Pengusaha Ritel Ancam Setop Pembelian Minyak Goreng: Inikah Bukti Politik Ekonomi Indonesia Dikuasai Kapitalis?


TintaSiyasi.com - Dilansir dari detikFinance (25/8/2023), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengancam akan mengurangi tagihan hingga penyetopan pembelian minyak goreng. Pemicunya adalah pemerintah tak kunjung membayar utang Rp 344 miliar dari hasil pengadaan minyak goreng lewat program satu harga pada 2022. Utang itu muncul karena ada selisih harga minyak goreng yang dijual toko-toko ritel.

Apabila nyata ancaman ini terjadi, maka dapat dipastikan dapat memunculkan kelangkaan minyak goreng di toko ritel. Pasalnya, jumlah perusahaan ritel tercatat ada 31 yang terdiri dari 45.000 gerai toko di seluruh Indonesia, di antaranya Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart, hingga Superindo.

Melalui CNBC Indonesia (25/8/2023), sebelumnya, Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, apabila Kemendag tak kunjung membayarkan utangnya itu, maka Aprindo akan lepas tangan apabila perusahaan ritel benar-benar menghentikan pembelian minyak goreng dari para produsen.

Terkait ancaman pemotongan tagihan kepada produsen minyak goreng, sudah dilakukan satu ritel yakni Ramayana. Pemotongan tagihan ini adalah saat ritel tidak penuh membayar kontrak pembelian minyak goreng kepada produsen saat ini. Hal itu dilakukan sebagai ganti karena sampai saat ini pergantian selisih harga rafaksi belum dibayarkan pemerintah. Alur pembayaran selisih harga itu sendiri, dari pemerintah ke produsen lalu kemudian diganti ke peritel. (detikFinance, 25/8/2023).

Mengapa pengusaha ritel minyak goreng berani mengeluarkan ancaman? Apa dampak ancaman pengusaha ritel minyak goreng? Bagaimana seharusnya strategi negara memenuhi kebutuhan minyak goreng rakyatnya?


 Politik Ekonomi dalam Penguasaan Kapitalis

Persoalan minyak goreng yang mengalami kelangkaan dan harga melonjak naik bermula pada akhir tahun 2021. Berbagai macam solusi telah dilakukan pemerintah, mulai dari kebijakan plin-plan tutup buka kran ekspor minyak goreng dan bahan baku turunannya, penetapan harga eceran tertinggi (HET) yaitu Rp14.000/liter atau Rp15.500/kilogram (kg), hingga peluncuran MinyaKita di pasaran, dan dana rafaksi sebagai program subsidi dengan menggunakan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) semenjak munculnya kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng.

Polemik dana rafaksi pun sudah muncul dari semenjak April lalu, sebelum lebaran, pengusaha ritel modern sudah mengeluarkan ancaman boikot menjual minyak goreng. Sepertinya pemerintah belum juga memenuhi tanggungannya, sehingga ancaman setop pembelian minyak goreng oleh perusahaan ritel kembali memuka.

Dikabarkan dari detikFinance (25/8/2023), dikatakan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Isy Karim, Kemendag dan Aprindo akan mengadakan pertemuan yang akan membahas terkait komunikasi agar tidak melakukan pengurangan pasokan atau menghentikan pembelian minyak goreng.

Tak dipungkiri dalam kapitalisme menjadikan kapitalis memiliki peran penuh dalam perkembangan laju ekonomi negeri, mulai dari pengadaan barang hingga distribusi, sehingga tak jarang harga barang terutama kebutuhan pokok berada dalam permainan para korporasi.

Munculnya ancaman dari pengusaha ritel terhadap pemerintah tak dapat dielak, nyata membuktikan bahwa politik ekonomi saat ini berada dalam penguasaan kapitalis. Persoalan ini juga turut mengonfirmasi solusi tambal sulam kapitalisme tidak pernah mampu memecahkan persoalan rakyat secara tuntas, yang ada malah memicu persoalan-persoalan baru.


Dampak Ancaman Pengusaha Ritel Setop Pembelian Minyak Goreng

Ancaman para pengusaha ritel modern untuk melakukan penyetopan membeli minyak goreng apabila berlanjut dalam aksi nyata tentu akan menyebabkan kekosongan stok minyak goreng di sejumlah gerai ritel. Kemungkinan besar pun akan berdampak pada kelangkaan minyak goreng, melihat ada 45.000 gerai toko yang tersebar di seluruh Indonesia. Kelangkaan barang juga akan memicu lonjakan harga barang.

Lebih mendalam lagi, apabila pemerintah masih tetap mempertahankan paradigma kapitalisme dalam mengatur tata kelola ekonomi, maka selamanya politik ekonomi dalam penguasaan kapitalis. Jelas berdampak makin menyulitkan rakyat, baik dalam kemudahan memperoleh barang ataupun harga yang terjangkau.

Oleh karena dalam paradigma kapitalisme, korporasi memegang penuh kendali produksi berbagai kebutuhan pokok, bukan sekadar minyak goreng saja, begitu juga dalam proses distribusi, bahkan hingga memiliki kemampuan mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok.

Pada akhirnya, rakyat yang akan menanggung dampak berbagai macam kebijakan yang bukan hanya tak menyentuh akar permasalahan, terbukti masalah minyak goreng masih terus berlarut-larut, semenjak akhir 2021 hingga kini terus menimbulkan berbagai persoalan baru. Begitu pula munculnya ancaman pengusaha ritel karena tak kunjung dipenuhi kebijakan yang telah ditetapkan, pun dampaknya nanti akan ditanggung oleh rakyat pula. Sungguh, sengsaranya rakyat hidup dalam naungan kapitalisme.


Strategi Negara dalam Memenuhi Kebutuhan Minyak Goreng Rakyat

Dalam pengurusan negara di bawah sistem kapitalisme ini, sebenarnya bukan hanya persoalan ekonomi seperti persoalan minyak goreng ini yang terus menimbulkan polemik. Persoalan-persoalan di bidang lain pun sama saja. Berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam sistem kapitalisme selalu tak menyentuh akar permasalahan dan malah memunculkan persoalan baru, sekadar solusi tambal sulam belaka.

Tak bisa tidak, negara seharusnya memiliki kewajiban menyediakan bahan pokok kebutuhan rakyat secara menyeluruh, termasuk minyak goreng dengan ketersediaan stok barang dan harga murah. Untuk itu, negara harus memiliki kuasa penuh dalam mekanisme pengelolaan dan kebijakan politik ekonomi dalam pelaksanaannya. Tak bisa dan tidak boleh negara membiarkan para pengusaha ritel atau korporasi menguasai mekanisme pasar hingga politik ekonomi.

Hal pertama, pemerintah seharusnya tak membiarkan korporasi menguasai berbagai kekayaan alam yang melimpah dan menguasai hajat hidup rakyat, termasuk hutan tak dibiarkan korporasi memanfaatkannya untuk perkebunan atau hal lainnya secara liar.

Dalam hal pengadaan berbagai macam kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng, menjadi kewajiban penuh negara. Negara harus memiliki produksi sendiri berbagai kebutuhan pokok yang dibutuhkan rakyatnya sehingga tidak bergantung pada korporasi. Bahkan, apabila produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, negara wajib memenuhi kekurangannya dengan jalan impor. Begitu pula sebaliknya, negara tidak akan membolehkan ekspor berbagai kebutuhan pokok hingga kebutuhan dalam negeri tercukupi.

Bukan hanya berhenti dalam proses produksi saja, negara berkewajiban pula mengontrol proses distribusi berbagai kebutuhan pokok hingga ke pelosok-pelosok negeri. Negara memastikan seluruh rakyatnya mendapatkan kebutuhannya dengan mudah, tidak dibiarkan terjadinya kelangkaan suatu barang hingga berlarut-larut.

Setelah proses produksi dan distribusi dalam kendali penuh negara, kewajiban negara tidak berhenti di sini. Negara berkewajiban pula memastikan tidak adanya kecurangan dalam proses jual beli di pasar dan mengawasi tidak adanya aktivitas penimbunan barang. Apabila terjadi berbagai penyimpangan ditemui dalam pengawasan negara wajib langsung menindak dengan tegas dan cepat.

Tentu saja, berbagai mekanisme di atas akan sangat sulit diimplementasikan dalam naungan kapitalisme global. Sistem kapitalisme sudah pasti melindungi para kapitalis agar dapat memiliki kendali penuh mengontrol perekonomian, termasuk memiliki kemampuan mengontrol kebijakan pemerintah.

Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menawarkan solusi secara komprehensif dengan penerapan Islam secara kaffah di setiap lini kehidupan. Mekanisme-mekanismenya yang didasarkan pada syariat Islam mampu menyelesaikan seluruh problematika umat manusia, terbukti pernah memimpin 2/3 dunia selama 13 abad lamanya. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar