TintaSiyasi.com - Bercermin pada banyak kasus hukum di negeri ini, ternyata tidak sedikit kalanangan, termasuk hakim yang mengagungkan Positivism Hukum. Menjadikan seolah semua serba technic outomate mechanistic. Kepastian didewakan, HAM diagung-agungkan seolah hidup itu hanya untuk memenuhi keserakahan individu memuaskan hasrat diri meski menyimpang dari hukum Tuhan maupun hukum alam. Logika dituhankan seolah diri tak pernah tersusun rasa dan karsa yg penuh hasrat pada pencarian kebenaran Ilahi. Jangankan meyakini, justru Ilahi dikatakan sebagai sebuah ilusi. Eksistensinya tak pernah dirasakan karena logikanya selalu terjebak segala empirika.
Ini bukan Amerika atau pun Eropa, tetapi Indonesia, setidaknya bumi yang berada di titik sudut Asia yang kaya dengan nilai oriental-transenden. Mistisisme menjadi ruh perilaku kita untuk tidak mengandalkan cipta, logika tapi juga rasa. Berhukum pun tidak boleh hanya mengandalkan logika, melainkan juga rasa (compassion). Cara bertindak kita tidak sama cara ala Amerika dan Eropa, diakui atau pun tidak. Lalu, mengapa kita mati-matian mengidentifikasi diri untuk sejalan---- kalo tidak boleh dikatakan mengimitasi--- agar cara kita berhukum, berpolitik, berpolitik hukum sama dengan Amerika dan Eropa.
Kita Indonesia tidak mengikuti aliran Hukum Murni (reinerechtslehre) secara letterlijk. Lihatlah sejak 1964 bersambung dengan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman mulai UU No. 14 Tahun 1970 sampai sekarang UU No. 48 Tahun 2009 selalu mengamanatkan:
Pertama. Hakim memutus demi keadilan berdasarkan Ketuhanan YME bukan peraturan belaka.
Kedua. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ketiga. Pancasila mulai Tap MPRS XX/MPRS 1966 hingga UU No. 12 Tahun 2011 dijadikan sebagai sumber hukum nasional.
Keempat. Pembangunan hukum nasional Indonesia juga bersumber dari hukum Islam, hukum adat dan hukum modern.
Inilah yang mewajibkan kepada kita untuk tidak memisahkan antara hukum dan moral serta agama. Ketiganya terkait. Upaya untuk memisahkannya adalah berarti menggiring kepada jurang keruntuhan negara Pancasila, negara yang berprinsip sebagai religious nation state. Berdasarkan prinsip-prinsip ini adalah wajar bila para penegak hukum khususnya hakim apalagi hakim konstitusi wajib menbaca hukum, konstitusi secara moral (moral reading on constitution).
Membaca HAM sebagaimana dituangkan dalam UUD NRI 1945 harus dilakukan dalam bingkai moral dan agama. Moral dan agama dapat dipakai untuk membatasi hingga melarang perbuatan tertentu yang dinilai bertentangan moral dan agama. Dengan prinsip agung ini, akankah kita biarkan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain tanpa hak.
Hukum dapat dipakai sebagai sarana preventif dan represif untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran rasnya karena pembunuhan, penindasan dan perbuatan jahat lainnya. Dengan catatan, cara kita berhukum tidak boleh hanya mengandalkan logika melainkan juga rasa mengagungkan keluhuran umat manusia sesuai harkat dan martabatnya.
Perlu diketahui oleh kita bersama bahwa fungsi dilakukannya hukuman adalah sebagai alat untuk memaksa agar peraturan ditaati dan siapa yang melanggar diberi sanksi hukuman sehingga terwujudnya rasa kesejahteraan dan keamanan bagi masyarkat. Sia-sia saja aturan dibuat bila tidak ada sanksi yang diterapkan secara tegas dan bila aturan itu dilanggar karena tidak ada efek jera atau pengaruh bagi si pelanggar aturan tersebut atau pun bagi orang lainnya. Hukuman mati itu sangat diperlukan karena selain dapat memberi efek cegah dan rasa takut bagi orang lain untuk tidak melakukannya pelanggaran, dan juga dapat memberikan rasa aman dan terlindung bagi setiap orang.
Pro dan kontra terhadap jenis pidana berupa hukuman mati masih terus terjadi. Sebagian orang mendukung hukuman mati (retensionis) dengan alasan utama karena dapat memberikan efek jera dan mencegah meningkatnya kejahatan narkoba. Sedangkan sebagian lainnya tidak setuju (abolisionis) dengan diadakannya hukuman mati terhadap gembong narkoba karena baginya, hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hak untuk hidup yang tertuang dalam amandemen kedua konstitusi UUD Pasal 28 ayat 1.
Namun, menurut saya, ketika hukum nasional kita masih mengenal jenis hukuman mati (dalam KUHP dan UU) seharusnya hakim tetap dapat menerapkannya tanpa ada keraguan di dalamnya. Contohnya dalam rangka perlindungan dari kejahatan narkoba, pembunuhan berencana, korupsi, terorisme, makar dab lain-lain. Dalam hal yang seperti ini asas kepentingan umum sangat harus ditegakkan menyampingkan kepentingan khusus atau pribadi.
Ketika dalam penegakan hukum oleh hakim di pengadilan telah dirasuki keraguan dalam penerapan pidana mati, maka hakim pun akan terbelah menjadi dua kelompok, yakni kelompok retensionis (mendukung) dan abolisionis (menolak). Akhirnya keadilan pun hanya akan diukur dengan angka dalam voting pengambilan putusan hakim yang saya sebut sebagai numeric justice. Dalam kasus Ferdy Sambo, putusan kasasi tampak sekali tidak bulat. Artinya, tidak semua hakim dalam majelis sepakat menurunkan level pidana terhadap Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Tiga hakim tidak setuju pidana mati untuk Ferdy Sambo, sementara dua hakim lainnya setuju agar Ferdy Sambo tetap dipidana mati dengan menyampaikan DO (Dissenting Opinion).
Dalam kaca mata hukum progresif, jenis hukuman mati tetap relevan sebagai ganjaran terhadap tindak pidana tertentu. Semua dilakukan demi pemuliaan keadilan substantif yang menautkan tiga wilayah hukum, yakni state law, society law dan natural law (moral, ethic and religion).
Sebenarnya, pemerintahan di era Presiden Jokowi sendiri tidak main-main dengan keputusannya terhadap pemberlakuan pidana mati, misalnya dalam memberantas narkoba. Undang-undang di Indonesia telah mengatur aturan ini pada undang undang narkotika nomor 35 tahun 2009. Di dalam undang-undang ini, hukuman berat bagi narapidana narkoba adalah mulai dari penjara seumur hidup hingga eksekusi mati. Terdapat beberapa hukuman yang berlaku. Hal ini dilihat dari berat narkoba yang ia bawa/edarkan. Untuk narkoba yang beratnya melebihi satu kilogram, pelaku akan dikenai hukuman penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, penjara seumur hidup, dan yang paling mengerikan adalah eksekusi mati. Hukuman tersebut juga tergantung motif dan seringnya ia melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan narkoba.
Saya kira sangat tepat vonis mati yang pernah dijatuhkan oleh hakim terhadap 3 POLISI yang seharusnya sebagai APH bisa menjadi tauladan masy, tetapi justru menjadi penjahat narkoba (pengedar melebihi 1 kg, bahkan 76 kg).
Terdakwa Tuharno, Wariono dan Agung Sugiarto dinyatakan bersalah melanggar dakwaan Kesatu Primair Pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 137 huruf b UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan Ketiga Pasal 137 huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Eks personel Polres Tanjungbalai itu terbukti bersalah menjual sebagian hasil tangkapan sabu-sabu seberat 76 kilogram.
Kasus Sambo dan kasus penjualan barang bukti narkoba ini mencoreng nama kepolisian. Ini termasuk kasus yang tidak main-main. Kasus narkoba Tanjungbalai merupakan kejahatan berjamaah. Sebanyak 11 polisi berpangkat bintara hingga perwira di Tanjung Balai, Sumatera Utara (Sumut) diduga menjual barang bukti narkoba jenis sabu kepada bandar narkoba. Jelas hal ini mencoreng nama kepolisian, menambah daftar panjang polisi yang terlibat dalam aksi kejahatan. Makin menjauhkan dari slogan PRESISI, prediktif responsibilitas dan transparansi berkeadilan. Demikian pula kasus Sambo merupakan kejahatan berjamaah, bahkan melibatkan personil polisi hingga mencapai 95 orang. Apakah ini bukan sebuah mafia dalam proses penegakan hukum kita?
Lalu pertanyaannya, mengapa putusan kasus Ferdy Sambo di tingkat kasasi MA justru mengubah hukuman pidana mati menjadi pidana seumur hidup yang telah dikuatkan oleh putusan banding atas putusan PN Jakarta Selatan? Apakah putusan itu memenuhi rasa keadilan di dalam masyarakat sebagaimana diuraikan pada bagian awal artikel ini? Apakah hakim "masuk angin"? Saya menilai putusan kasasi MA ini tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat mengingat kasus ini termasuk kasus yang extraordinary dengan multiflyer effect luar biasa pula bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam penegakan hukum. Kapan negeri ini akan bebas dari mafia hukum dan mafia peradilan ketika hukuman terhadapnya terkesan dipermainkan oleh hakim dengan dalih kebebasan hakim untuk "mengadili sendiri" dalam bingkai "kekuasaan kehakiman".
Meski sudah diumumkan, hingga hari ini naskah putusan kasasi atas Ferdy Sambo belum bisa diakses oleh publik sehingga publik pun masih meraba-raba apa gerangan pertimbangan hakim yang melahirkan amar berupa menolak perbaikan dengan mengubah kualifikasi pidana Ferdy Sambo dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup. MA sebaiknya segera meng-upload putusan kasasi ini agar bisa menjadi contoh para hakim di PN dan PT yang telah diprogramkan dalam penyelesaian perkara dengan slogan "one day one minutasi". Konon, di tingkat pertama dan tingkat banding, begitu putusan diucapkan, jangan coba-coba untuk tidak segera melakukan minutasi dan mempublish putusan lengkap ke dalam aplikasi SIPP. Bagaimana dengan MA terkait dengan putusan kasasi Ferdy Sambo ini? Mengapa tidak "one day one minutasi" juga? Atau, saya yang belum tahu?
Di sisi lain, tampaknya, anotasi putusan kasasi ini harus segara bisa dilakukan oleh publik untuk mengkritisi putusan kasasi MA yang kontroversial ini, sehingga publik tahu pertimbangan hakim yang menolak dan yang setuju dengan dissenting opinion (DO)-nya. Pertanyaan selanjutnya, jika putusan ini dianggap tidak adil lalu, bisakah Jaksa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) sementara diketahui MK sudah memutuskan bahwa Pasal 30 C huruf h UU Kejaksaan yang mengatur wewenang Jaksa untuk mengajukan PK sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias dibatalkan. Jadi, putusan kasasi MA atas Ferdy Sambo sudah Inkracht Van Gewijsde artinya putusan berkekuatan hukum tetap. Sementara kita sebenarnya sudah mafhum atas dalil masyhur Thomas Aquinas bahwa lex injusta non est lex (hukum yang tidak adil bukanlah hukum). Quo vadis penegakan hukum di Indonesia, dan welcome to Numeric Justice System!
Tabik...! []
Semarang, Rabu: 9 Agustus 2023
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
0 Komentar