MA Anulir Pidana Mati Sambo: Rasa Keadilan Publik Terkoyak


TintaSiyasi.com -- Apakah hakim "masuk angin?" Pertanyaan ini bisa jadi mengalir saat publik melihat pidana mati Ferdy Sambo (FS) dianulir. Hukuman terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J itu dikorting jadi penjara seumur hidup. Putusan ditetapkan dalam sidang tingkat kasasi yang diketok oleh lima hakim agung pada Selasa (8/8/2023). 

Tidak hanya Sambo, Mahkamah Agung (MA) pun memberi diskon hukuman kepada terpidana lainnya dalam kasus yang sama. Vonis Putri Candrawathi didiskon 50 persen, dari 20 tahun menjadi 10 tahun penjara. Ricky Rizal divonis 13, dikorting jadi 8 tahun penjara. Kuat Ma'ruf dari 15 tahun diringankan jadi 10 tahun penjara (liputan6.com, 10/8/2023).

Namun diskon vonis mati Sambo ini dinilai tak hanya mengecewakan keluarga Brigadir J, pun mengoyak rasa keadilan publik. Publik membutuhkan penjelasan seterang-terangnya, seobyektif mungkin, serta dapat diterima oleh logika dan akal sehat atas putusan MA yang aneh ini. 

Padahal hukuman mati lebih pantas dikenakan terhadap Sambo. Karena pelaku pembunuhan berencana dalam posisinya sebagai penegak hukum yang seharusnya melindungi masyarakat. Apalagi Sambo pernah berusaha menghilangkan jejak dengan skenario drama aksi baku tembak yang gagal.

Masyarakat tentu berharap agar keadilan dapat diwujudkan, salah satunya oleh hakim agung. Namun bila realitasnya seperti ini, bukankah masyarakat justru akan semakin distrust terhadap MA? Gak bahaya ta? Ya, jika hukum dijalankan ala pisau dapur tumpul ke atas tapi tajam ke bawah maka kezalimanlah yang justru terasa. Saat hukum tegak tetapi tidak membawa keadilan, lantas buat apa hukum diadakan?

Ketika Hukuman Dipermainkan Berdalih Kebebasan Hakim untuk Mengadili Sendiri

Dalam akun Twitter-nya, Senin (13/2/2023), Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan, vonis mati yang diberikan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap Sambo telah sesuai rasa keadilan publik. Majelis Hakim menilai Sambo terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. 

Hal memberatkan Sambo di antaranya telah mencoreng institusi Polri di mata Indonesia dan dunia. Kasus Sambo merupakan kejahatan berjamaah bahkan melibatkan personil polisi hingga 95 orang. Apakah ini bukan sebuah mafia dalam proses penegakan hukum kita?

Selain itu, ia dinilai berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Sambo dinilai melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 49 jo Pasal 33 UU ITE jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. 

Terlebih jika mencermati persidangan Sambo dan pertimbangan majelis hakim judex facti (yang memeriksa fakta), baik di PN maupun di Pengadilan Tinggi (PT), tidak ada hal yang meringankan terpidana. Sebaliknya, Sambo dengan meyakinkan telah terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana.

Tidak hanya itu, selama persidangan berlangsung tidak terdapat alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya. Atas dasar itu, tidak heran jika PN dan PT sebagai judex facti yakin untuk menjatuhkan dan memperkuat pidana mati Sambo. 

Sehingga bisa dipahami kemunculan polemik dan pertanyaan dari berbagai elemen masyarakat terkait pengurangan hukuman di tingkat kasasi. Karena sesuai Pasal 253 KUHAP, MA bertindak sebagai judex jurist (hakim yang memeriksa hukum) yang berwenang memeriksa terkait penerapan hukum, bukan lagi memeriksa fakta dan bukti perkara.

Oleh karena itu kami menilai, putusan kasasi MA untuk menganulir vonis mati Sambo tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Mengingat kasus ini termasuk kasus extraordinary dengan multiflyer effect luar biasa bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam penegakan hukum. 

Kapan negeri ini akan bebas dari mafia hukum dan mafia peradilan, ketika hukuman terhadapnya terkesan dipermainkan oleh hakim berdalih kebebasan hakim untuk "mengadili sendiri" dalam bingkai "kekuasaan kehakiman?"

Meski sudah diumumkan, hingga hari ini naskah putusan kasasi atas Sambo belum bisa diakses oleh publik sehingga publik pun masih meraba-raba apa gerangan pertimbangan hakim yang melahirkan amar berupa menolak perbaikan dengan mengubah kualifikasi pidana Sambo dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup. 

MA sebaiknya segera meng-upload putusan kasasi ini agar bisa menjadi contoh para hakim di Pengadilan PN dan PT yang telah diprogramkan dalam penyelesaian perkara dengan slogan "one day one minutasi." Konon, di tingkat pertama dan tingkat banding, begitu putusan diucapkan, jangan coba-coba untuk tidak segera melakukan minutasi dan mempublish putusan lengkap ke dalam aplikasi SIPP. Bagaimana dengan MA terkait putusan kasasi Sambo ini? Mengapa tidak "one day one minutasi" juga?

Di sisi lain, tampaknya anotasi putusan kasasi tersebut harus segera dilakukan oleh publik untuk mengkritisi putusan kasasi MA yang kontroversial ini, sehingga publik tahu pertimbangan hakim yang menolak dan yang setuju dengan dissenting opinion (DO)-nya. 

Pertanyaan selanjutnya, jika putusan ini dianggap tidak adil, lalu bisakah Jaksa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) sementara diketahui MK sudah memutuskan bahwa Pasal 30 C huruf h UU Kejaksaan yang mengatur wewenang Jaksa untuk mengajukan PK sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias dibatalkan. 

Jadi putusan kasasi MA atas Sambo sudah inkracht van gewijsde, artinya putusan berkekuatan hukum tetap. Sementara kita sebenarnya sudah mafhum atas dalil masyhur Thomas Aquinas bahwa lex injusta non est lex (hukum yang tidak adil bukanlah hukum). Quo vadis penegakan hukum di Indonesia dan welcome to Numeric Justice System!

Dampak Putusan Kasasi MA Anulir Pidana Mati Sambo terhadap Penegakan Hukum di Indonesia

Fungsi hukuman adalah sebagai alat untuk memaksa agar peraturan ditaati dan siapa yang melanggar diberi sanksi hukuman sehingga terwujud kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat. 

Sia-sia saja aturan dibuat bila tidak ada sanksi tegas. Pun bila aturan itu dilanggar karena tidak adanya efek jera atau pengaruh bagi si pelanggar aturan atau bagi orang lainnya. Hukuman mati itu sangat diperlukan, karena selain dapat memberi efek cegah dan rasa takut bagi orang lain untuk tidak melanggar, juga dapat memberi rasa aman dan terlindung bagi setiap orang.

Namun, pro kontra terhadap jenis pidana berupa hukuman mati masih terus terjadi. Sebagian orang mendukung hukuman mati (retensionis) dengan alasan utama karena dapat memberikan efek jera dan mencegah meningkatnya kejahatan narkoba misalnya. 

Sedangkan sebagian lainnya tidak setuju (abolisionis) dengan hukuman mati terhadap gembong narkoba misalnya, karena hukuman mati dinilai sebagai bentuk hukuman merendahkan martabat dan melanggar hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hak untuk hidup yang tertuang dalam amandemen kedua konstitusi UUD Pasal 28 ayat 1.

Adapun dalam kaca mata hukum progresif, jenis hukuman mati tetap relevan sebagai ganjaran terhadap tindak pidana tertentu. Semua dilakukan demi pemuliaan keadilan substantif yang menautkan tiga wilayah hukum, yakni state law, society law, dan natural law (moral, ethic and religion).

Oleh karena itu, putusan kasasi MA yang menganulir pidana mati Sambo bisa jadi akan berdampak negatif terhadap penegakan hukum di Indonesia, yaitu:

Pertama, marwah (kehormatan) lembaga dan hakim MA runtuh di mata publik. MA berfungsi menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat, dan benar. Putusan kasasi anulir vonis mati Sambo akan menyisakan keraguan publik terhadap fungsi penjagaan yang diembannya hingga akan menurunkan marwahnya sebagai pengadilan negara tertinggi di negeri ini. 

Kedua, distrust (ketidakpercayaan) publik terhadap MA dan hakim agung. Akan berbahaya jika masyarakat semakin distrust terhadap MA. Bisa saja masyarakat akan terus bertanya ke mana dan untuk siapa asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan oleh hakim MA. Adanya "lack" pada ketiga nilai dasar hukum tersebut dapat menggerus modal social trust menjadi distrust. 

Apalagi sebelumnya penguasa (aparat penegak hukum/APH) telah bertindak unjustice seperti memberikan sanksi berbeda terhadap kerumunan HR5 dan kerumunan lainnya, extrajudicial killing pada enam laskar FPI, lambatnya penanganan tragedi KM-50, dan lain-lain. Ini akan berakibat distrust rakyat terhadap penegakan hukum di negeri ini meningkat. 

Ketiga, memunculkan sikap civil disobedience (pembangkangan sipil).
Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap civil disobedience. Rakyat akan bersikap apatis, yaitu acuh tak acuh terhadap penegakan hukum khususnya, dan kebijakan penguasa pada umumnya. Hingga telah bertindak sesuai hukum pun belum tentu langsung dipercaya publik. 

Demikianlah dampak putusan kasasi MA yang menganulir pidana mati Sambo terhadap penegakan hukum di Indonesia. Tentu kita prihatin, lembaga peradilan tinggi seistimewa MA saja masih diragukan fungsi penjagaannya terhadap hukum secara adil, lantas bagaimana dengan lembaga di bawahnya?

Strategi Penegakan Hukum yang Mencerminkan Rasa Keadilan Publik

Indonesia ialah negara hukum. Demikian deklarasi Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Dan sebagaimana konsepsi Gustav Radbruch, hukum memiliki tiga nilai dasar (triadisme) sekaligus menjadi dasar keberlakuannya, yaitu; secara filosofis mengandung nilai keadilan (justice), secara yuridis memiliki nilai kepastian (certainty), serta secara sosiologis ada nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan/wisdom, kemanfaatan/utility).

Apakah hukum kita sudah adil, pasti, dan manfaat, khususnya terhadap kesejahteraan sosial (social welfare) yang oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai "the thickest ROL?" Tiga nilai dasar hukum tersebut saat belum terwujud, akan memunculkan fakta antara lain; diskriminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--lex injusta non est lex, ngaret, ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakbebasan, opresi, persekusi, dan lain-lain.

Maka perlu digagas adanya strategi penegakan hukum yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Sementara penegakan hukum yang berkeadilan membutuhkan sinergi dari berbagai pihak yaitu:

Pertama, individu warganegara. Sumber daya manusia (SDM) adalah pembentuk dan pelaksana hukum yang utama. Dari sini muncul APH berkarakter mulia dan masyarakat yang berakhlaq baik. SDM ini mesti terbina pola pikir dan pola sikapnya. Dan sebaik-baik pondasi kemuliaan karakter adalah dengan penanaman iman dan takwa kepada Allah SWT, berikut dorongan untuk menaati hukum-hukum-Nya.

Kedua, keluarga. Merupakan institusi terkecil dalam negara namun berkontribusi besar meletakkan pondasi pendidikan karakter. Dari tempaan keluargalah terlahir sosok manusia yang siap mengemban amanah kehidupan, menjadi pribadi berkarakter adil dan jujur serta siap menegakkan kebenaran.

Ketiga, masyarakat. Berfungsi memberi kontrol/pengawasan terhadap anggota masyarakat lain. Diharapkan muncul rasa peduli dan peka terhadap kejadian sekitar dan berkontribusi dalam pelaksanaan dan pencarian solusinya. 

Dalam konteks penegakan hukum, negara dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Meski telah terdapat berbagai institusi penegak hukum untuk menangani perkara tindak pidana, namun masyarakat juga dituntut membantu penegakan hukum, misalnya menjalankan siskamling di sekitar rumah. Di Indonesia, secara konstitusional, setiap warganegara berhak dan wajib dalam pertahanan dan keamanan negara, serta rakyat merupakan kekuatan pendukung. 

Keempat, negara (APH). APH-lah yang berwenang menegakkan supremasi hukum. APH bertugas; melakukan sosialisasi hukum agar ditaati, menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap APH untuk menjalankan tugas dan fungsinya, dan melakukan pendekatan kepada publik bahwa APH dapat diajak bekerjasama menyelesaikan problem sosial masyarakat. 

Adapun secara mendasar, negara mesti menerapkan sistem hukum yang berkeadilan. Sebagaimana konsep hukum Islam, ajaran hidup yang dianut oleh mayoritas penduduk negeri ini. Islam jelas mensyariatkan agar penegakan hukum dilakukan secara adil, yaitu:

a. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa suka atau tak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh. Allah SWT berfirman, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada ketakwaan.” (QS. Al Maidah: 8)

b. Tidak boleh dipengaruhi oleh rasa kasihan sehingga menyebabkan tidak menjalankan hukum terhadap pelaku kriminal. Allah SWT berfirman, “Janganlah rasa kasihan kepada keduanya (pelaku zina) mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah.” (QS. An Nuur: 2)

c. Hukum berlaku untuk semua. Tidak boleh ada privelese dalam penerapan hukum sehingga ada individu yang diringankan hukumannya atau bahkan tak tersentuh hukum, sebagaimana yang nampak dari buzzer-buzzer istana selama ini.  

Rasulullah SAW bersabda, “Tegakkanlah hukum Allah atas orang dekat atau pun yang jauh. Janganlah celaan orang yang suka mencela menghalangi kalian untuk menegakkan hukum Allah.” (HR. Ibnu Majah, Al Hakim, dan Al Baihaqi)

Hadis ini memerintahkan agar menegakkan hukum tanpa diskriminasi/tebang pilih. Frasa “orang dekat atau orang jauh” maknanya bisa dari sisi nasab dan kekerabatan, yang kuat dan yang lemah, atau yang pejabat dan rakyat biasa. Bisa juga kedekatan dari sisi dekat dengan kekuasaan dan penguasa, misalnya orang dalam lingkaran kekuasaan atau pendukung rezim.

Selain itu, hadis ini juga mengingatkan jangan sampai komentar-komentar orang memengaruhi penegakan hukum. Artinya, yang harus diperhatikan adalah penegakan hukum dan keadilan itu sendiri, yakni yang bersumber dari Allah SWT sebagai sebuah kewajiban. 

Rasul SAW pun memperingatkan bahwa penegakan hukum secara diskriminatif akan menyebabkan kehancuran masyarakat.

“Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu, jika orang mulia di antara mereka mencuri mereka biarkan, dan jika orang lemah mencuri mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari-Muslim, Abu Dawud, An Nasai, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Hadis di atas menegaskan asas persamaan di muka hukum. Tidak seorang pun punya hak istimewa dan kebal hukum. Rasul SAW memperingatkan bahwa penyimpangan terhadap pelaksanaan asas ini menjadi penyebab kemunduran, kerusakan, bahkan kebinasaan masyarakat. 

Dengan demikian, jika menginginkan sistem hukum berkeadilan secara hakiki, ini akan sulit diraih dalam sistem hukum berasas sekularisme kapitalistik seperti saat ini. Maka kembalikan pembentukan dan pengaturannya berdasar hukumnya Sang Pembuat Hukum yaitu Allah SWT. Tak ada hukum seadil hukumnya Allah SWT Sang Mahaadil. Tidakkah kita ingin mewujudkannya?


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik Media)

Posting Komentar

0 Komentar