Pelarangan Kongres Majelis Mujahidin: Apakah Pemerintah Masih Menderita Islamofobia?


TintaSiyasi.com -- Ditolak lalu dicabut izinnya. Inilah nasib kongres Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang akan berlangsung Sabtu-Ahad (19-20/8/2023), di Asrama Haji Donohudan, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah. Akhirnya panitia memindahkan lokasi kongres ke Markaz Pusat Majelis Mujahidin, di Kotagede, Yogyakarta. 

Dimulai dari provokasi dan intimidasi ormas yang mengatasnamakan IPNU, IPPNU, Banser dan GP Ansor Boyolali. Lalu pencabutan rekomendasi penyelenggaraan Kementerian Agama (Kemenag) RI dan Kemenag Kabupaten Boyolali. Pun berimbas pada pencabutan izin dari Kepolisian Resor (Polres) Boyolali (kompas.com, 18/8/2023).

Alasan penolakan dan pencabutan tersebut karena menganggap MMI sebagai kelompok anti-Pancasila dan anti-NKRI. Sebenarnya ini bukanlah kali pertama di sepanjang gelaran agenda elemen umat Islam. 

Sebelumnya, beberapa kali terjadi pembubaran pengajian dengan tuduhan radikal. Anti-Pancasila, anti-NKRI, radikal, intoleran, sejatinya adalah stigma usang yang kerap dilabelkan kepada individu atau ormas Islam yang bersungguh-sungguh memperjuangkan Islam.

Diakui atau tidak, aroma islamofobia cukup menyengat di balik pencabutan izin kongres MMI. Diduga, pemerintah terjangkit islamofobia, sebuah ketakutan berlebihan terhadap Islam. Beberapa penegakan hukum dan pembuatan kebijakan menjadi indikasi islamofobia. Ironis, penyakit ini justru menghinggapi penguasa Muslim di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Aroma Islamofobia di Balik Pencabutan Izin Kongres MMI oleh Kemenag

Sikap Kemenag dan kepolisian terhadap kongres MMI ini menyisakan tanda tanya. Mengapa dalam suasana perayaan kemerdekaan RI 17 Agustus 2023, pejabat dan aparat masih bersikap seperti penjajah? 

Semestinya mereka memfasilitasi acara MMI karena itu kegiatan keumatan yang harus mendapat tempat di hati pemerintah dan aparat kepolisian. MMI adalah kumpulan anak bangsa yang membahas persoalan keumatan yang sesuai konsitusi serta semangat kemerdekaan.

Kemenag dan kepolisian mestinya berlaku bijak dan adil terhadap semua golongan yang hendak berbuat demi kebaikan bangsa. Janganlah dihantui ketakutan berlebihan terhadap agenda MMI atau ormas Islam lainnya. Atau justru terhinggapi islamofobia. 

Islamofobia merupakan bentuk ketakutan berlebihan terhadap Islam. Ketakutan itu muncul bisa jadi memang dia bukan Muslim sehingga Islam adalah pesaing bahkan musuh. Atau timbul karena kejahilan terhadap ajaran Islam sendiri. Komunitas ini terbanyak justru dari orang Islam. Muslim tapi jahil terhadap Islam. 

Meski Mahfud MD membela bahwa pemerintah tidak islamofobia, namun ada banyak indikasi yang mengarah bahwa pemerintah mengidapnya. Hal ini tampak dari berbagai pembuatan kebijakan dan penegakan hukum, yaitu: 

Pertama, mengkriminalisasi ulama, ustaz, dan aktivis Islam. Penahanan Ha-eR-eS bukan semata-mata atas tuduhan melakukan tindak pidana umum, pun Munarman yang dituduh terlibat terorisme. Aroma politik balas dendam sangat menyengat. 

Ali Baharsyah (aktivis Islam) ditahan dengan tuduhan menghina penguasa gegara unggahan media sosial dan makar karena video dakwah khilafah. Despianoor keluar masuk penjara atas tuduhan melanggar ITE, padahal postingan kritiknya adalah dakwah dan bentuk cinta negeri ini. 

Kedua, membubarkan ormas Islam yang dinilai radikal dan mengawasinya. HTI dibubarkan dengan Perppu Ormas yang dinilai bentuk kediktatoran konstitusional karena pemerintah secara sepihak mencabut badan hukumnya tanpa pemeriksaan pengadilan. 

FPI dibubarkan melalui SKB Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kepala BNPT tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI, Rabu (30/12/2020). Pendakwah kedua “ormas terlarang” ini pun dilarang tampil di stasiun televisi dilarang ikut Pemilu. 

Ketiga, membiarkan penista agama Islam tanpa pemeriksaan/hukuman. Para buzzer istana yang sering melontarkan narasi menghina Islam seolah kebal hukum. Terkesan aparat penegak hukum berat sebelah. Pelaku dari oposan cepat diproses, sebaliknya yang satu lingkaran penguasa dibiarkan.    

Keempat, berupaya membatasi syiar Islam. Menag mengeluarkan Surat Edaran No.5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. SE ini menuai polemik karena terkesan membatasi syiar Islam di masjid. 

Apalagi setelahnya Menag membandingkan azan dengan gonggongan anjing. Ini bukti bahwa SE ini dikeluarkan secara otoriter, tidak merupakan good law (proses pembentukan hukum yang baik) dan good substance. 

Kelima, monsterisasi ajaran Islam seperti jihad dan khilafah. Jihad dan khilafah dicitrakan sebagai ajaran kekerasan yang harus dijauhi. Termasuk ‘tabu’ diajarkan pada anak didik. Pada Desember 2019, Kemenag mengeluarkan SE agar merevisi konten keduanya dalam pelajaran agama Islam di madrasah. 

Selain itu, akan menarik materi ujian di madrasah yang mencantumkannya. Khilafah dan jihad tak lagi dimasukkan pelajaran fikih dan masuk pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, berdalih khilafah memang bagian sejarah Islam namun tak cocok diterapkan untuk konteks Indonesia.

Keenam, gencar mengarusutamakan program moderasi beragama. Ini telah menjadi program nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Istilah moderasi sering dilawankan dengan radikalisme. 

Radikalisme diposisikan sebagai virus (permasalahan utama negeri) dan moderasi digadang sebagai penawar/solusi bagi radikalisme. Padahal definisi radikalisme tidak jelas. Ia lebih sebagai nomenklatur politik, bukan nomenklatur hukum. Program moderasi menyasar PAUD hingga perguruan tinggi, juga darah kampung hingga desa.     

Demikian aroma Islamofobia nampak menyeruak di balik penolakan dari yang mengaku ormas Islam dan pencabutan izin oleh Kemenag dan pihak kepolisian. Meski pemerintah telah membela diri tidak terjangkit islamofobia, namun kebijakan dan sikap sebagian mereka telah menunjukkannya.

Dampak Pembatalan Kongres MMI Sebagai Kegiatan Umat Muslim terhadap Syiar Islam dan Islamofobia

Islamofobia tidak terjadi baru-baru ini, namun memiliki akar historis sejak abad pertengahan. Perang Salib I telah menanamkan benih islamofobia. Islam digambarkan sebagai aliran sesat, Muslim dicitrakan sebagai manusia bar-bar. 

Maka islamofobia lahir dari kebencian Barat terhadap Islam. Sementara pandangan hidup Barat adalah ideologi kapitalisme sekularistik yang secara diametral bertentangan dengan ideologi Islam. Lebih jauh, ideologi Islam menjadi musuh kapitalisme. 

Diduga, mereka menciptakan narasi kebencian terhadap Islam yang dikenal dengan istilah islamofobia. Marak terjadi di negeri kaum Muslim, khususnya yang mengekor pada Barat.

Kini islamofobia kian terstruktur dan masif karena secara global kapitalisme nyaris tumbang. Di sisi lain, agama Islam terus berkembang karena sesuai fitrah manusia. Jadilah narasi islamofobia menyerang Islam dengan harapan orang membenci dan memusuhi Islam. 

Dengan demikian, pembatalan kegiatan umat Muslim termasuk kongres MMI ini, tentu akan berdampak terhadap syiar Islam dan islamofobia itu sendiri, yaitu:

Pertama, terjadi unfairness (ketidakadilan) dalam penegakan hukum. Sebagaimana kasus Ha-Er-eS dan FPI, serta aktivis Islam lainnya. Hukum ditegakkan berdasarkan suka/tidak suka, serta dekat tidaknya dengan penguasa (APH). 

Terjadilah diskriminasi hukum. Yang memperjuangkan Islam (apalagi kritis pada rezim sekular) akan gercep ditangani. Sementara pendukung rezim diringankan hukumannya, dibuat pengadilan dagelan, hingga kebal hukum.

Kedua, naiknya distrust masyarakat terhadap penguasa (APH) hingga potensi civil disobedience. Tindakan diskriminatif APH menyebabkan distrust publik meninggi. Jika kezaliman terus berlangsung, distrust bisa berkembang menjadi pembangkangan. Masyarakat menaruh curiga dan enggan menaati kebijakan pemerintah.

Ketiga, polarisasi dalam tubuh umat Islam. Yang termakan narasi islamofobia akan taku terhadap ajaran hingga simbol Islam. Di sisi lain, ada kelompok yang ditakuti berlabel radikal, ekstrem, teroris. 

Saat ini, memungkinkan untuk terbelah lagi, antara pelaku dan supporter islamofobia dengan pendukung antiislamofobia. Istilah "asing” seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, adalah bagian proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Bertujuan agar kaum Muslimin terpecah-belah dengan saling melontarkan tuduhan satu sama lain.  

Keempat, menyulut konflik vertikal dan horizontal. Umat Islam yang telah terpolarisasi akan mudah terpantik konflik. Baik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan rakyat Muslim yang enggan tunduk aturan Barat.

Kelima, monsterisasi ajaran Islam. Ajaran seperti jihad dan khilafah menjadi hal mengerikan sehingga layak dijauhi. Bahkan khilafah disamakan dengan komunisme bahkan dikatakan bahayanya lebih aktual sehingga harus diwaspadai. Sungguh, ini tuduhan keji terhadap ajaran Islam.

Keenam, umat Islam kian jauh dari pemikiran dan syariat Islam. Saat yang berpegang teguh pada Islam dikategorikan radikal, teroris, atau syariat kaffah dikatakan radikalisme, ini berakibat umat enggan berdekatan dengan syariat dan pejuangnya. Padahal merugilah seseorang jika jauh dari syariat kaffah. 

Ketujuh, terjadi penyesatan hakikat problematika bangsa. Mengalihkan hakikat problematika bangsa, dari kapitalisme sekuler menjadi Islamlah biang kerok kegaduhan di masyarakat. 

Pemerintah dan kaum sekuler menuding penerapan syariat Islam memicu disintegrasi, mengancam kebhinekaan, dan seterusnya. Padahal akar masalah bangsa ialah penerapan sistem kapitalisme sekuler.

Kedelapan, hegemoni Barat dan sistem kehidupannya kian eksis.
Keberhasilan islamofobia akan mengeksiskan hegemoni kaum Barat. Sistem hidup berikut pemikiran-pemikirannya kian kuat diikuti masyarakat. Inilah batu sandungan perjuangan menegakkan syariat Islam.
 
Demikianlah, bila pembatalan kegiatan umat Islam terus terjadi umatlah yang merasakan dampak buruknya. Maka, kaum Muslimin mesti waspada dan berupaya meminimalisasi bahaya yang ditimbulkannya.

Sikap Ideal Pemerintah terhadap Kegiatan Umat agar Syiar Islam Tanpa Islamofobia

Dahulu Fir’aun sangat takut dan membenci Islam yang dibawa Nabi Musa. Puncak kecongkakannya adalah mengaku sebagai Tuhan. Abu Lahab dan Abu Jahal sangat takut dan membenci Islam yang dibawa Rasulullah SAW, sebab mereka dedengkot kafir Quraisy penyembah berhala. Puncak kebencian mereka tampak pada upaya pembunuhan Rasulullah.

Hari ini, Barat dengan ideologi kapitalisme sekularistik sangat membenci dan memusuhi Islam, sebab mereka berupaya menghegemoni dunia dengan ideologinya. Puncak permusuhan Barat kepada Islam adalah dengan menyebarkan virus islamofobia sembari menuduh Islam sebagai ajaran radikal, ideologinya sebagai terorisme, dan stigma buruk lainnya. 

Mengingat dampak buruknya bagi umat Islam, diperlukan sikap ideal pemerintah terhadap kegiatan umat agar syiar Islam tanpa islamofobia, yaitu:

Pertama, pemerintah menjiwai fungsinya sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Rasulullah SAW, “Imam (pemimpin) adalah ra’in (pengatur, pengelola) dan ia dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Muslim). 

Kedua, memiliki independensi pemikiran dan sikap. Dalam membuat kebijakan, yang menjadi poros adalah kemaslahatan rakyat (umat Islam) sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Tidak membebek pada arahan kelompok atau negara lain, terlebih jika justru merugikan rakyat.

Ketiga, melakukan serangkaian kajian, baik aspek teoritis maupun realitas di lapangan. Untuk memastikan masalah yang terjadi, faktor penyebab, serta solusi selama ini. Agar tidak ada yang merasa dijadikan kambing hitam seperti saat ini ketika umat Islam sering dipersalahkan dalam berbagai perkara. 

Keempat, menimbang aspirasi publik. Pemerintah membuka ruang dialog, khususnya dengan pihak-pihak yang selama ini mengusung Islam namun dinilai berseberangan dengan penguasa. Diharapkan terjadi kesepahaman hingga menghilangkan prasangka buruk dan permusuhan. Pemerintah merangkul, bukan memukul.

Kelima, mewujudkan kebijakan berasas keadilan. Tidak dipengaruhi rasa suka atau tidak suka, kawan atau lawan, dekat atau jauh. Kebijakantanpa diskriminasi atau tebang pilih, baik bagi kalangan Islam yang selama ini kritis terhadap jalannya pemerintahan, maupun terhadap lingkaran kekuasaan.

Rasulullah SAW mengingatkan, “Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada takwa.” (QS. Al Maidah: 8).

Namun, strategi di atas nampaknya sulit diterapkan ketika penguasa negeri ini tetap menginduk pada negara Barat yang selama ini mengarahkan berbagai kebijakan. 

Masih adanya islamofobia meski PBB menyerukan memeranginya menjadi bukti bahwa resolusi tersebut hanyalah lip service dan tak mungkin membasmi islamofobia hingga ke akarnya. Benarkah Barat mau menghancurkan sesuatu yang telah ia buat sendiri?

Maraknya islamofobia hanya bisa dihentikan kala umat Islam kembali pada junnah sejatinya. Inilah penjaga kehormatan dan darah kaum Muslimin. Bila umat Islam ingin melawan islamofobia, maka hilangkan akar penyebabnya yaitu dendam peradaban Barat kepada Islam. 

Di mana ideologi kapitalismenya telah menancap ke negeri-negeri Muslim. Oleh karena itu, negeri kaum Muslimin harus dibersihkan dari pengaruh ideologi kufur dan selanjutnya pemahaman Islam dikembalikan sebagai sistem kehidupan, hingga menjadi peradaban pemimpin dunia.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar