Tintasiyasi.com -- Assalamu ‘alaikum. Ustadz, saya Ibu Wulan. Di kelompok PKK saya ada dana hibah dari kecamatan sebesar Rp 3 juta. Nah, ini kemudian kami kembangkan dengan cara dipinjamkan kepada anggota dengan bunga. Sekarang uang itu sudah menjadi Rp 12 juta. Bahkan pernah pengurus PKK dibelikan seragam dari uang itu. Seiring ilmu yang kami pahami, kami baru sadar kalau bunga itu haram. Yang ingin saya tanyakan:
1. Sebaiknya diapakan uang hasil bunga itu?
2. Untuk seragam yang terlanjur kami miliki, bagaimana? Mohon maaf, Ustadz. (Bu Wulan, bumi Allah).
Jawaban :
Wa‘alaikumussalam wr.wb.
Alhamdulillah, kami turut bahagia dan bersyukur ada hamba Allah yang merasa menyesal telah melakukan dosa riba, setelah mendapat hidayah dari Allah berkat kajian-kajian Islam yang sahih dari para ulama yang ikhlas.
Penyesalan tersebut perlu dilengkapi dengan beberapa syarat lagi supaya menjadi taubat nasuha (taubat yang sesungguhnya), sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Imam Nawawi dalam kitabnya Riyādhush Shālihīn, menjelaskan bahwa syarat taubat nasuha itu ada 3 (tiga), dan ditambah 1 (satu) syarat jika taubatnya itu karena dosa yang terjadi di antara sesama manusia, misalnya seseorang pernah mencuri harta orang lain dan sebagainya.
Syarat-syarat taubat nasuha adalah:
(1) Al-Nadam (penyesalan), yaitu ada perasaan menyesal pada diri orang yang berdosa terhadap dosa yang telah dilakukannya pada masa lalu.
(2) Al-Iqlā’ (berhenti dari perbuatan dosa), yaitu orang yang berdosa itu berhenti dari dosanya pada masa sekarang.
(3) Al-‘Azam (bertekad kuat), yaitu bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosanya di masa yang akan datang.
Kemudian, tiga syarat ini dan ditambah 1 (satu) syarat lagi, jika dosa yang ditaubati adalah dosa di antara sesama manusia, yaitu menyelesaikan urusan di antara manusia, misalnya seseorang pernah mencuri harta orang lain, atau seseorang pernah melakukan ghibah kepada orang lain, dan sebagainya.
Syarat keempat ini berarti bentuknya misalnya mengembalikan harta yang diambil secara haram kepada pemiliknya, atau minta penghalalan (istihlāl) dari pemiliknya, atau meminta maaf dari orang yang pernah dighibah, dan yang semisalnya.
Selanjutnya, syarat keempat tersebut, yaitu jika dosa yang terjadi itu berkaitan dengan harta haram yang terjadi di antara sesama manusia, cara bertaubatnya ada perincian yang lebih detail lagi dari para ulama.
Berikut ini kami jelaskan cara-cara bertaubat dari harta haram, yang disesuaikan dengan jenis harta haram yang ada. Penjelasan ini kami ringkaskan dari beberapa referensi yang ada (lihat daftar referensi di bawah), khususnya dari kitab Ahkām Al-Māl Al-Harām wa Dhawābith Al-Intifā’ wa Al-Tasharruf Bihi fi Al-Fiqh Al-Islāmi, karya Syekh ‘Abbās Ahmad Muhammad Al-Bāz, dan kami beri tambahan syarah secukupnya.
Jadi, cara-cara bertaubat dari harta haram, sesuai harta haram yang ada, ringkasnya adalah sebagai berikut:
Pertama, jika harta haramnya berupa harta yang zatnya najis, seperti babi, darah, bangkai, khamr, anjing (kecuali anjing untuk berburu, menjaga sawah, dan menjaga ternak), dan sebagainya. Cara bertaubatnya adalah dalam dua poin berikut ini:
(1) Harta najis tersebut tidak boleh dimanfaatkan secara mutlak, seperti dijual, diberikan, dihadiahkan, diwariskan, diwakafkan, dan sebagainya.
(2) Harta najis tersebut wajib dimusnahkan, atau dilepasliarkan (jika berupa hewan).
Kaidah fiqih mengenai harta haram yang zatnya najis, menyatakan:
لاَ يَجُوْزُ اْلإِنْتِفَاعُ بِالنَّجِسِ مُطْلَقاً
“Tidak boleh memanfaatkan zat najis secara mutlak.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz VIII, hlm. 978; Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jāmi’ Li Ahkām Al-Shalāh, Juz I, hlm. 115).
Kedua, jika harta haramnya berupa harta yang diambil dari pemiliknya, tanpa keridhoannya (seperti harta curian, harta rampasan, harta rampokan, harta begalan, dan sebagainya).
Harta yang diambil tanpa ridho pemiliknya ini, misalnya harta hasil pencurian, hakikatnya tidak pernah menjadi hak milik bagi yang mencurinya. Karena itulah, wajar dan dapat dimengerti, Islam mengharamkan jual-beli harta curian. Sabda Rasulullah SAW:
مَنِ اشْتَرَى سَرِقَةً وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهَا سَرِقَةٌ فَقَدْ شَرَكَ فِيْ إثْمِهَا وَعَارِهَا
“Barangsiapa yang membeli barang curian, sedangkan dia tahu itu adalah harta curian, berarti dia telah berserikat dalam dosa dan aibnya.” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Al-Shahihain, no. 915 & 2300).
Cara bertaubatnya, dalam dua poin sbb:
(1) Harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya, atau kepada ahli warisnya jika pemiliknya jika sudah meninggal.
(2) Atau jika ahli warisnya tidak ada atau tidak diketahui, harta tersebut disedekahkan atas nama pemiliknya.
Ketiga, harta haramnya berupa harta yang diperoleh melalui muamalah yang haram, seperti harta riba, harta hasil suap menyuap, dsb, tetapi diambil dengan keridhoan pemiliknya, yang terjadi karena ketidaktahuan atau karena mengikuti fatwa yang awalnya diyakini benar, ternyata fatwa itu terbukti keliru/lemah (marjūh) setelah melakukan pengkajian/pendalaman agama di kemudian hari.
Contohnya, seseorang yang dulunya mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha bahwa riba yang sedikit hukumnya boleh, sedang riba yang besar (berlipat ganda, adh’āfan mudhā’afah), hukumnya haram, berdalil QS Ali ‘Imran : 130 (dengan istidlāl yang keliru). (Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsīr Al-Manār, Juz III, hlm. 133).
Lalu setelah dia melakukan pendalaman, ternyata pendapat Muhammad Abduh dan Ridha itu batil dan tertolak, karena riba itu hukumnya secara umum adalah haram, baik riba yang kecil maupun yang besar, sesuai keumuman haramnya riba dalam segala bentuk dan ukurannya. (QS Al-Baqarah : 275). (‘Abdul Majid Al-Muhtasib, Ittijāhaāt At-Tafsīr fi Al-‘Ashri Al-Rāhin, hlm. 246; ‘Abdurrahim Faris Abu ‘Ulbah, Syawā’ib At-Tafsīr, hlm. 246).
Dalam hal seperti ini, wajib hukumnya mengikuti pendapat yang paling kuat dalilnya (rājih). Firman Allah SWT:
فَبَشِّرعِبَادِ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ
“Maka sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” (QS Az-Zumar: 17-18).
Kaidah fiqih menyebutkan bahwa:
اَلْعَمَلُ بِالرَّاجِحِ وَاجِبٌ وَالْعَمَلُ بِالْمَرْجُوْحِ مُمْتَنِعٌ
“Mengamalkan pendapat yang lebih kuat (rājih) adalah wajib hukumnya, dan mengamalkan pendapat yang lemah (marjūh) tidak boleh.” (Abu Yahya Zakariya Al-Anshari, Ghayātul Wushūl, hlm. 149).
Cara bertaubatnya dalam dua poin:
(1) Dia wajib menghentikan muamalahnya yang haram sejak dia mengetahui keharamannya. Firman Allah SWT:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلىَ الله
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dulu, dan urusannya (terserah) kepada Allah.” (QS Al Baqarah : 275).
(2) Namun dia tidak diwajibkan apa-apa atas harta yang diperoleh di masa lalu. Jadi tidak diwajibkan dia mengembalikan kepada pemilik asalnya, tidak diwajibkan pula untuk menjualnya, dan sebagainya.
Keempat, harta haramnya berupa harta yang diperoleh melalui muamalah haram, seperti harta riba, harta hasil suap menyuap, dsb, yang diambil oleh seseorang dengan keridhoan pemiliknya, (seperti poin ketiga sebelumnya), hanya saja, orang itu sudah tahu keharamannya secara syariah.
Cara bertaubatnya, dalam tiga poin sebagai berikut:
(1) Harta tersebut tidak wajib dikembalikan kepada pemilik harta asal.
(2) Harta tersebut tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, melainkan wajib diinfakkan kepada kaum fakir dan miskin. Penginfakan ini tidak boleh dengan niat sedekah, melainkan sekedar melepaskan diri (at-takhallush) dari harta haram.
(3) Jika diperlukan untuk sekedar hidup, seperti untuk makan, minum, pakaian, dsb, ambil secukupnya dari harta itu, sedang selebihnya wajib diinfakkan kepada kaum fakir dan miskin. Wallahu a’lam bishshawab.
Jakarta, 21 Agustus 2023
Oleh: Muhammad Shiddiq Al-Jawi
(Pakar Fiqih Kontemporer)
0 Komentar