Kontroversi Jepang Membuang Limbah Nuklir ke Laut: Inikah Imbas Kapitalisme dalam Mengelola Energi?


TintaSiyasi.com -- Keputusan Jepang membuang limbah nuklir ke laut menuai kritik dan penolakan. Tidak hanya dari warga negaranya tetapi juga dari negara tetangga. Dikutip dari CNBC Indonesia, Jepang mulai membuang air limbah dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima yang hancur sejak Kamis (24-8-2023) pekan lalu. Pembuangan dilakukan 12 tahun setelah terjadinya salah satu kecelakaan nuklir terburuk di dunia. 

Lebih dari satu juta metrik ton air radioaktif yang telah diolah dari PLTN dialirkan ke laut Pasifik. Ini disebut-sebut merupakan proses yang akan memakan waktu puluhan tahun untuk diselesaikan. Air tersebut disuling setelah terkontaminasi akibat kontak dengan batang bahan bakar di reaktor, yang hancur akibat gempa bumi dan tsunami tahun 2011.Tangki di lokasi tersebut menampung sekitar 1,3 juta ton air, cukup untuk mengisi 500 kolam renang ukuran olimpiade.

Inilah yang membuat polemik, sekalipun Jepang mengeklaim telah sesuai standar keselamatan Internasional dan petunjuk Badan Atom Internasional (IAEA), banyak ahli menilai tindakan itu memberi dampak buruk terhadap ekosistem laut. Menurut lembaga penelitian ilmiah kelautan Jerman yang dikutip dari Republika (29-8-2023), perairan di lepas pantai Pasifik Jepang akan menjadi wilayah pertama yang terkena dampaknya, terutama perairan di sekitar Prefektur Fukushima. Dengan arus terkuat di dunia di sepanjang pantai Fukushima, bahan radioaktif dapat menyebar ke sebagian besar Samudra Pasifik dalam waktu 57 hari sejak tanggal pembuangan, dan mencapai seluruh samudra di dunia dalam satu dekade.

Profesor hukum Internasional di Dalian Maritime University, Zhan Yanqiang, mengatakan setidaknya ada 60 jenis elemen radioaktif dalam air limbah nuklir Fukushima dan dampaknya terhadap kesehatan manusia yang disebabkan oleh rencana tersebut tak terbatas. Hal tersebut yang memicu kekhawatiran seluruh pihak, terutama negara-negara yang ada di sekitar Jepang maupun yang ada di Samudra Pasifik. Imbas dari pembuangan limbah ke laut tentunya berdampak terhadap ekosistem yang ada di laut. Dunia belum banyak berkomentar, yang mengaku polisi dunia (baca: PBB) pun diam. Belum ada suara soal masalah ini. Padahal ini ulah nyata korporasi di Jepang dalam membuang limbah mereka. Pengelolaan perusahaan yang didasarkan pada tolok ukur untung rugi sering merampas kepentingan publik dan mengabaikannya.

Menyoal Alasan Jepang Membuang Limbah Nuklir di Laut

Kemajuan sains dan teknologi adalah sebuah keniscayaan, tetapi dampaknya adalah manusia dituntut untuk senantiasa menjaga lingkungan supaya tidak ikut rusak. Karena perkembangan zaman ini, mau tidak mau pasti berdampak terciptanya polusi dan limbah. Di sinilah manusia harus bertanggung jawab dan mengolah limbah tersebut agar tidak merusak alam ataupun membahayakan manusia. Begitu juga soal perdebatan pembuangan limbah nuklir di Jepang yang dibuang di laut. Ini telah menuai kontroversi. 

Dikutip dari Republika (28-8-2023), limbah nuklir yang dibuang oleh Jepang berasal dari pembangkit nuklir Fukushima yang bocor akibat gempa dan tsunami yang terjadi pada 2011. Tiga reaktor nuklir rusak parah akibat gempa magnitudo 9.0 di lepas pantai Jepang. Sejak itu, operator Tepco mengumpulkan 1,34 juta ton air yang digunakan untuk mendinginkan sisa-sisa reaktor yang masih sarat radioaktif. Air yang telah disuling inilah yang dibuang ke Samudra Pasifik. 

Ada beberapa alasan Jepang yang tetap ngotot membuang limbah nuklir tersebut ke laut. Pertama, klaim limbah tersebut aman untuk dibuang di laut. Klaim itu dinyatakan karena zat yang dibuang sudah sesuai standar Badan Atom Internasional (IAEA). Kedua, tangki penampungan limbah air yang terkontaminasi tersebut sudah habis, Jepang butuh membuang limbah-limbah itu, karena 1000 tangki sudah terisi penuh. Menurut laporan BBC yang dikutip dari CNBC Indonesia (24-8-2023), sejak bencana tsunami 2011 perusahaan utilitas yang bertanggung jawab atas PLTN tersebut, Tokyo Electric Power (Tepco), telah memompa air untuk mendinginkan batang bahan bakar reaktor nuklir Fukushima. 

Ini artinya setiap hari pabrik tersebut menghasilkan air yang terkontaminasi, yang disimpan dalam tangki besar. Lebih dari 1.000 tangki telah terisi, dan Jepang mengatakan bahwa mereka membutuhkan lahan yang ditempati oleh tangki-tangki tersebut untuk membangun fasilitas baru guna menonaktifkan pembangkit listrik tersebut dengan aman. 

Ketiga, adanya dugaan jika tangki tersebut terkena bencana alam, maka akan terjadi bencana yang lebih besar lagi. Mereka juga menunjukkan kekhawatiran bahwa tank-tank tersebut bisa runtuh jika terjadi bencana alam. Keempat, Jepang menganggap limbah yang dibuang di laut sudah aman. Dari CNBC Indonesia menulis, Tepco menyaring air Fukushima melalui Sistem Pemrosesan Cairan Lanjutan (ALPS), yang mengurangi sebagian besar zat radioaktif hingga mencapai standar keamanan yang dapat diterima, selain tritium dan karbon-14. Mereka menyaring air yang terkontaminasi untuk menghilangkan isotop, hanya menyisakan tritium, yakni isotop radioaktif hidrogen yang sulit dipisahkan.

Kelima, dukungan dari beberapa pihak di Jepang untuk membuang limbah ke laut. Dari CNBC Indonesia mengatakan, air yang mengandung tritium secara rutin dikeluarkan dari pembangkit listrik tenaga nuklir di seluruh dunia, dan pihak berwenang mendukung penanganan air Fukushima dengan cara ini. Menurut artikel Scientific American pada tahun 2014, tritium dianggap relatif tidak berbahaya karena radiasinya tidak cukup energik untuk menembus kulit manusia. Jika tertelan dalam kadar di atas kadar air yang dikeluarkan, hal ini dapat meningkatkan risiko kanker.

Pembuangan limbah nuklir tersebut akan segera diselesaikan diiringi penutupan pabrik. Pemerintah Jepang mengatakan tingkat akhir tritium -sekitar 1.500 becquerel per liter- jauh lebih aman daripada tingkat yang disyaratkan oleh regulator untuk pembuangan limbah nuklir, atau oleh Organisasi Kesehatan Dunia untuk air minum. Tepco mengatakan tingkat karbon-14 juga akan memenuhi standar.

Klaim inilah yang membuat Jepang percaya diri membuang limbah nuklir di laut. Entah klaim itu bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, jika klaim itu tidak sesuai dugaan mereka tidak hanya masyarakat Jepang yang rugi, tetapi seluruh masyarakat dunia bisa mendapatkan dampak dari pembuangan limbah nuklir ini, karena limbah yang sudah dibuang ke laut bisa menyebar di seluruh lautan yang ada di bumi.

Dampak Pembuangan Limbah Nuklir ke Laut

Memang ada beberapa ilmuwan yang mendukung rencana pembuangan limbah nuklir di laut, tetapi juga ada ilmuwan dan pakar yang kontra terhadap kebijakan Jepang karena khawatir terhadap dampak lanjutan akibat hal itu. Ada beberapa dampak yang dikhawatirkan ketika limbah nuklir tersebut dibuang di lautan. Pertama, ancaman rusaknya ekosistem laut yang berdampak pada hewan-hewan atau tumbuh-tumbuhan yang ada di laut. Radiasi nuklir diklaim bisa membahayakan makhluk hidup sampai menyebabkan kelainan genetik. Sekalipun limbah nuklir tersebut diklaim sudah aman, tetap saja, jumlah limbah yang banyak itu berpotensi merusak laut. 

Kedua, kecaman dari negara lain terhadap Jepang dan pemboikotan Jepang. Cina dan Korea Selatan sudah memprotes terhadap yang dilakukan Jepang. Mereka khawatir akan ekosistem laut yang rusak dan hilangnya mata pencaharian nelayan yang ada di sana. Ketiga, kekhawatiran akan dampak pangan yang selama ini diekspor Jepang ke negara-negara lain terkontaminasi akan limbah nuklir yang dibuang ke laut. Apabila perdagangan yang ada hanya terjadi atas asas manfaat dan untung rugi, maka faktor keamanan pangan sering diabaikan karena asas manfaat tersebut. 

Seharusnya yang dilakukan Jepang ini ada yang menegur dan mengevaluasi, karena bagaimana pun juga, limbah yang dibuang ke laut akan berdampak pada bioma. Karena sejatinya masalah yang ada di Jepang ini masalah serius yang harus jadi perhatian semua. Padahal, dunia sedang menghadapi ancaman kekeringan ekstrem akibat banyak hal, dari kondisi udara yang tercemar polusi, belum lagi kondisi lingkungan yang rusak akibat keserakahan para kapitalis yang hanya mengejar banyak keuntungan tanpa mengindahkan konsekuensi-konsekuensi dari polusi dan limbah yang mereka buang.

Strategi Islam dalam Mengelola Limbah

Perkembangan zaman tidak memungkiri majunya teknologi. Oleh karena itu, masalah limbah atau polusi ini adalah masalah bersama yang seharusnya diatur oleh negara dengan tegas. Negara tidak boleh abai, jika negara abai, maka yang mendapatkan dampak kerusakan lingkungan adalah seluruh alam. Oleh karena itu, mengapa pemerintah harus memiliki aturan baku dan terus melakukan pengawasan terhadap perjalanan perusahaan-perusahaan yang dikelola negara maupun swasta. 

Namun, yang terjadi dalam sistem kapitalisme hari ini adalah negara tunduk terhadap berbagai kepentingan para kapitalis. Ada kasus limbah-limbah dan polusi yang mengganggu masyarakat, tetapi negara tidak bisa bertindak tegas pada perusahaan itu. Walhasil rakyat dan alam jadi korban atas keserakahan korporasi yang melakukan eksploitasi sumber daya alam tanpa tanggung jawab yang paripurna.

Dalam Islam, adanya pabrik atau perusahaan boleh, bahkan didukung perkembangan sains dan teknologi oleh negara. Namun, negara juga bertanggung jawab penuh melakukan pengawasan dari awal pembangunan hingga berlangsungnya aktivitas perusahaan tersebut. Apabila ada pelanggaran negara tidak segan-segan untuk menindak dan meluruskan. Baik perusahaan milik negara maupun swasta boleh-boleh saja ada, tetapi perusahaan tersebut harus berjalan sesuai aturan Islam. Sebagai contoh, perusahaan swasta tidak dibolehkan mengelola atau menguasai barang-barang tambang atau yang berkenaan dengan hajat publik.

Yang diutamakan dalam perkembangan sains dan teknologi adalah penjagaan nyawa umat manusia. Selain itu, juga penjagaan lingkungan alam agar tidak rusak. Karena lingkungan yang rusak akan membawa dampak buruk terhadap umat manusia. Penjagaan negara terhadap lingkungan dan alam ini penting. Jika negara abai dan para kapitalis dibiarkan menuruti keserakahannya, niscaya alam akan rusak dan itu mengundang berbagai bencana-bencana yang bisa menimpa umat manusia.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Kemajuan sains dan teknologi adalah sebuah keniscayaan, tetapi dampaknya adalah manusia dituntut untuk senantiasa menjaga lingkungan supaya tidak ikut rusak. Karena perkembangan zaman ini, mau tidak mau pasti berdampak terciptanya polusi dan limbah. Di sinilah manusia harus bertanggung jawab dan mengolah limbah tersebut agar tidak merusak alam ataupun membahayakan manusia. Begitu juga soal perdebatan pembuangan limbah nuklir di Jepang yang dibuang di laut. Ini telah menuai kontroversi. 

Seharusnya yang dilakukan Jepang ini ada yang menegur dan mengevaluasi, karena bagaimana pun juga, limbah yang dibuang ke laut akan berdampak pada bioma. Karena sejatinya masalah yang ada di Jepang ini masalah serius yang harus jadi perhatian semua. Padahal, dunia sedang menghadapi ancaman kekeringan ekstrem akibat banyak hal, dari kondisi udara yang tercemar polusi, belum lagi kondisi lingkungan yang rusak akibat keserakahan para kapitalis yang hanya mengejar banyak keuntungan tanpa mengindahkan konsekuensi-konsekuensi dari polusi dan limbah yang mereka buang.

Dalam Islam, adanya pabrik atau perusahaan boleh, bahkan didukung perkembangan sains dan teknologi oleh negara. Namun, negara juga bertanggung jawab penuh melakukan pengawasan dari awal pembangunan hingga berlangsungnya aktivitas perusahaan tersebut. Apabila ada pelanggaran negara tidak segan-segan untuk menindak dan meluruskan. Baik perusahaan milik negara maupun swasta boleh-boleh saja ada, tetapi perusahaan tersebut harus berjalan sesuai aturan Islam. Sebagai contoh, perusahaan swasta tidak dibolehkan mengelola atau menguasai barang-barang tambang atau yang berkenaan dengan hajat publik. #Lamrad #LiveOpperessedOrRiseAgainst


Oleh: Ika Mawarningtyas
Direktur Mutiara Umat Institute dan Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo 

Nb: Materi Kuliah Online
Uniol 4.0 Diponorogo, Rabu, 30 Agustus 2023 di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum.

Posting Komentar

0 Komentar