Banditisme Politik: Menganggap Kritikus Oposan Sebagai Musuh

TintaSiyasi.com -- Heboh! Rocky Gerung (RG) menyebut Presiden Jokowi sebagai "bajingan" karena "menjual negara ke pengusaha China" demi pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) ketika melakukan kunjungan kerja ke China beberapa waktu lalu. RG menegaskan, kritik tajam itu terhadap kedudukan publik Jokowi, bukan sebagai individu. Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar, menilai pernyataan RG sebagai kritikan sebab yang disasar adalah sosok presiden, bukan pribadi. Sebagai pejabat publik, hal wajar bagi masyarakat berkeluh kesah meskipun  menggunakan kata-kata 'keras' (bbc.com, 2/8/2023).

Namun, meski Jokowi menganggap ujaran RG sebagai hal kecil, pendukungnya yaitu Relawan Indonesia Bersatu telah melaporkan RG ke Bareskrim. Bahkan Ketua Barikade 98 Benny Rhamdani sesumbar bakal mengerahkan 10 ribu relawan Jokowi berdemo "Tangkap RG" di Jakarta dan melaporkannya di seluruh Polda (Tempo.co, 3/8/2023).

Sikap pendukung Jokowi tersebut terkesan kontraproduktif dengan pernyataannya. Bila Jokowi tidak gercep mengimbau buzzer-nya agar tidak berdemo dan melaporkan RG, atau terkesan tidak peduli terhadap sikap relawannya, maka akan mengesankan kecenderungan wajah pemerintahan otoriter dan praktik diktator. Keduanya menguat ketika oposisi hilang dan masyarakat sipil lemah. Hingga banditisme politik akan memperoleh tempatnya dalam tatanan bernegara.

Banditisme Politik dalam Wajah Pemerintahan Otoriter

Ada fakta menarik dalam dramaturgi di negeri ini. Siapa pun akan sulit mengambil peran lain selain "bandit dan badut politik" yang bekerja bagi kepentingan bandar politik. Sementara pasca reformasi selama lebih dari 20 tahun, keadaan negeri tidak kunjung membaik. Peristiwa maladministrasi publik, korupsi, abuse of power, dan riba terkesan dibiarkan merajalela. Kemerdekaan, kedaulatan, kesatuan, keadilan, dan kemakmuran menjadi janji-janji tanpa bukti.

Atas fenomena itu, kritik sudah banyak dilakukan. Dari lembut hingga keras bahkan berakhir dengan tindakan represif dari sanksi administratif hingga pidana penjara. Pemerintah makin otoritarian, para pemimpin negara tidak ubahnya sebagai bandit yang menggunakan segala sumber daya untuk mempertahankan kekuasaan dengan pengutamaan sanksi daripada pembentukan kesadaran. Pun cara kekerasan, otoriter, antikritik, diskriminatif menegakkan hukum, berperilaku culas serta licik dalam dunia politik.

Dalam "Why People Obey the Law" (1991), Tom R. Tyler menyebut ada dua faktor yang memengaruhi kepatuhan rakyat terhadap hukum. Pertama, instrumental perspective. Kepatuhan hukum karena pengutamaan sanksi hukuman atas ketidakpatuhan (disobidience). Rakyat patuh hukum karena takut hukuman. Kedua, normative perspective. Kepatuhan hukum disebabkan pengutamaan kesadaran atas aturan (legitimasi). Rakyat mematuhi hukum atas kesadaran bahwa aturan itu mereka jugalah yang membuat melalui wakilnya di badan kelembagaan negara. 

Atas dasar teori ini, ketika suatu pemerintahan mengutamakan pengenaan sanksi daripada kesadaran rakyat dalam mematuhi hukum, maka ia telah terjebak dalam sistem otoritarianisme dengan hukum represif. Sistem kekuasaan otoritarianisme tersebut merupakan tahap awal atau mungkin pengulangan fase kekuasaan dalam teori banditisme (Moncur Olson: 1993).

Siapa yang otoriter dalam sistem pemerintahan demokrasi? Terungkap ada dua pihak; rezim penguasa atau pendukungnya. Ada yang menyebut loyalis, relawan, buzzer, preman bahkan para "bandit" dan "badut" politik. Kedua pihak bisa bersama-sama bertindak represif, atau salah satunya saja.

Untuk kasus "bajingan tolol" ini tampak sekali perbedaan sikap dan tindakan antara Jokowi dan pendukungnya. Sikap Jokowi "dingin", sementara pendukungnya "panas" hingga berbagai jenis buzzer itu melaporkan RG secara masif di semua lini Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya kepolisian (dari Mabes, Polda dan Polres). Pasalnya pun terkesan dicari-cari. Dari KUHP, UU ITE, hingga pasal karet dalam UU No. 1 Tahun 1946 yang sempat menjerat HR5 mendekam di penjara. Karakter buzzer itu tampaknya tidak beda dengan perilaku bandit dalam teori banditisme.

Perilaku banditisme dengan kekuasaan adalah kimiawi yang sangat cocok dan akan bersenyawa ketika tidak ada rule of law, antikritik, anticheck and balance, memberangus kritikus, mengerahkan intel, polisi mirip komunis Soviet lama. Orang-orang yang antikritik, anticheck and balance dilihat dari logika teori ini tergolong pro-bandit meski berdalih mencintai penguasa yang menjadi idolanya. Apakah betul buzzer istana berpotensi berubah menjadi bandit dalam perspektif teori banditisme? Kita akan buktikan di beberapa hari ke depan.

Dengan demikian, kritik selalu muncul khususnya dari kalangan oposan hari ini karena penguasa cenderung menjalankan wajah pemerintahan otoriter dan diktator. Didukung para buzzer yang terkesan sebagai bandit politik, membuat kritik oposan selalu dimusuhi.

Dampak Sistem Pemerintahan Banditisme terhadap Kritikus Oposan

Pada rezim siapa pun, kritik tak bisa dihindari. Dalam mengelola urusan rakyat, kebijakan penguasa berpotensi tak memuaskan semua pihak. Pun sebagai manusia, kepemimpinannya pasti diliputi kekurangan. Di sinilah kritik hadir sebagai katarsis kekuasaan. 

Terkait cara rezim merespons kritik terhadapnya, pemerintahan Jokowi sering mendapat sorotan publik. Banyak pihak membandingkan sikap rezim saat ini dengan sebelumnya yang bermuara pada kesimpulan ‘emoh’ dikritik dan lebih emosional. Sehingga terkesan sebagai bandit politik karena keotoriterannya. 

Adapun dampak sistem pemerintahan banditisme terhadap kritikus oposan adalah: 

Pertama, timbulnya "killing effect." Yakni ketakutan masyarakat untuk mengkritik pemerintah bahkan sekadar berpendapat di media sosial. Survei Indikator Politik (Oktober 2020) merilis, 69,6 persen responden 'setuju dan sangat setuju' bahwa warga semakin takut berpendapat. 73,8 persen responden pun 'setuju atau sangat setuju' bahwa warga makin sulit berdemonstrasi (protes). 64,9 persen responden 'setuju atau sangat setuju' aparat makin semena-mena menangkap warga yang orientasi politiknya bukan penguasa.

Kedua, kebebasan berpendapat terancam. Rakyat jadi enggan mengkritik pemerintah jika sedikit-sedikit diancam akan dipanggil atau dibui. Terlebih mengkritisi penguasa kerap dituduh melawan negara atau distigma buruk lainnya.

Ketiga, potensi konflik antarkalangan masyarakat. Keberadaan buzzer istana versus kaum oposan saat ini menampakkan conflict of interest antara keduanya. Padahal sebagai sesama anak bangsa mestinya bersatu dengan mengutamakan kepentingan publik. 

Keempat, semakin mengeksiskan rezim otoriter dan sistem hidup sekularisme kapitalis liberal. Jika kebebasan berpendapat terbungkam, penguasa akan lebih leluasa membuat kebijakan sesuai syahwat politiknya.Tak ada lagi kontrol dan kritik saat penguasa tak memenuhi hak rakyat atau ketika tak menjalankan aturan Allah dalam mengelola urusan rakyat. Selanjutnya, sistem sekuler nan zalim pun tetap eksis sebagai panduan rezim mengatur negara. 

Kelima, kezaliman terus berlangsung, kerusakan kian meluas. Inilah bahaya terbesar saat amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa tidak berjalan. 

Demikian dampak sistem pemerintahan banditisme terhadap kritikus oposan. Padahal kritik dapat membuat sempurna sebuah kebijakan sehingga tidak tertolak oleh rakyat. Sehingga penguasa ala bandit yang antikritik akan cenderung menjadikan negara diktator otoritarian yang diyakini cepat atau lambat justru akan "ditawur" rakyatnya sendiri. Inikah yang dikehendaki?

Strategi Ideal Penyampaian Kritik terhadap Penguasa sehingga Tujuan Dicapai Tanpa Merugikan Pihak Lain

Jika demokrasi dengan wajah aslinya yaitu tirani minoritas atas mayoritas telah melahirkan penguasa antikritik, maka Islam melalui penerapan sistem pemerintahan khilafah justru membuka ruang kritik bagi masyarakat. Bahkan dalam Islam, kritik termasuk ajaran Islam yaitu amar makruf nahi mungkar (QS. Ali Imran: 110).

Rasulullah SAW menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. At-Thariq menuturkan, “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW seraya bertanya, ‘Jihad apa yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim'." (HR. Imam Ahmad) 

Muhasabah atau kritik terhadap penguasa merupakan bagian dari syariat Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga dan membawa keberkahan. Seorang pemimpin Muslim tak perlu alergi kritik. Terlebih sampai membungkam lawan politik dengan kebijakan represif.

Dalam Islam, strategi penyampaian kritik terhadap penguasa sehingga tujuan dicapai tanpa merugikan pihak lain antara lain:

Pertama, mengkritik kebijakan penguasa sebagai kewajiban. Pun sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah Swt dan kemaslahatan umat. Bukan demi kepentingan pribadi/kelompok. Tidak boleh mengkritik dengan tujuan menonjolkan diri, termotivasi oleh hasad (kedengkian) atau tendensi lain, namun semata-mata untuk memperoleh ridha Allah ta’ala.  

Kedua, mengkritik harus disertai ilmu. Kita tidak boleh mengritik tanpa ilmu dan basirah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Fatawa, “Hendaknya setiap pelaku amar makruf nahi mungkar adalah seorang yang alim terhadap apa yang Dia perintahkan dan Dia larang.”  

Ketiga, tidak boleh mengkritik penguasa dengan menghina pribadinya. Sebab terkait fisik adalah ciptaan Allah SWT yang tidak boleh dihina. Misalnya, fisiknya hitam, kurus, gemuk, dan sebagainya. Ranah yang dikritik adalah kebijakan/aturan penguasa saat melanggar hukum Allah SWT atau tidak memenuhi hak umat yang menjadi tanggung jawabnya. 

Keempat, menyampaikan dengan bahasa ahsan sesuai adab Islam. Kritik adalah bagian amar makruf nahi mungkar atau dakwah. Allah SWT memberikan panduan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dan berdebatlah dengan cara baik..” (QS. An Nahl: 125).

Bila kita menerapkan hal di atas, maka kritikan insya Allah bernilai ibadah, mendatangkan pahala, dan akan memberi kebaikan bagi orang yang kita kritisi. Menjadi tanggung jawab besar bagi setiap Muslim untuk menghidupkan kewajiban muhasabah lil hukkam. Terutama kalangan pemuda dan intelektual karena mereka adalah martir kebangkitan umat. Imam Ghazali (Ihya Ulumuddin) menyatakan, tradisi intelektual masa lalu adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. 

Meskipun sistem dan rezim saat ini represif, pantang menyurutkan umat Islam menyuarakan kebenaran Islam. Apapun risikonya, cukuplah balasan terbaik dari Allah SWT. Pesan Rasulullah SAW ini begitu indah untuk diingat. “Pemimpin syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menghadap pemimpin yang zalim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR. Al-Hakim)


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar