Polisi Bunuh Polisi: Inikah Salah Satu Cermin Industri Hukum?


TintaSiyasi.com -- Siapa tak kenal Ferdy Sambo yang didakwa membunuh Brigadir J? Namun tragedi itu tidak lantas menjadi peringatan kepada polisi lainnya untuk menghindari aksi sadis tersebut. Nyatanya, usai Sambo, kasus polisi bunuh polisi masih terjadi. Di Lampung Tengah, kasus polisi tembak polisi terjadi karena arisan istri, pada Ahad (4/9/2022). 

Di Gorontalo, pelaku dan korban penembakan adalah teman dan sama-sama berpangkat Bripda. Terjadi di Asrama Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Gorontalo, Tabongo Timur, Tabongo, Kabupaten Gorontalo, pada Jumat (16/9/2023) (tribunnews.com, 19/9/2022). Terbaru, penembakan anggota Polri memicu tewasnya Bripda IDF, di Rusun Polri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, pada Ahad (23/7/2023). Polri telah mengambil tindakan dengan mengamankan dua tersangka; Bripda IMS dan Bripka IG (republika.co.id, 27/7/2023).

Polisi bunuh polisi yang terus terjadi tentu menambah citra buruk institusi penegak hukum tersebut di negeri ini. Tak hanya kasus pembunuhan, catatan kelam lainnya pun menempel di tubuhnya. Dari polisi peras polisi, polisi korup, polisi mafia, hingga "simpanan" polisi. Disinyalir, relasi kekuasaan yang terpatri kokoh dan eksploitasi bawahan oleh atasan menjadi wajah lama di institusi kepolisian.

Dari sini nampak bahwa reformasi di tubuh Polri ternyata belum berjalan tuntas dan masih menyisakan persoalan klasik. Profesionalisme masih menjadi harapan. Aroma industri hukum pun tercium kuat. Bila polisi bisa “dibeli” maka tamatlah riwayat keadilan di negeri ini. Komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membersihkan institusinya dari praktik-praktik menyimpang harus terus masyarakat tagih. Berdasar komitmen "Ikan busuk mulai dari kepala," kini Kapolri masih memiliki PR untuk memotong kepala ikan mengingat masih ada ikan-ikan yang busuk.

Polisi Bunuh Polisi Terus Terjadi: Aksi Brutal nan Sekular Liberal

Tragedi pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo, diikuti kasus polisi bunuh polisi lainnya, tentu membuat kepercayaan masyarakat terhadap Polri kian anjlok. Apalagi ditambah deretan catatan kelam lainnya. Meski pihak kepolisian berdalih pelakunya hanyalah oknum, namun terus bergulirnya kasus polisi nakal hingga bejat seperti polisi jual narkoba, main judi online, kasus Hasya yang ditetapkan tersangka meski sudah meninggal, hingga anggota Densus yang terlibat perampokan dan pembunuhan, salahkah bila publik merasa pembusukan institusi Polri tengah terjadi? 

Tak hanya melakukan extrajudicial killings dalam beberapa kasus penembakan terduga teroris seperti Siyono, Qidam Alfarizki, dan Muhammad Jihad Ikhsan, serta terhadap enam anggota laskar FPI dalam kasus KM-50, beberapa polisi justru menembak sesama polisi sendiri. Begitu banyak kasus yang melibatkan banyak personel, lintas satuan, berbagai jenjang kepangkatan, maka sangat naif bila menyebut bahwa itu hanya perilaku oknum ansich. 

Diduga, kasus-kasus buruk yang terulang mengindikasikan secara organisasi, Polri tidak membuat sistem yang bagus untuk memastikan oknum-oknum itu bertindak sesuai aturan, moral, hukum, dan agama. Maka, bila kualitas anggota polisi bermasalah secara moral dan tidak berintegritas, apa kabar penegakan hukum hari ini?

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai reformasi di tubuh Polri harus segera dilakukan. Menurutnya, rentetan kasus para personel yang mencoreng Polri ini menunjukkan perlu evaluasi mendasar di institusi tersebut. Ia mendorong agar reformasi Polri dilakukan secara konkret meliputi perbaikan sistem, pengubahan struktur dan instrumen yang pada akhirnya juga akan mengubah kultur menuju organisasi kepolisian profesional yang diharapkan masyarakat (republika.co.id, 8/2/2023).

Sebenarnya, keadaan penegakan hukum yang bopeng sangat mungkin dimulai dari cara polisi menjalankan pekerjaan yang berkarakteristik misalnya:

1. Polisi berada di garda terdepan dalam penegakan hukum. In optima forma. 
2. Polisi sebagai hukum yang hidup, di tangannya suatu peraturan hukum mengalami perwujudannya. 
3. Polisi bekerja di antara law and order sehingga ia memiliki diskresi yang sangat luas.
4. Polisi bekerja disertai dengan dibolehkannya penggunaan kekerasan yang terukur, bukan abuse of power. 
5. Pekerjaan polisi berpotensi menjadi bersifat tainted occupation (pekerjaan yang berlumuran noda).

Karakteristik pekerjaan polisi tersebut bila tidak dijalankan dengan benar dan menjadikan "good behavior" sebagai ukuran utama, maka langkah menyingkirkan kebenaran dan keadilan dalam due process of law tahap awal sudah dimulai. 

Bila ditelisik, terus berulangnya kasus polisi bunuh polisi serta kejahatan lainnya menunjukkan bahwa ini merupakan gejala problem sistemis. Tak lagi kasuistik. Oknum itu bila pelaku kejahatan dari sebuah organisasi/institusi berjumlah sangat sedikit. Tapi jumlah pelaku kejahatan dari kalangan kepolisian, bisakah disebut berjumlah sedikit?

Ya, tangan polisi yang berlumuran noda (tainted occupation) bahkan darah, sangat mudah terjadi dalam penerapan sistem sekularisme kapitalistik liberalistik. Bagaimana tidak? Sekularisme telah mencabut fitrah manusia untuk menghamba dan beribadah pada Allah SWT dalam semua sisi kehidupan. Manusia dikatakan beragama saat menjumpai Tuhannya dalam aspek ritual (shalat, puasa, haji). Adapun dalam aspek pengaturan diri dan interaksinya dengan manusia lain, agama dilarang cawe-cawe.

Berkelindan dengan paham kapitalisme yang menjadikan pencapaian material sebagai puncak kesuksesan sekaligus tujuan hidup, maka segala cara entah halal atau haram diterjang. Yang pertama adalah uang, kedua duit, ketiga cuan. Pun liberalisme melengkapi pembentukan kepribadian manusia menjadi serba bebas bahkan cenderung liar.

Tak heran bila pembusukan institusi terjadi akibat permasalahan sistemis ini. Dan faktanya, hal serupa tak hanya menimpa kepolisian. Di berbagai instansi lain, kumpulan oknum juga banyak ditemukan. Dengan demikian, tak hanya usulan reformasi struktural, gagasan untuk merevolusi sistem hidup yang menaungi institusi kepolisian dan lembaga lainnya, patut diperhitungkan. Pun melirik sistem Islam yang berasal dari Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan, sebagai alternatif shahih penggantinya.

Polisi Bunuh Polisi: Cermin Praktik Industri Hukum

Kasus polisi bunuh polisi, terlepas dari pemicunya, apakah karena persaingan jabatan, dugaan melindungi kejahatan, perselisihan biasa, hingga asmara, mengindikasikan ada yang tidak beres dalam tubuh institusi Polri, seberapa pun besarnya. Persoalannya pada manajemen konflik yang kurang efektif bahkan terkesan terjebak dalam industri hukum. 

Ya, ketika kebenaran dan keadilan tak lagi dijadikan landasan penegakan hukum. Saat untung rugi justru dipakai sebagai dasarnya, industri hukum sangat mungkin terjadi. 

Teringat pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD (Forum ILC, 11/2/2020) tentang industri hukum dalam kepolisian yang terkesan kebenaran dan keadilan diperjualbelikan atau setidaknya dipermainkan, bersandiwara. Ia menyampaikan, yang benar bisa dikatakan salah dan yang salah bisa dikatakan benar. Pun praktik pengalihan perkara dari pidana ke perdata, dan sebaliknya. Bahkan ia mensinyalir ada seorang polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri agar dapat menceraikan istrinya.

Bila praktik industri hukum oleh oknum penegak hukum di negeri ini benar adanya dan terus dibiarkan, maka akan memunculkan berbagai corporation atau perusahaan dan perbisnisan di dunia hukum, di antaranya; 

1. Police corporation
2. Prosecutor corporation
3. Court corporation
4. Prison corporation
5. Advocate corporation 

Yang terakhir, akan terjadi Indonesia corporation. Bila demikian, sesungguhnya negara ini telah menjelma menjadi perusahaan raksasa berwajah dingin tetapi bengis terhadap rakyatnya sendiri. Hilang karakter diri sebagai negara benevolen. 

Yang tersisa tinggal hubungan bisnis antara produsen dan konsumen. Produsennya negara dan swasta, sedang konsumennya adalah rakyatnya sendiri. Akhirnya, kepengurusan negara hanya sebatas profit, bukan benefit. Itukah yang diinginkan, ketika negara hukum kesejahteraan sosial kita akan bermetamorfosis menjadi negara industri hukum?

Industri hukum dapat terjadi di semua lini penegakan hukum ketika mereka berupaya memperjualbelikan kebenaran dan keadilan. Sanksi pidana mungkin juga tidak mempan. Maka kata kuncinya adalah akhlak. Akhlak yang mana? Ukurannya apa? Itu yang harus dirumuskan dengan standardisasi tepat sehingga hukum tidak lagi diperdagangkan. Hukum dagang harus, dagang hukum jangan! Hukum industri harus dipelajari, industri hukum jangan!

Compang-campingnya penegakan hukum dan sistem peradilan di negara ini, tidaklah terlepas dari sumber hukum yang menjadi rujukan penerapannya yaitu berasal dari produk ciptaan akal manusia yang terbatas dan tidak dibangun berlandaskan akidah atau wahyu Sang Pencipta. Maka tidaklah mengherankan, penerapannya kerap menimbulkan ketimpangan, polemik, dan masalah baru lainnya. 

Alih-alih menjadikannya solusi, justru muncul masalah karena diatur oleh kehendak nafsu manusia. Itulah yang terjadi pada penerapan hukum dalam negara demokrasi yang sarat kepentingan dan cenderung melindungi kelompok atau orang tertentu saja. Sistem yang terbukti gagal atau utopis memberikan rasa keadilan.

Strategi Pencegahan Praktik Industri Hukum Khususnya dalam Penegakan Hukum oleh Polisi

Polisi khususnya sebagai garda terdepan penegakan hukum, tidak boleh menjadi agen industri hukum yang hanya dipenuhi pertimbangan untung rugi, bukan kebenaran dan keadilan. Apalagi bila menjadi alat pemerintahan negara demi mewujudkan "kejahatan-kejahatan politiknya," maka negara sebagai police state. Kita tentu tidak menghendaki keadaan demikian terjadi di negeri ini.

Oleh karena itu, perlu digagas strategi pencegahan praktik industri hukum khususnya penegakan hukum oleh polisi. Berikut ini hal-hal yang bisa diupayakan.

Pertama, sebagai negara hukum, Indonesia membutuhkan sistem hukum di mana negara memiliki otoritas penuh dalam menegakkan penerapan hukum. Negara tidak boleh dalam kendali atau intervensi kelompok tertentu (oligarkh) dalam melaksanakan penegakan hukum. 

Kedua, para penegak hukum; polisi, jaksa, hakim, pengacara yang diberi amanah untuk mengadili suatu perkara haruslah dari kalangan manusia terpilih yang memahami perkara dan hukum yang telah dibentuk dengan cara terbaik sehingga tidak gegabah bahkan keliru menjatuhkan suatu vonis. 

Ketiga, penerapan hukum yang berlandaskan kebenaran dan keadilan. Sehingga secara nyata melindungi masyarakat dari berbagai tindakan kejahatan dan memberikan rasa keadilan. Pun melindungi masyarakat atau penegak hukum dari praktik penyimpangan penegakan hukum termasuk industri hukum. 

Keempat, Polri tidak berhak membuat regulasi untuk rakyat yang berlaku umum apalagi disertai ancaman berupa sanksi. Karena tugasnya menegakkan hukum bukan membuat hukum. Tugasnya mengayomi, dan melayani bukan ikut kompetisi. Bila ada maklumat Kapolri, karena ini bukan negara polisi maka ia pun tidak bisa membuat aturan sendiri yang dikenakan untuk rakyat. Dari sisi hukum, maklumat semacam itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, dianggap tidak ada, dan tidak berlaku.

Kelima, untuk menghindari police state dan konsen pada pemihakan terhadap penderitaan rakyat, polisi negara RI harus kembali kepada fungsi pokoknya yaitu: 

(1) Memelihara keamanan dan keteriban masyarakat;
(2) Melindungi, melayani dan mengayomi masyarakat;
(3) Menegakkan hukum yang tetap dibingkai oleh etika kehidupan berbangsa sebagaimana yang telah disebutkan yaitu: 

(1) Meniscayakan penegakan hukum secara adil;
(2) Perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum;
(3) dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya. 

Keenam, meskipun Polri telah bertugas menegakkan hukum, polisi tidak boleh menjadikan kewenangan dan aturan hukum sebagai alat gebuk terhadap rakyat. Maka penegakan hukum pun harus dilakukan secara progresif, yakni memperhatikan konteks, pelaku, dan segala faktor yang meliputinya tanpa melakukan pemihakan apalagi turut serta berkompetisi. 

Sebagai penegak hukum yang berhadapan langsung dengan masyarakat, polisi seharusnya bertindak progresif saat menggunakan kewenangannya untuk menggunakan diskresi secara patut sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Karakter polisi yang progresif ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut: 

(1) Dengan kecerdasan spiritualnya (spiritual quotient), seorang penegak hukum termasuk polisi tidak terkungkung oleh peraturan bila ternyata dengan itu justru tidak menghadirkan keadilan; 

(2) Polisi sebagai penegak hukum mau melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum khususnya dalam melakukan penemuan-penemuan hukum (rechtsvinding) melalui pencarian makna yang lebih dalam (deep interpretation) dari suatu teks dan konteks hukum sehingga tidak terjebak dengan makna gramatikal yang dangkal;

(3) Polisi sebagai penegak hukum mau memiliki kepedulian dan keberpihakan terhadap rakyat, pihak lemah harus dijamin dan diindungi hak-haknya (compassion). 

Ada dua syarat menjadi sosok polisi progresif yaitu: (1) braveness (keberanian); (2) vigilante (jiwa pejuang kebenaran dan keadilan). Keberanian untuk apa? Untuk menjalankan tugasnya yakni melindungi dan mengayomi seluruh rakyat meskipun pendapat mereka dinilai berseberangan dengan rezim berkuasa. Keberanian itu akan muncul manakala kesadaran politik setiap insan meyakini kebenaran yang diperjuangkannya.

Vigilante maknanya polisi seharusnya menjadi pejuang penegak kebenaran dan keadilan. Sulit memang menemukan sosok berani pembela kebenaran dan keadilan, jika karakter moralitas dan religiusitas pribadinya melemah, serta kehilangan sosok panutan. No law without moral, no moral without religion!

Demikian strategi untuk mencegah praktik industri hukum khususnya dalam penegakan hukum oleh polisi. Sehingga kasus polisi tembak polisi yang bukan hanya melanggar hukum tetapi juga moral, tidak terjadi lagi.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik Media)

Posting Komentar

0 Komentar