TintaSiyasi.com -- Pakar Ekonomi Syariah Ustaz Dwi Condro Triono, Ph.D. menyatakan bahwa Konferensi Moneter Internasional di Bretton Woods merupakan tonggak lahirnya sistem moneter internasional ribawi dan runtuhnya sistem moneter islami.
”Dalam Konferensi Moneter Internasional di Bretton Woods sistem moneter internasional secara formal terbentuk, dan melahirkan persetujuan-persetujuan untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan multilateral yang mengenakan bunga,” tuturnya di YouTube Ngaji Shubuh, pada Sabtu (19/8/2023).
Ustaz Dwi Condro menjelaskan bahwa kemenangan Amerika dan sekutunya di Perang Dunia II membawa dampak perubahan pada tata kelola berbagai aspek kehidupan internasional, termasuk sistem moneter internasional.
“Mungkin minggu kemarin sudah saya sampaikan, ini memang karena kemenangan Amerika dan sekutunya, dan karena kekalahan Islam. Harus tegas kita katakan, inilah era dimana Islam kalah. Era dimana Islam runtuh. Ditandai dengan runtuhnya kepemimpinan Islam dunia, yaitu Khilafah Islamiah,“ tegasnya.
Ustaz menegaskan, runtuhnya kekhilafan Islam terakhir yaitu Turki Usmani, menandai berakhirnya kepemimpinan Islam dunia, termasuk di dalamnya adalah kepemimpinan moneter dunia.
“Jadi, kalau dulu Islam pernah menguasai dunia, memimpin dunia, tentu saja tidak hanya penguasaan dalam aspek politik saja. Tapi juga ekonomi, mungkin termasuk budaya, termasuk hukum, “ ujarnya.
Selanjutnya Ustaz mengungkapkan, ternyata Amerika dan sekutunya sudah mulai memikirkan rancangan pasca kekhilafan Islam tidak ada. Mereka memikirkan bagaimana sistem moneter internasional itu harus dibentuk. Dulu, di bawah era kepemimpinan Khilafah Islam, sistem moneter yang digunakan adalah emas dan perak, atau Dinar dan Dirham. Seluruh dunia pun mengikutinya.
“Nanti kalau kita benar-benar sudah masuk kajiannya pada sistem moneter Islam, kita akan tahu, sebenarnya sistem moneter Islam itu paling simpel, paling mudah. Tapi ya karena Islam kalah, akhirnya diambil alih oleh Amerika dan sekutunya,” paparnya.
Berikutnya Ustaz Dwi Condro membeberkan, konferensi internasional di Bretton Woods yang dikomandani Amerika Serikat dan sekutu pentingnya yaitu Inggris dan Prancis, bertujuan untuk terbentuknya sistem moneter internasional secara formal, juga melahirkan persetujuan-persetujuan untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan multilateral yang mengenakan bunga. Lembaga-lembaga yang paling penting adalah Internasional Moneter Fund (IMF), World Bank (Bank Dunia), dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD).
“Jadi, sebelum ada Bank Dunia itu memang IBRD itu sudah terbentuk. Ini memang bank yang dibentuk untuk memberikan fasilitas utang kepada negara-negara yang ingin membangun negaranya, terutama karena kehancuran akibat Perang Dunia, baik Perang Dunia I maupun Perang Dunia II," terangnya.
Ustaz melanjutnya paparannya bahwa setelah terbentuk IMF, World Bank dan IBRD, menyusul terbentuk General Agreement on Tarif and Trade (GATT). GATT merupakan perjanjian internasional untuk persoalan tarif dan perdagangan.
“Jadi kita harus paham, perdagangan kalau sudah internasional itu tidak semudah perdagangan lokal, perdagangan dalam negeri. Kalau perdagangan dalam negeri ya tinggal jual beli jual beli. Kenapa? Karena semuanya menggunakan Rupiah. Kita pengen beli apa saja asal punya rupiah bisa jual beli,“ tuturnya.
Lebih jauh Ustaz membahas tentang perdagangan luar negeri. Berbeda dengan perdagangan dalam negeri, perdagangan internasional lebih kompleks, karena tidak sekedar jual beli barang, tetapi menyangkut jenis mata uang apa yang digunakan untuk berjual beli.
“Kalau GATT itu kaitanya dengan penentuan tarif bea masuk, kalau barang itu masuk ke suatu negara atau ke luar negara. Termasuk kuota yang boleh masuk atau keluar. Kenapa? Karena ini memang hubungannya dengan ekspor impor. Jadi satu negara itu nanti ada yang penduduknya padat, yang itu bisa menjadi sasaran pasar internasional, ada yang penduduknya cuma sedikit, tapi mungkin produksinya melimpah. Nah itu harus dipasarkan di mana, ini harus diatur. Menurut mereka, harus diatur,“ urainya.
Menurut Ustaz Dwi Condro, pembentukan GATT pada tahun 1947, intinya adalah supaya negara-negara maju masih memiliki kebebasan untuk mengekspor komoditasnya ke negara-negara berkembang yang padat penduduknya.
“GATT dibentuk untuk mengatur lalu lintas perdagangan dan investasi antar negara. Supaya sekat-sekat semua negara itu bisa diatur oleh mereka. Apakah mau dibebaskan, atau dibebaskan secara bersyarat, atau mau dikenakan tarif dan kuota, terserah mereka,“ ulasnya.
Berikutnya Ustaz membeberkan dampak yang diakibatkan oleh Perjanjian Bretton Woods terhadap tata moneter internasional. Pertama, pasal-pasal persetujuan IMF melarang penggunaan emas sebagai uang. Hal itu dilakukan dengan melarang segala kaitan antara emas dengan berbagai macam mata uang selain dengan Dolar AS, seperti tercantum dalam pasal 4, bagian 2 (b) Pasal-Pasal Persetujuan IMF.
“Kelihatan betul, ini memang ingin menghancurkan sistem moneter islami. Nomor satu saja sudah kelihatan. Pasal-pasal persetujuan IMF melarang penggunaan emas sebagai uang," simpulnya.
“Jadi seluruh mata uang dunia ini mau judulnya apa, ada yang disebut Rupiah, ada yang disebut Ringgit ,ada yang disebut Real. Bahkan di Timur Tengah ada yang mata uangnya Dinar, kayak Irak itu Dinar. Kalau Uni Emirat Arab itu Dirham. Tapi itu kertas ya. Dan tidak di-back up oleh emas,“ paparnya.
Kedua, karena 70 persen stok emas dunia pasca Perang Dunia II berada di tangan Amerika Serikat (AS), maka AS berani menentukan bahwa hanya Dolar AS sebagai mata uang internasional yang dikaitkan dengan emas. Hanya Dolar AS yang dapat ditukarkan dengan emas, dengan kurs 1 ounce (=31,35 gram) emas seharga 35 Dolar AS.
“Ya namanya menang perang itu dapat ghanimah dalam tanda kutip. Jadi, sebagai negara pemenang Perang Dunia II, ternyata perang tidak hanya apa, tidak hanya menghancurkan negara yang kalah, tapi juga merampok kekayaannya,“ ulasnya.
Ustaz melanjutkan penjelasannya: “Kalau dalam Islam memang ada syariatnya ya. Dan kepentingannya jelas, karena itu syariat dari Allah ya. Seperti ghanimah dan fa’i itu peruntukannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin dan umat manusia. Tidak hanya umat Islam, tapi yang non Muslim juga akan mendapatkan kesejahteraan dari ghanimah itu," urainya.
Ketiga, AS merupakan satu-satunya negara yang mengaitkan kembali mata uangnya dengan emas, maka mereka dapat mencetak uang terus menerus tanpa batas.
“Yang penting apa, sudah di-declair, sudah dituangkan dalam bentuk perjanjian. Amerika bisa mencetak Dolar Amerika dalam bentuk kertas sebanyak-banyaknya, tanpa batas,“ terangnya.
Keempat, AS menikmati pendapatan yang besar dari pencetakan mata uang Dolar dengan hanya mengandalkan seigniorage, yaitu selisih biaya cetak dengan nilai nominal uang. AS kemudian mendapatkan keuntungan begitu banyak akan komoditas dari negara-negara yang menggunakan Dolar dalam transaksinya.
Ustaz menjelaskan bahwa biaya mencetak uang per lembar nilainya tetap. Ketika nominal yang dituliskan di kertas uang tersebut makin besar, maka selisih antara biaya cetak dengan nilai nominal uang tentu akan semakin besar.
“Inilah yang sangat dinikmati oleh Amerika Serikat. Dan mungkin kita akan kaget kalau yang mencetak itu adalah Bank Sentral Amerika, dan Bank Sentral Amerika itu milik swasta. Dan mohon maaf itu miliknya enam orang Yahudi,“ ungkapnya.
Ustaz menambahkan: “Coba bayangkan kalau Amerika bisa mencetak uang kertas sebanyak-banyaknya, membeli minyak di Indonesia langsung diterima. Minyaknya bisa disedot dengan kertas. Emasnya bisa disedot dengan kertas. Batubaranya bisa di sedot dengan kertas. Kayu-kayu hutannya bisa dikeruk dengan dibabat dengan kertas. Nikelnya juga bisa dibeli dengan kertas. Mereka tinggal mencetak uang kertas, bisa mengeruk kekayaan alam Indonesia.”
Kelima, seluruh negara anggota IMF diwajibkan untuk menaruh 25 persen cadangan emas miliknya di IMF dan melaorkan setiap penjualan dan pembelian emas yang mereka lakukan, seperti yang tercantum pada pasal XIII, Bagian 2 (b) dan pasal VIII, Bagian 5 (a, i-iv) pasal-pasal persetujuan IMF.
Keenam, hanya pemerintah, melalui bank sentral, kementrian keuangan atau badan fiskal sejenis, yang dapat menukar Dolar AS dengan emas, seperti yang tercantum pada pasal V, bagian 1 dan pasal XIV, bagian 2 (a) pasal-pasal persetujuan IMF.
“Jadi, walaupun ditulisi satu Dolar bisa ditukar dengan satu gram misalnya, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, semua yang pegang dolar itu bisa langsung menukar. Enggak. Mereka pintar juga,“ ungkapnya.
Ustaz juga membeberkan bahwa Bank Sentral Amerika juga punya hak untuk mengumumkan nomor seri Dolar itu tidak berlaku. Misal, nomor seri Dolar sekian sampai sekian, dinyatakan tidak berlaku. Karena itu, jika mau menukar Dolar, harus melalui bank sentral atau kementerian keuangan, atau badan-badan fiskal yang sejenis, yang mereka kontrol semuanya.
“Kalau mau menukarkan Dolar Amerika kepada penerbitnya, yaitu Bank Sentral Amerika, enggak bisa langsung. Termasuk rakyat Amerika juga enggak bisa. Rakyat Amerika sendiri, yang pegang dolar, enggak bisa menukarkan langsung ke bank sentralnya untuk menjadi emas, tidak bisa. Harus badan-badan resmi. Supaya mereka di ujung-ujungnya apa, tujuannya ya supaya mereka bisa mencetak kertas-kertas dolar itu seenaknya sendiri gitu. Karena enggak ada yang tahu, dia itu benar enggak, simpanan emasnya sama dengan kertas yang dia terbitkan, “ pungkasnya. [] Binti Muzayyanah
0 Komentar