Gas LPG 3 Kg Langka: Inikah Bentuk Ketidakmampuan Pemerintah dalam Mengelola Pelayanan Publik di Bidang Energi?


TintaSiyasi.com -- Emak-emak menjerit, pedagang makanan teriak, dan semuanya dibuat bingung karena kelangkaan tabung gas LPG 3 kg yang biasa disebut gas melon. Banyak daerah mengeluh karena kelangkaan gas melon. Kelangkaan tersebut membuat mereka berhenti memasak, berjualan, dan tidak bisa mengolah makanan. Tidak hanya itu, tiba-tiba harga makanan juga merangkak naik. Bisa jadi makanan jadi mahal karena susahnya mereka mendapatkan gas melon. Sekalipun dapat, harganya tidak seperti biasanya. 

Kelangkaan gas melon hampir merata di seluruh daerah, di Jawa, Kalimantan, Denpasar, dan Sumatera. Seolah-olah memang kelangkaan gas melon ini terjadi secara sistematik. Sekalipun pemerintah mengonfirmasi melalui Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati yaitu penyebab kelangkaan LPG 3 kg karena terjadi peningkatan konsumsi akibat libur panjang. Namun, tetap saja kelangkaan ini di luar nalar, aneh, dan membuat rakyat marah. 

Indonesia sudah berjalan berapa tahun sejak mengonversi kompor minyak tanah menggunakan kompor gas yang menggunakan gas melon? Lalu sekarang bilang, kalau libur panjang berakibat melonjaknya konsumsi dan langka. Padahal liburan, hari-hari besar sudah sering terjadi, tetapi pasokan gas tidak pernah mengalami kelangkaan. Oleh karena itu, ini aneh. 

Terkadang pemerintah itu kebangetan, hanya mengelola distribusi gas melon saja, pemerintah seolah-olah tidak mampu dan mengonfirmasi ketidakbecusan sistem kapitalisme dalam mengelola negara. Padahal, hanya mengelola pendistribusian gas melon ke rakyat. Faktanya, rakyat harus membeli gas melon itu dan tidak mendapatkan gas melon secara gratis, kok masih langka? Bahkan, pemerintah memperlakukan rakyat seolah-olah pengemis dalam mendapatkan gas melon ini. Akhirnya rakyat pun rela antri panjang demi mendapatkan gas melon ini demi menjaga agar dapur tetap mengepul.

Menyoal di Balik Kelangkaan Gas LPG 3 Kg di Berbagai Daerah

Narasi-narasi yang berkembang soal kelangkaan gas LPG 3 kg adalah gas melon tidak tepat sasaran, banyak orang kaya yang menikmati gas melon, sehingga bikin anggaran jebol, dan sebagainya. Ada dua catatan terkait narasi-narasi tersebut. Pertama, seolah-olah pemerintah lepas tanggung jawab terhadap permasalahan kelangkaan gas melon ini. Bisa-bisanya mereka mengatakan tabung gas elpiji 3 kg, hanya untuk rakyat miskin? Padahal yang ingin mendapatkan gas LPG murah tidak cuma rakyat miskin, semua rakyat membutuhkannya. 

Terus kategori miskin yang seperti apa yang mereka canangkan? Padahal saat gas melon langka, semua teriak, emak-emak teriak, pedagang makanan, warung makan teriak. Harus semiskin apa kita agar bisa menikmati gas melon? Seolah-olah ini cuma gimmick-gimmick yang dimainkan agar rakyat terpaksa membeli tabung gas pink brightgas yang dibandrol Rp56 ribu laku di pasaran atau rakyat akhirnya beralih ke kompor listrik. Lagi-lagi inilah kenaikan harga yang dipaksakan akibat kelangkaan. 

Sebenarnya ini lagu lama, seperti kasus BBM, premium langka, lalu hilang, dan semua terpaksa beli pertalite. Bisa jadi pertalite nanti langka lalu hilang, biar semua beli Pertamax. Soal harga minyak goreng juga demikian, sebelum minyak goreng mengalami kenaikan harga yang cukup fantastis, di masyarakat terjadi kelangkaan terlebih dahulu. 

Kedua, pernyataan gas melon tidak tepat sasaran dan berdampak anggaran jebol adalah pernyataan yang playing victim. Pemerintah playing victim. Lhawong Indonesia kaya akan sumber daya alam, kaya akan minyak bumi, lalu masih bilang anggaran jebal-jebol, bukan anggarannya yang jebol, tetapi memang pemerintah tidak becus mengelola sumber daya energi di negeri ini. Indonesia memiliki berbagai sumber daya alam, termasuk gas alam. Di manakah daerah penghasil gas alam terbesar di Indonesia? Berikut adalah penjelasannya!

Dikutip dari Kompas.com (11-1-2023), Menurut Direktorat Jenderal Minyak Bumi dan Gas Bumi dalam Statistik Minyak Bumi dan Gas Semester I (2021), cadangan gas alam yang dimiliki Indonesia adalah sebanyak 43.569 miliar kaki kubik persegi. Namun, di sisi lain pemerintah tetap mengimpor gas ke asing. Menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS) (databoks.katadata.co.id, 11-5-2023), sepanjang 2022 Indonesia melakukan impor gas bumi sekitar 6,8 juta ton. Volume itu meningkat sekitar 5,5% dibanding 2021, sekaligus menjadi impor gas terbesar dalam lima tahun terakhir. Pada 2022 Indonesia paling banyak mengimpor gas dari Amerika Serikat, dengan volume sekitar 2,8 juta ton. Sementara Uni Emirat Arab menjadi pemasok terbesar nomor dua, dengan volume sekitar 1,9 juta ton.

Coba perhatikan, memiliki sumber gas tetapi impor gas. Pertanyaannya, lalu sumber gas yang ada di dalam negeri dikelola untuk siapa? Lalu mengapa impor sebanyak itu? Pasti pemerintah memiliki alasan-alasan dalam mengambil kebijakan itu, tetapi segala kebijakan yang ada seperti memihak pada korporasi, tunduk pada korporasi, sehingga harga-harga yang berkembang di masyarakat juga memenuhi standar bisnis korporasi, bukan lagi untuk mengayomi dan menyejahterakan rakyat.

Ketiga, jika pemerintah mencabut subsidi gas LPG 3 kg membuktikan kebijakan pemerintah makin hari makin menguatkan cengkeraman kapitalisme global. Melalui perjanjian perdagangan seperti World Trade Organization (WTO) meminta seluruh negara yang tergabung dalam organisasi itu untuk mencabut subsidi kepada rakyatnya. Sumber daya alam yang seharusnya dikelola negara untuk rakyat menjadi dikapitalisasi secara besar-besaran. Sehingga dari sana, semua kebutuhan yang berhubungan dengan sumber daya alam, energi, ataupun mineral diserahkan ke swasta, kapitalis, dan di bawah kendali korporasi asing.

Mengutip dari pendapat Rektor ITB Ahmad Dalan Jakarta yang bernama Mukhaer Pakkanna, munculnya liberalisasi pengelolaan hulu-hilir minyak dan gas (migas), memang sejak 1970-an sudah didesain pemerintah. Namun, yang terlihat keblinger, tatkala pemerintah dan IMF menandatangani Letter of Intent (LOI) pada 1998, di mana bangsa mulai digadaikan dengan melepas harga BBM ke mekanisme harga internasional. Otomatis, subsidi migas wajib dikurangi, bahkan dicabut. Asingisasi minyak pun mulai bergulir.

Untuk menjustifikasi hasil LoI itu, sejak 1999 IMF men-support pemerintah untuk melahirkan UU Migas. Maka pada tahun 2000, korporasi minyak raksasa melobi pemerintah Amerika untuk ikut menyusun draf UU Migas di Indonesia melalui “tangan ajaib” USAID, yang telah berkolaborasi dengan Bank Dunia dan IDB. 

Taktik penting yang dilakukan pemerintah AS adalah, menyediakan utang untuk memulai proyek liberalisasi (asingisasi) sektor migas itu. Pemerintah Indonesia pun dengan perasaan riang memperoleh utang untuk mempercepat proses economy recovery sebagai kompensasi adanya pendampingan teknis (technical assistance) keberadaan UU Migas itu. Ujungnya. dalam UU Migas itu terlihat jelas spirit pragmatisme dan asingisasi, di mana penguasaan hulu hingga hilir diberikan pada mekanisme pasar internasional.

Di sinilah akan tercipta jurang antara si kaya dan si miskin, bahkan dengan inilah negara yang kayak akan sumber daya alam akan tampak melarat dan miskin. Akhirnya kemiskinan secara struktural itu akan tercipta dengan sendirinya. Kemungkinan terakhir adalah negara berada di ujung kebangkrutan karena terjebak debt trap. Inilah kejamnya penerapan sistem kapitalisme hari ini, negara tidak bisa maju dan berada dalam pusaran keserakahan kapitalisme global.

Dampak Kelangkaan Gas LPG 3 Kg terhadap Aspek Ekonomi dan Sosial dalam Kehidupan Bermasyarakat

Dampak dari penerapan sistem kapitalisme adalah pemerintah menganggap rakyat adalah beban. Sehingga mereka berusaha memutar otak untuk menjadikan ladang bisnis di segala aspek kehidupan. Hubungan antara pemerintah dengan rakyat bagaikan hubungan antara penjual dan pembeli. Wajar saja narasi pencabutan subsidi atau APBN jebol biasa dinyanyikan untuk melegitimasi kepentingan para korporasi. 

Soal kelangkaan gas LPG 3 kg pasti berdampak terhadap kondisi masyarakat hari ini. Dalam aspek ekonomi. Kelangkaan gas melon tentu membuat kondisi ekonomi makin sulit. Pertama, meningkatnya biaya produksi yang mengakibatkan harga jual produk makanan olahan masyarakat baik di warung-warung atau usaha menengah mikro, sehingga berdampak pada kenaikan harga jual. 

Kedua, kelangkaan berdampak pada kenaikan harga gas melon dari harga biasanya. Sekalipun pemerintah melarang untuk menaikkan harga dari harga pasaran, tetapi tetap saja, ketika langka harganya ya jadi naik. Ketiga, ancaman pencabutan subsidi terjadi. Terkadang fenomena kelangkaan seperti ini akan menguatkan rencana pemerintah untuk mencabut subsidi gas ke rakyat. Pencabutan subsidi ini berdampak terhadap kenaikan harga gas. Pasti efek domino dari ini semua adalah kenaikan harga pangan di berbagai lini kehidupan.

Keempat, peralihan gas dari subsidi ke nonsubsidi atau wacana konversi kompor gas ke listrik akan terus digulirkan. Padahal jika semua itu terjadi tentunya rakyat buntung dan kapitalis untung. Sektor publik bukan dikelola oleh negara melainkan dikendalikan korporasi agar mendapatkan keuntungan yang maksimal. Tidak berhenti di situ, kapitalisasi dan liberalisasi akan terus terjadi di berbagai sendi-sendi kehidupan, sehingga peran negara tergantikan secara penuh oleh korporasi. 

Dalam aspek sosial. Kelangkaan Gas melon ini tentu membuat kekacauan sosial. Pertama, penimbunan gas melon oleh oknum tidak bertanggung jawab demi mendapatkan keuntungan lebih. Kedua, punic buying. Pasti masyarakat panik dengan kelangkaan gas ini. Ya kalau panik lalu gas melon ada tidak apa-apa, sudah bikin panik tapi gas melon tidak ada. Bahkan, untuk mendapatkannya harus antri panjang dengan menyertakan foto KTP dan KK kepada pihak penjual. 

Betapa dibuat sulitnya hidup ini oleh pemerintah hari ini. Apalagi gas melon tidak boleh dijual ke warung-warung kecil di sekitar rumah, harus beli di agen dan itu saingan dengan banyak warga dari berbagai kampung. Sungguh pemerintah tega memperlakukan rakyatnya bagaikan pengemis, padahal rakyat itu beli, tapi diperlakukan seperti pengemis. Hanya soal pendistribusian gas melon ke rakyat dengan cara-cara kurang manusiawi seperti ini. Ketiga, meningkatkan kriminalitas. Hal-hal yang berkaitan dengan sulitnya ekonomi tentu berpotensi berdampak pada meningkatnya kriminalitas. Dari hilangnya tabung gas di pasaran, pencurian, dan sebaiknya. 

Kalau di UUD 45 pasal 33 dikatakan sumber daya alam dikelola negara untuk rakyat itu seolah bertolak belakang dengan realitas, faktanya SDA dikapitalisasi, diliberalisasi ugal-ugalan. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan persoalan gas ini tidak akan ada solusi kecuali dengan solusi Islam. Karena solusi yang dikeluarkan oleh konsep kapitalisme tidak terlepas dari kepentingan korporasi, yaitu dengan menjadikan rakyat sebagai tumbal keserakahan mereka. Hanya Islam yang mampu mengendalikan keserakahan dan kezaliman para kapitalis.

Strategi Islam dalam Mengatur Sumber Daya Alam dan Pendistribusian ke Umat

Pemerintah yang berideologi kapitalisme memiliki mindset mengelola rakyat itu bukan sebagai penggembala tetapi hanya sebagai legitimator kepentingan korporasi asing. Banyak sekali kebijakan yang tidak pro rakyat. Contohnya saja subsidi gas dicabut alasan anggaran jebol, lha wong mereka sendiri yang menjebol sumber daya alam hingga dirampok dan digarong kapitalis asing. Kok yang disalahkan rakyat? Kalau anggaran jebol, makanya setop liberalisasi gas, kelola sendiri, jangan kasih konsesinya ke asing. Yang bikin jebol mereka yang jadi tumbal rakyat. Sekarang benar-benar rakyat menderita gegara kelangkaan gas melon.

Seperti UU migas dan UU teman-temannya itu yang membuat SDA mudah sekali dikuasai asing. Ketiga, karena pemerintah menggunakan mindset bisnis dan kapitalisme dalam mengelola rakyatnya, makanya lebih mengedepankan untung rugi, bukan pengorbanan demi kesejahteraan rakyat. Sudah jelas-jelas SDA kekayaan alam harus dikelola negara, karena SDA adalah milik publik dan haram dikelola swasta. Faktanya tetap saja diserahkan ke swasta.

Sebenarnya setiap mili liter atau setiap gram SDA milik Indonesia yang digarong keluar negeri oleh perusahaan asing, itu menciptakan investasi dosa terhadap penguasa yang telah membiarkan regulasi itu terjadi. Karena semua SDA yang digarong itu milik umat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Harusnya izin dulu, bahkan kalau rakyatnya masih butuh, gak boleh diimpor keluar. Catat!

Pengelolaan sumber daya alam ataupun sumber energi adalah bagian dari tanggung jawab negara. Negara mengelolanya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Sekalipun negara menarik tarif, tujuannya adalah membantu cost biaya produksi. Dalam pandangan Islam barang tambang adalah bagian dari sektor publik. Oleh sebab itu, wajib dikelola negara untuk dikembalikan ke rakyat untuk kesejahteraan mereka. Tidak boleh diserahkan pada swasta atau milik perorangan, terlebih tidak boleh diserahkan pengelolaannya pada swasta asing. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis dikatakan: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara karena termasuk bagian dari urusan publik. Urusan publik dikelola negara agar tidak terjadi pertikaian dan pengurusannya berdasarkan bagaimana hukum Islam memandang. Islam akan mampu hadir di segala problematika kehidupan, karena Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif memiliki hukum yang rinci untuk mengatur kehidupan. 

Pengelolaan energi yang berkesinambungan dengan sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah Islamiah akan menjadikan negara berdikari dan mampu menjamin hajat hidup umat, baik dari sektor pendidikan, kesehatan, maupun keamanan. Pengelolaan sumber daya alam sesuai Islam tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus disokong dengan penerapan sistem Islam secara totalitas di bawah naungan khilafah Islam. Hanya sistem pemerintahan Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Tidak ada sistem kehidupan yang lebih baik selain Islam, karena hanya Islam yang mampu menegakkan keadilan.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Sebenarnya ini lagu lama, seperti kasus BBM, premium langka, lalu hilang, dan semua terpaksa beli pertalite. Bisa jadi pertalite nanti langka lalu hilang, biar semua beli Pertamax. Soal harga minyak goreng juga demikian, sebelum minyak goreng mengalami kenaikan harga yang cukup fantastis, di masyarakat terjadi kelangkaan terlebih dahulu. 

Dampak dari penerapan sistem kapitalisme adalah pemerintah menganggap rakyat adalah beban. Sehingga mereka berusaha memutar otak untuk menjadikan ladang bisnis di segala aspek kehidupan. Hubungan antara pemerintah dengan rakyat bagaikan hubungan antara penjual dan pembeli. Wajar saja narasi pencabutan subsidi atau APBN jebol biasa dinyanyikan untuk melegitimasi kepentingan para korporasi. 

Pengelolaan sumber daya alam ataupun sumber energi adalah bagian dari tanggung jawab negara. Negara mengelolanya adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Sekalipun negara menarik tarif, tujuannya adalah membantu cost biaya produksi. Dalam pandangan Islam barang tambang adalah bagian dari sektor publik.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo
Materi Kuliah Online Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 2 Agustus 2023 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.
#Lamrad #LiveOpperessedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar