Road to 2024 (17): Perang Tanding GUS versus Gus


TintaSiyasi.com -- Pertarungan istilah dalam tahun politik penuh tak-tik. Hal ini menjadi bagian komunikasi publik mendekatkan calon kepada konstituen. Tiap daerah boleh jadi berbeda-beda. Berdasar pada latar belakang sosiologis dan geografisnya. Seperti di Jawa Timur, istilah gus didekatkan kepada masyarkat yang notabenenya dianggap manut kiai. Posisi kiai saat ini masih pada rujukan persoalan agama. Belum pada rujukan politik. Hanya politisi yang memanfaatkan kondisi untuk sowan dan minta doa kemenangan.

Istilah gus dan ning pun mengglobal. Jamak dari gus ialah gawagis dan ning menjadi nawaning. Second line dari keturunan ulama dan kiai ini, kini dipandang penting. Sebab hidup di zaman yang berbeda dengan keturunan di atasnya. Gus dan ning juga merambah dunia digital dengan cuplikan ceramah dan pendapatnya. Pun dalam urusan politik, politisi tampaknya cerdik memanfaatkan posisi gus dan ning meraih dukungan politik dan pemenangan.

Menariknya, Muhaimin Iskandar (Ketum PKB) yang dahulu disebut Cak Imin, kini dalam kampanyenya enjoy disebut Gus Muhaimin. Ini dirasa lebih mendekatkan kepada publik dan trah keturunan kiai. Penyematan ini mungkin cocok untuk Jawa Timur yang menjadi barometer politik nasional. Di tempat lain belum tentu. Karena itu tak mengherankan jika Gus Muhaimin masif kampanye terkhusus jika kepala daerahnya berasal dari PKB. 

Lain halnya dengan GUS (kepanjangan dari Ganjar Untuk Semua). Relawan Ganjar paham, jika ingin diterima di Jawa Timur komunikasi yang dibangun selaras. Ganjar yang notabene dari Jawa Tengah kini mencoba menjajaki suara di Jawa Timur. Hal ini menjadi pertarungan menarik antara sesama gus. Gus Muhaimin keturunan trah kiai versus Ganjar Untuk Semua yang memang istri Ganjar juga trah kiai. Bagaimana sebenarnya komunikasi politik melalui istilah ‘Gus’ ini?

Komunikasi Politik Istilah Gus

Rakyat sebagai calon pemilih menjadi obyek dalam gelombang opini besar dari relawan pemenangan Capres-Cawapres. Untuk mendekatkan Capres-cawapres relawan mengreasikan konten. Ini sebagai media komunikasi dan penghubung. Tujuan dari itu semua untuk membentuk opini publik, kerumunan massa, hingga loyalitas perwajahan sang calon. 

Tak mengherankan jika menjelang pemilu banyak singkatan baru. Dahulu dikenal SBY-JK, Mega-Pro, dan deratan lainnya. Saat ini muncul gus yang akhirnya bisa dikemas dengan Ganjar Untuk Semua. Keluar dari mainstream sebutan gus untuk putra kiai. Gaya komunikasi seperti ini dibangun untuk mendulang simpati yang harapannya memilih. Selain itu, akan memudahkan calon bisa masuk ke komunitas pesantren dan basis pengikutnya.

Komunikasi politik dengan istilah ‘gus’ kini marak. Beberapa kepala daerah juga merupakan gus atau kyai. Lantas, bagaimana analisis peristilahan ‘gus’ ini di tahun politik? 

Pertama, istilah ‘gus’ sebenarnya sakral. Kalangan umum tidak memakainya kecuali orang yang memang bernama ‘Agus’. Jadi wajar kalau Agus dipanggli ‘gus’ secara nama, tapi tidak secara nasab. Keunikan ketika istilah gus kemudian dijadikan kepanjangan ‘Ganjar Untuk Semua’, maka ini keluar dari mainstream. Sah-sah saja karena ini sebuah pendekatan komunikasi. Yang disayangkan jika publik tidak bisa menangkap apa maksud dari sebenarnya.

Kedua, komunikasi politik juga perlu identitas. Menganggap politik identitas yang dituduhkan kepada Islam dengan tuduhan sumir juga tidak tepat. Pasalnya, komunikasi poitik juga harus jelas siapa yang menjadi subyek dan penerima (obyek). Kejelasan ini ditunjukkan dengan pesan yang tersampaikan. 

Istilah ‘GUS’ jelas menyasar konstituen kalangan kiai, gawagis, nawaning, dan santri. Identitas ini menyasar ke daerah dengan basis pemilih pondok pesantren. Jejaring mereka yang meluas menjadi ‘getok tular’ yang mereferal ke yang lain. Alhasil, misi utamanya tersampaikan pesan bahwa si calon ini layak dipilih. Sudah mafhum diketahui basis pesantren ini banyak di Jawa Timur, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY. Pulau Jawa masih menjadi episentrum dari perebutan suara si calon.

Ketiga, bermunuculan kepala daerah baik itu Gus, Habib, dan Kiai. Bahkan, wakil presiden juga K.H. Ma’ruf Amin. Contoh kepala daerah dari kalangan gus, Gus Yani (Gresik), Gus Mudhlor (Sidoarjo), Gus Yasin (Wagub Jateng). Dari kiai ada Drs. K.H. Abdul Rouf (Wabup Lamongan), RKH Fuad Amin (Bupati Bangkalan dua Periode). Dari Habib ada Habib Zainal Abidin (Walikota Probolinggo). 

Terjunnya kalangan agamawan masuk ke politik praktis ini selain semangat untuk perubahan, juga untuk menarik suara kemenangan. Sayangnya, kolam demokrasi lebih sering mengebiri semangat Islami. Jadi ada beberapa hal yang terkadang tidak sejalan dengan kepentingan Islam. Alhasil sikap pragmatis dan tak kuasa dengan gempuran demokrasi yang luar biasa merusaknya. Jadi tak cukup person, butuh kesiapan sistem yang sesuai dengan Islam.

Keempat, peristilahan ‘gus’ dianggap cara moderat untuk mengombinasikan Islam dengan demokrasi. Politisi paham jika demokrasi demokrasi tidak berasal dari Islam. Upaya moderasi politik secara pemikiran ini telah masuk ke dunia pendidikan. Islam dianggap sejalan dengan demokrasi karena ada beberapa ciri kesamaan. Kalangan agamawan pun sedikit yang kritis terhadap demokrasi yang memang akarnya tidak Islami.

Jalan tengah dengan menggunakan istilah ‘gus’ dalam kampanye malah menjadikan kabur pemahaman umat. Seolah-olah karena sudah dianggap gus lalu menjadi orang yang sempurna dan layak memimpin Indonesia. Padahal politik demokrasi telah menyiapkan ranjau-ranjau yang bisa menjerat orang baik menjadi orang buruk.

Peristilahan ‘gus’ dalam komunikasi politik ini akan menjadi perang tanding yang menarik. Cara dinggap terbaik untuk dekat dengan rakyat. Penanaman kepada benak rakyat untuk selalu ingat di suatu saat nanti kepada siapa harus memilih.

Bagaimana Memahami Seutuhnya?

Perebutan kursi kekuasaan sepenuhnya dikendalikan oligarki politik. Rakyat dibuat hura-hura dan hiruk pikuk dalam keseruan kampanye politik. Rakyat belum dididik secara utuh memahami makna politik. Pendidikan politik inilah yang dilupakan oleh politisi, partai politik, dan elemen lainnya. Seolah politik itu hak mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Padahal rakyat sebagai pemilik sah kekuasaan itu wajib memberikan kritik dan kontrol. Begitu pun rakyat juga peduli akan kondisi negeri ini. Ingat, tidak harus berganti pemimpin untuk Indonesia lebih baik. Jika sistemnya sama saja dan pemimpinnya pun berganti, maka perubahan apa yang terjadi? Bisa jadi stagnan.

Rakyat wajib peduli terhadap urusan kepemimpinan di negeri ini. Standar yang dipakai jika ingin sesuai dengan fitrah manusia dan menentramkan jiwa itu adanya di dalam Islam. Politik Islam telah menggariskan jika penguasa atau pemimpin itu seperti penggembala. Ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap gembalaannya. Selain itu, kalau pemimpin itu ingin disebut ulil amri, maka ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dibuktikan dengan menerapkan syariah kaffah.

Perang tanding istilah GUS versus ‘gus’ ini akan memenuhi ruang publik. Jangan sampai rakyat dikecilkan pemahamannya akan esensi politik yang sesuai dengan kaidah syariah. Tentunya di momen tahun politik ini rakyat perlu bermuhasabah dan mencari jalan terbaik, bagaimana Islam mengatur persoalan kenegaraan dan kekuasaan? Sudahkah itu dilakukan oleh Anda, wahai rakyat Indonesia?[]

Oleh: Hanif Kristianto
Analis Politik-Media PKAD

Posting Komentar

0 Komentar