Demi sang Idola, Buzzer Bisa Berkarakter Bandit dalam "Rocky Gerung Gate": Benarkah?


TintaSiyasi.com --Heboh! Dahsyat! Satu kata yang tak akan pernah cukup mewakili kondisi hiruk pikuk dunia politik dan hukum kekinian di Indonesia. Pernyataan radikal Rocky Gerung (RG) terhadap sikap dan tindakan Presiden Jokowi terkait dengan kebijakan politik dan hasil kunjungan kerjasamanya ke negeri China. Dengan segala karakter sikap dan tindakan Presiden Jokowi menyulut pikiran kritis RG dengan statement multitafsir bahwa Presiden Jokowi itu bajingan tolol dan pengecut, bukan bajingan yang cerdas. Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara soal Rocky Gerung yang mengkritiknya dengan menggunakan kata 'bajingan' itu. Dilansir detikNews, Jokowi tak ambil pusing atas kritik Rocky Gerung tersebut. Ia menyebut itu adalah hal kecil. "Itu hal-hal kecil lah," kata Jokowi di Senayan Park, Jakarta, Rabu (2/8/2023). Namun, di sisi lain, para buzzer istana melakukan hal yang kontras, marah dan melaporkan RG kepada pihak yang berwajib.

Memang disadari, menjelang peringatan hari kemerdekaan RI ke-78 tahun ini, panggung politik kita diramaikan oleh dramaturgi pemain peran para "bandit dan badut" politik. Apalagi atmosphere politik menjelang pemilu 2024, makin memicu adrenalin aktor dramatugi itu. Ada yang berperan di pihak penguasa, ada pula yang berseberangan dengannya, khususnya kritikus oposisi. Rekam jejak Rocky Gerung menunjukkan bahwa ia sebagai kritikus handal, dengan ilmu mantiknya yang luar biasa. Sebagai kritikus berbasis filsafat, RG tampaknya merasa gerah melihat berbagai fenomena elegi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Ada fakta menarik dalam dramaturgi di negeri ini sekarang. Siapapun akan sulit untuk mengambil peran lain selain peran "bandit dan badut politik" yang bekerja bagi kepentingan bandar politik. Sementara, pasca reformasi selama lebih dari 20 tahun, keadaan negeri ini tidak kunjung membaik. Peristiwa maladministrasi publik, korupsi, abuse of power dan riba terkesan dibiarkan terus merajalela, kemerdekaan, kedaulatan, kesatuan, keadilan dan kemakmuran akan tetap menjadi janji-janji tanpa bukti.

Atas fenomena itu, kritik sudah banyak dilakukan dari yang lembut hingga yang keras bahkan kritik berakhir dengan tindakan represif dari sekedar sanksi administratif hingga pidana penjara. Kita simpulkan bahwa di era awal reformasi kita sangat berharap negeri ini diperintah secara demokratis, namun dalam pelaksanaannya justru berkebalikan, bukan makin demokratis melainkan makin otoritarian di mana para pemimpin negara tidak ubahnya berperan sebagai bandit yang akan menggunakan segala sumberdayanya untuk mempertahankan kekuasaan dengan pengutamaan sanksi dari pada pembentukan kesadaran, cara kekerasan, otoriter, anti-kritik, diskriminatif dalam penegakan hukum dan berperilaku culas dan licik dalam dunia politik sekalipun.

"Why People Obey the Law", demikian satu titel buku yang dikarang oleh Tom R. Tyler (1991) yang memuat sebuah ulasan yang sangat bagus tentang kepatuhan rakyat terhadap hukum. Oleh Tyler disebutkan bahwa ada 2 faktor yang memengaruhi kepatuhan rakyat terhadap hukum. Pertama, disebut instrumental perspective yang berarti bahwa kepatuhan hukum disebabkan oleh karena adanya pengutamaan sanksi sebagai hukuman atas ketidakpatuhan (disobidience). Jadi rakyat patuh hukum karena takut hukuman. Kedua, disebut normative perspective yang berarti bahwa kepatuhan hukum disebabkan oleh karena pengutamaan kesadaran atas aturan (legitimasi). Rakyat mematuhi hukum karena adanya kesadaran bahwa aturan itu sebenarnya mereka jugalah yang membuatnya melalui para wakilnya di badan-badan kelembagaan negara. 

Atas dasar teori kepatuhan hukum Tom R. Tyler ini, ketika suatu pemerintahan yang mengutamakan pengenaan sanksi dari pada kesadaran rakyat dalam mematuhi hukum maka pemerintahan negara ini telah terjebak dalam sistem otoritarianisme dengan hukumnya yang sangat represif. Sistem kekuasaan otoritarianisme tersebut sebenarnya merupakan tahap awal atau mungkin pengulangan fase kekuasaan dalam teori banditisme (Moncur Olson: 1993).

Siapa yang otoriter dalam sistem pemerintahan demokrasi? Ternyata terungkap ada dua pihak. Bisa pihak rezim penguasa, bisa pula orang-orang pendukungnya. Ada yang menyebut loyalis, relawan, buzzer, preman bahkan para "bandit" dan "badut" politik. Kedua pihak bisa bersama-sama bertindak represif, atau salah satu saja yang bertindak represif. Untuk kasus " bajingan tolol" ini tampak sekali perbedaan sikap dan tindakan antara Presiden Jokowi dan pendukungnya. Sikap Presiden Jokowi "dingin", sementara sikap dan tindakan pendukungnya "panas" hingga berbagai jenis buzzer itu telah dan akan melaporkan secara masif Rocky Gerung di semua lini Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya kepolisian (dari Mabes, Polda dan Polres). Pasalnya pun terkesan dicari-cari. Dari KUHP, UU ITE, hingga pasal karet dalam UU No. 1 Tahun 1946 yang sempat menjerat Habib Rizieq Syihab (HRS) mendekam di penjara. Karakter buzzer itu tampaknya tidak beda dengan perilaku bandit dalam teori banditisme.

Perilaku banditisme dengan kekuasaan adalah kimiawi yang sangat cocok dan akan bersenyawa ketika tidak ada rule of law, antikritik, anti-check and balance, memberangus kritikus, mengerahkan intel, polisi mirip komunis soviet lama. Orang-orang yang anti kritik, anti check and balance dilihat dari logika teori ini tergolong pro-bandit meskipun dengan alasan mencintai penguasa yang menjadi idolanya, yang mirip artis, atau pangeran tampan. Apakah betul buzzer istana berpotensi akan berubah menjadi bandit dalam perspektif teori banditisme? Kita akan buktikan di beberapa hari ke depan. 

Jika pernyataan RG didorong untuk dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian, penghinaan dan bahkan hoaks yang menimbulkan keonaran di tengah masyarakat dengan bukti "kontroversial di medsos", pelaporan pihak lain yang tersinggung hingga demonstrasi para buzzer yang meluas, maka dugaan saya tadi akan menjadi kenyataan. Saya membaca berita di Tempo.co tanggal 3 Agustus 2023 bahwa Ketua Barikade 98 Benny Rhamdani sesumbar bakal mengerahkan 10 ribu relawan Joko Widodo atau Jokowi untuk berdemonstrasi di Jakarta imbas pernyataan Rocky Gerung soal Jokowi. Benny menyebut aksi bertajuk "Tangkap Rocky Gerung" ini juga bakal dibarengi dengan melaporkan Rocky di seluruh Kepolisian Daerah (Polda).

Demi menjaga marwah demokrasi, menurut saya Presiden Jokowi harus bersikap dan bertindak cepat untuk menghimbau para buzzer-nya agar tidak melakukan demontrasi dan pelaporan atas Rocky Gerung. Hal itu akan terkesan kontraproduktif dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa ucapan RG itu "soal kecil", yang berarti tidak perlu ditanggapi dan dipersoalkan secara hukum di alam demokrasi ini. Kalau Presiden Jokowi diam dan membiarkan para relawannya, buzzernya bertindak kontraproduktif dengan pernyataannya, maka hal ini mencerminkan kemunduran demokrasi.

Jika terdapat ketidakpedulian Presiden Jokowi terhadap relawannya, hal ini akan menguatkan pula dugaan Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Didik J Rachbini (Outlook Democracy LP3ES 2021 (11/1/2020)) soal adanya kemunduran demokrasi di Indonesia karena kuatnya kecendrungan wajah pemerintahan otoriter dan praktik diktator. Didik lebih lanjut menyatakan bahwa Presiden dari perilakunya tidak menunjukkan komitmen terhadap demokrasi dalam pengambilan keputusan dan tindakannya. Kecenderungannya otoriter dan praktek diktator semakin kuat ketika oposisi hilang dan masyarakat sipil lemah. 

Ketika rakyat dan oposisi lemah banditisme itu pun memperoleh tempatnya dalam tatanan bernegara, maka, kecenderungan sistem demokrasi berbalik menuju otoriter mulai dan bahkan sudah terjadi. Sungguh ironis ketika demokrasi "dying" oleh karena watak otoritarianisme yang mengeksplotasi hukum demi kepentingan politik atau dapat dikatakan menjadikan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan. Kepatuhan hukum dicapai dengan mengutamakan ancaman (treath) berupa sanksi bukan kesadaran berupa legitimasi atas hukum yang diberlakukan. Kita ingat kasus Pemilu 2019, KPK, UU Omnibus law, kasus Gus Nur, HRS, kasus Bambang Tri, kasus KAMI yang jika kita teliti lebih dalam sebenarnya menunjukkan "dying-nya" demokrasi dan menguatnya otoritaroanisme dalam praktik penyelenggaraan negara, khususnya di bidang hukum dan politik. 

Saya yakin, Presiden Jokowi tidak akan mengorbankan dan mendelegitimasi karakter kenegarawanannya hanya untuk mengurusi persoalan "kecil" terkait dengan pernyataan RG yang sebenarnya berintikan kritik. Di era masyarakat terbuka--the open society (Karl Raimund Popper), kritik itu boleh, sepedas apa pun. Kritikus tidak boleh diposisikan sebagai musuh (enemy), melainkan sebagai sparing partner dalam membangun bangsa dan negara. Jadi, sebaiknya penggiringan opini, sikap dan tindakan untuk mempersekusi hingga memenjarakan RG di alam demokrasi dan pemerintahan Presiden Jokowi ini dihentikan jika Presiden Jokowi ingin mengukir tinta emas di masa akhir jabatannya. Sebaliknya perlu ditunjukkan bahwa sang idola dan pendukungnya tidak terjebak dalam sikap dan tindakan banditisme.

Main ancam dengan pidana denda dan penjara hanya akan semakin menumbuhkan resistensi perlawanan rakyat dalam bentuk "people power" bahkan kudeta dan mengesankan seolah pemerintahan dijalankan secara otoriter, antikritik dan ini berarti antidemokrasi. Saya yakin, banditisme itu cara memerintah yang jauh dari karakter bangsa Indonesia.Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat 
Semarang, Jumat: 4 Agustus 2023

Posting Komentar

0 Komentar