat sipil dan pemegang hak untuk belajar tentang lembaga tersebut. Sehingga pertemuan dalam rangka untuk membahas masalah yang dianggap penting oleh mereka. 

Rencananya, acara ini membahas sejumlah isu tentang ancaman terhadap eksistensi kehidupan dan martabat yang dihadapi oleh kelompok LGBTQIA+. Mereka menilai, kebencian di dunia maya, serangan langsung terhadap para pembela HAM, serta pembalasan terhadap pelaksanaan hak-hak sipil dan politik, merupakan masalah yang mereka hadapi dan harus ditangani oleh pemerintah. 

Demikianlah latar belakang pertemuan L68T se-ASEAN. Mengapa mereka memilih Indonesia sebagai tempat penyelenggaraan? Bisa jadi karena selama ini pemerintah Indonesia bersikap abu-abu pada L68T. Terhadap Human Right Council's Resolution on LGBT Rights (Resolusi HAM untuk Hak-Hak L68T) tahun 2011 misalnya, Indonesia termasuk 46 negara yang tidak menolak dan tidak mendukung. 

Tidak hanya abu-abu alias tidak jelas koordinatnya, bahkan para pejabat menunjukkan sikap cenderung membiarkan bahkan terkesan mendukungnya berdalih demokrasi, HAM, dan "bukan urusan kita." Terlebih, berdasarkan hukum positif di negeri ini, tidak ada aturan yang mengkriminalkan L68T meskipun bertentangan dengan prinsip keagamaan bangsa ini. Tidak heran bila Indonesia seolah menjadi sasaran empuk program-program L68T.

Alasan Pembatalan Pertemuan L68T se-ASEAN

Penyelenggara ASEAN Queer Advocacy Week, ASEAN Sogie Caucus, akhirnya merelokasi tempat pertemuan di luar Indonesia, setelah mengaku mendapat serangkaian ancaman keamanan dari berbagai kalangan. Pembatalan lokasi demi keselamatan dan keamanan baik peserta maupun penyelenggara ini mereka lakukan setelah memantau situasi lebih dekat dan cermat termasuk gelombang sentimen “anti-L68T” di media sosial (republika.co.id, 12/7/2023).

Gelombang penolakan memang datang dari berbagai elemen umat Islam. MUI melalui wakil ketua umumnya, Anwar Abbas meminta agar pemerintah tidak memberikan izin terhadap agenda tersebut, karena melanggar konstitusi yaitu pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, L68T bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama, terutama enam agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

Mendukung aspirasi penolakan oleh MUI, juga organisasi Perempuan Badan Musyawarah Islam Wanita Indonesia (BMIWI), Anggota Komisi VIII sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid mengingatkan pemerintah Indonesia untuk tegas menolak dan melarang rencana pertemuan aktivis L68T tersebut. 

Baginya, pemerintah penting memastikan bahwa rencana pertemuan itu benar-benar dibatalkan dan tidak terlaksana, bukan karena ancaman, melainkan karena agenda mereka bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di negara hukum Indonesia. Jangan di tingkat publik seolah-olah dibatalkan, tapi secara diam-diam ternyata tetap dibiarkan dan dilaksanakan (fraksi.pks.id, 13/7/2023).

Penolakan juga datang dari Gerakan Indonesia Beradab yang menghimpun 206 organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Menurut mereka, aktivitas pertemuan komunitas L68T se-ASEAN atau sejenisnya melanggar hak dan martabat kemanusiaan yang sangat asasi. Pun segala aktivitas yang bertentangan dengan agama adalah perbuatan melanggar hukum, moral, dan ideologis di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa (tvonenews.com, 12/7/2023).

Adapun Wakil Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Mohammad Najib berpandangan jika L68T merupakan perilaku menyimpang dari kehidupan masyarakat yang normal, melanggar kodrat. L68T juga merupakan bagian dari penyakit masyarakat, bertentangan dengan etika agama, dan budaya bangsa Indonesia, serta merusak moral dan tatanan kehidupan masyarakat. ICMI mengimbau kepada aktivis L68T untuk tidak mengajak dan mempropagandakan perilaku menyimpang L68T kepada masyarakat (republika.co.id, 13/7/2023).

Dengan demikian, pemerintah Indonesia adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjaga rakyatnya dari segala potensi kerusakan. Andai pemerintah mengizinkan pengusung L68T mempropagandakan pemikirannya di Indonesia, ini sama dengan mengafirmasi dan membiarkan masyarakat menjadi permisif terhadap L68T. 

Mengingat bahayanya, L68T harus ditolak dan dilawan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan karena Indonesia sebagai religious nation state, semestinya hukum di negeri ini memiliki cara untuk menanggulangi dari segi pencegahan hingga pemberantasannya.

Implikasi Pembatalan Pertemuan L68T se-ASEAN terhadap Propaganda L68T di ASEAN khususnya di Indonesia

Rencana pertemuan komunitas L68T se-ASEAN ini hendaknya membuka mata masyarakat bahwa kaum sodom tersebut kian berani melakukan show off dan kampanye terbuka di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini dengan berbagai cara dan sarana. Diduga, ada gerakan besar, jaringan luas, serta sponsor dan pendanaan yang kuat untuk mempropagandakan perilaku L68T di Indonesia berdalih kebebasan dan HAM.

Setidaknya, pembatalan pertemuan L68T se-ASEAN tersebut diharapkan membawa implikasi terhadap propaganda L68T di ASEAN khususnya di Indonesia, yaitu: 

Pertama, menunjukkan pada dunia bahwa umat Islam di Indonesia masih memiliki sense of crisis terhadap maraknya L68T dan tidak memberikan tempat bagi para pengusung L68T untuk mempropagandakan perilaku bejatnya. Ini menampakkan bahwa minimal secara syu'ur (perasaan), kaum Muslimin masih "punya hati" untuk tidak mentolerir perilaku keji yang dilaknat oleh Allah SWT dan Rasul-Nya tersebut.

Kedua, menjadi shock therapy bagi aktivis L68T (khususnya dari luar negeri) untuk tidak mempromosikan pemikiran dan perilaku mereka. Seharusnya dari pembatalan Jessica Stern datang ke Indonesia, pun pertemuan L68T se-ASEAN ini, membuat pengusung L68T untuk tidak membuat agenda apa pun di Indonesia. Sebab, ujung-ujungnya pasti ditolak oleh elemen umat Islam.

Ketiga, pemerintah Indonesia harus lebih peka terhadap aspirasi penolakan umat Islam terhadap L68T. Agar tak lagi tidak bersikap abu-abu bahkan cenderung membiarkan komunitas bejat tersebut berkembang di negeri ini. Bila tidak menghendaki dampak buruk L68T lebih meluas, semestinya pemerintah bertindak tegas terhadap pelaku L68T.

Keempat, menjadi pesan bagi kaum Muslimin di Indonesia agar jangan pernah memberi tempat bagi komunitas L68T mempromosikan perilakunya di tengah masyarakat. Penolakan terhadap setiap rencana agenda L68T ini hendaknya menginspirasi masyarakat agar berani menolak bentuk-bentuk kemaksiatan lainnya.

Demikianlah beberapa implikasi pembatalan pertemuan L68T se-ASEAN terhadap propaganda L68T, khususnya di Indonesia. Namun, di sisi lain umat Islam mesti menyadari bahwa eksistensi L68T kini bukanlah sekadar isu seksualitas, perilaku individual atau gerakan sosial. Namun telah menjelma menjadi gerakan politik karena didukung oleh AS, negara superpower yang melegalkan pernikahan sejenis pada tahun 2015, menyusul dua puluhan negara Barat lainnya. 

Terlebih PBB telah melindungi dan mengakui hak-hak mereka dalam UN Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity pada Desember 2008. Pun mengeluarkan seruan menanggulangi diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender pada April 2011 sebagai komitmen menentang segala jenis diskriminasi terhadap pelaku L68T. 

Sekaligus memantau negara-negara dalam melindungi L68T dan menyerukannya mencabut UU serta kebijakan diskriminatif. Pun didukung dana besar dari lembaga keuangan internasional semacam UNDP dan disponsori oleh berbagai perusahaan besar di dunia. 

Maka bila umat Islam berkehendak untuk mencabut L68T hingga ke akar–akarnya, tak hanya berhenti pada aksi penolakan atau memboikot produk perusahaan pendukung L68T, namun boikot juga sistem hidup yang memfasilitasi tumbuh dan berkembang biaknya perilaku bejat ini. 

Menjadi keniscayaan pergantian sistem kehidupan dari sekularisme liberal menuju tatanan Islam yang menerapkan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Mari bersama mewujudkannya.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. Pakar Hukum dan Masyarakat dan Puspita Satyawati Analis Politik dan Media

Posting Komentar

0 Komentar