Polemik Pernyataan Mega Bubarkan KPK: Inikah Babak Akhir Pelemahan KPK?

TintaSiyasi.com -- Kontroversial. Baru-baru ini, pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri yang menginginkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibubarkan karena kinerjanya dianggap tidak efektif, memicu kritikan dari pegiat anti-korupsi dan warganet di media sosial. Meskipun Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengklarifikasi bahwa pernyataan Megawati tersebut dipelintir dan tidak benar, namun polemik telanjur terjadi.

Pakar Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah tak heran dengan wacana pembubaran KPK yang didengungkannya sebab Megawati dipandang berperan melemahkan KPK. Herdiansyah menyatakan, PDIP adalah partai penguasa yang menjadi salah satu barisan pelopor melemahkan KPK. Salah satunya lewat revisi UU KPK pada 2019 yang melucuti kewenangan lembaga antirasuah itu (republika.co.id, 23/8/2023).

Senada, Dewan Pengawas Indonesia Corruption Watch, Dadang Trisasongko, menilai Megawati seharusnya menyalahkan para pimpinan parpol pengusung revisi UU KPK hingga kinerja lembaga tersebut melorot dari periode sebelumnya. Sebab sejak UU KPK sah pada 2019, data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2022 menunjukkan Indonesia memperoleh skor 34 atau turun empat poin dan merupakan skor terendah sejak 2015. Adapun sejumlah warganet menyebut Megawati mestinya bercermin karena justru politikus dari PDIP banyak ditangkap KPK (bbc.com, 23/8/2023).

Wajar bila pernyataan Megawati tersebut memunculkan dugaan yang menjurus pada pelemahan KPK. Mengingat berbagai pihak telah mengendus adanya skenario drama merontokkan KPK sejak babak awal, babak penyisihan hingga babak akhir yaitu pembunuhan KPK, baik pembunuhan karakter independensi maupun dugaan pembubaran institusi. Masih ingat kasus pemecatan 56 pegawai KPK yang dianggap tidak dapat dibina lagi lantaran tidak lulus TWK dan tidak mau mengikuti diklat? Hal tersebut ditengarai sebagai upaya "bersih-bersih" agar pembunuhan independensi KPK bisa berjalan mulus. Bila KPK terus digoyang, akankah korupsi bisa tumbang?

Upaya Pelemahan KPK dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Sangat banyak petinggi negeri, dari kepala daerah hingga pejabat setingkat menteri dan DPR silih berganti menjadi pesakitan KPK, tapi korupsi tidak juga surut. Dan ironisnya, upaya mengempiskan fungsi KPK terus berlangsung. Patut diduga, pelakunya adalah kuasa politik, gabungan antara penguasa dan pengusaha yang biasa disebut sebagai oligarki. Mereka bersatu merontokkan KPK yang dapat diendus sejak babak awal, penyisihan hingga akhir. 

Beberapa babak dalam drama merontokkan KPK ialah:

Pertama, babak awal (euforia).
Babak awal terasa berbulan madu dalam euforia reformasi, khususnya tahun 2002. Semua bersuka ria menyambut kelahiran "mahluk baru" bernama KPK. Pihak reformis merasa ada common enemy bernama korupsi. Namun babak ini tak berlangsung lama karena para reformis banyak yang kemudian memegang jabatan negara. Mulai muncul dilema. Keberadaan KPK bak memelihara anak harimau. 

Kedua, babak penyisihan (pelemahan).
Pada babak ini,  para reformis menjadi penguasa dalam sistem demokrasi liberalistik kapitalistik. Demokrasi Pancasila ambyar tidak berbentuk dan kuasa politik menjelma menjadi oligarki yang tidak terkalahkan oleh rakyat pemegang kedaulatan sekalipun. Upaya untuk memperlemah KPK tampak terus dilakukan berdalih hukum. 

Adanya pelemahan KPK sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi di negeri ini dapat dijelaskan dengan strategi pelemahan melalui Revisi UU KPK.  Revisi UU KPK dengan UU No. 19 Tahun 2019 disinyalir telah melemahkan KPK dengan alasan: 

a. KPK tak lagi independen.
 
Pegawai KPK berstatus sebagai aparatur sipil negara (ASN). Dengan demikian, mereka harus tunduk pada Undang-Undang ASN. KPK juga menjadi target dari para pihak yang menggambarkan sebagai "ganjaran". Walhasil, sekitar 75 pegawai terpental. Mereka tidak lolos seleksi, dengan indikator yang masih buram, butuh transparansi. Dan akhirnya ada sekitar 51 pegawai dipecat karena dinilai tidak memiliki wawasan kebangsaan yang dianggap cukup oleh tim seleksi. 

b. Dimonitor dewan pengawas. 

Setidaknya, ada tujuh pasal yang khusus mengatur tentang dewan pengawas tersebut, yaitu Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, dan Pasal 37G. 

c. Izin untuk menyadap.
 
KPK harus mendapat izin tertulis dari dewan pengawas. 

d. Terbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3)..

SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Hal tersebut diatur dalam Pasal 40 Ayat 1 berbunyi, "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun." 

Banyak yang menyebut SP3 ini sebagai "karya besar" masa Pemerintahan Presiden Jokowi yang kontroversial dalam usaha pemberantasan tipikor. Di sisi lain, SP3 juga berpotensi diterbitkan atas suka-suka kami (SSK) KPK. 

e. Asal penyelidik dan penyidik. 

Revisi UU KPK ini juga mengatur soal asal penyelidik dan penyidik. Dalam UU KPK sebelum revisi, tidak ditegaskan bahwa penyelidik KPK harus berasal dari Polri. Namun, dalam revisi UU Pasal 43 disebutkan bahwa penyelidik harus diangkat dari Kepolisian RI. 

Ketiga, babak akhir (pembunuhan). 

Pembunuhan KPK dapat diartikan dua hal, yakni pembunuhan karakter independensi, dan yang paling tragis adalah pembubaran institusi. Salah satu ciri dari lembaga negara yang independen adalah kemandirian dalam pengelolaan sumber daya manusia yang dimiliki. Sepertinya hal ini tidak ingin dihadirkan oleh pengambil kebijakan politik di KPK. 

Selama ini, kepegawaian KPK dikelola secara profesional dan mandiri dengan ukuran kinerja yang jelas. Namun, Revisi UU KPK justru mengakibatkan status kepegawaian KPK tunduk pada UU ASN dan setiap kebijakan mutasi dan rotasi jabatan harus berkiblat ke Kementerian ASN. 

Alih status pegawai KPK dari pegawai KPK independen menjadi ASN merupakan langkah persiapan pembunuhan independensi KPK. Ini bukan lagi langkah pelemahan tetapi pelumpuhan yang diharapkan mampu membunuh independensi KPK tersebut. Dalam rangka alih status ini, KPK mengadakan Test Wawasan Kebangsaan (TWK) di mana 75 pegawai dinyatakan tak lolos TWK. 

Pembunuhan independensi KPK juga bisa didorong oleh Putusan MK yang menolak JR atas UU Revisi UU KPK. MK menolak gugatan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). MK berpendapat dalil para pemohon yang menyatakan UU KPK tidak melalui Prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum tidak beralasan hukum. MK juga berpendapat UU KPK sudah memenuhi asas kejelasan tujuan. Sementara, isi UU KPK Revisi mengandung unsur-unsur pelemahan KPK sebagaimana telah diuraikan di muka. 

Akhirnya, 56 pegawai diberhentikan dengan hormat pada tanggal 30 September 2021. Mengapa mesti 30 September 2021, padahal seharusnya dapat dilakukan pada tanggal 1 November 2021? Wajar jika hal ini dinilai sebagai stigmatisasi negatif terhadap 56 pegawai tersebut.

Dari mengikuti drama KPK, beberapa kalangan memprediksikan adegan babak akhirnya adalah pembubaran KPK. Meski korupsi meroket, mungkinkah KPK akan dibubarkan? Hal ini sangat mungkin terjadi ketika KPK dinilai makin membahayakan pejabat dan petugas partai yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif. Apalagi sekarang, patut diduga kolaborasi eksekutif dan legislatif sangat kuat hingga sulit dibedakan dan dipisahkan. Maka, apa susahnya membubarkan KPK dengan UU yang dibuat oleh kedua lembaga tinggi tersebut?

Dengan demikian, aroma kepentingan kuasa sangat menyengat di balik kemelut pemberhentian 56 pegawai KPK pada 30 September 2021 (G30S/TWK). Saat orang-orang berdedikasi tinggi, profesional, dan memiliki rekam jejak baik justru dianggap sebagai ancaman penguasa, maka dengan berbagai cara akan disingkirkan. 

Fenomena ini bukanlah anomali dalam alam demokrasi. Berbasis kebebasan sebebas-bebasnya, demokrasi membuka ruang manusia (terlebih penguasa) bertindak SSK. Pun merupakan keniscayaan dari penerapan sistem buruk tersebut yang kini penerapannya bergeser ke arah oligarki. Tak lagi mengutamakan kepentingan rakyat dengan memberikan perlindungan maksimal terhadap harta mereka dari jarahan koruptor. Namun lebih memprioritaskan langgengnya kekuasaan hasil perselingkuhan penguasa-pengusaha agar bersih dari kontrol para pejuang anti korupsi.

*Dampak Pelemahan KPK terhadap Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi*

Korupsi termasuk kejahatan luar biasa, namun dari sisi hukum sangat lemah. Dakwaan dan putusan pidana terkesan ringan dan tidak menjerakan, bahkan dulu tuntutan perkara H43RS  lebih tinggi (6 tahun) dibandingkan terdakwa korupsi trilyunan rupiah (tuntutan 4 tahun). Melihat berbagai fakta penanganan korupsi selama ini menunjukkan bahwa negeri ini tidak serius memberantas korupsi. Penerapan sanksi Tipikor berdasar UU Tipikor terkesan lemah dan tidak menjerakan. Masihkah kita berharap rezim sekarang serius memberantas korupsi, jika babak pelemahan hingga babak pembunuhan terjadi secara terstruktur dan sistematis? 

Berikut dampak pelemahan KPK terhadap penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, antara lain:  

Pertama, melanggengkan pola kebijakan amburadul, tidak berdasarkan mekanisme yang berlaku. 

Belajar dari pemecatan 56 pegawai KPK yang dinilai alasannya tak masuk akal. Bila dasar pemecatan sesuai tuntutan organisasi, seharusnya KPK membutuhkan banyak SDM, bukan malah memberhentikan pegawai. Selain itu, menurut Mantan Penyidik Senior KPK Novel Baswedan, dalam polemik TWK nyata terlihat jika pimpinan KPK telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan pemerintah. Dalam temuan Komnas HAM, setidaknya 11 pelanggaran HAM terjadi selama proses TWK berlangsung. Ombudsman RI juga menyatakan, penyelenggaraan TWK telah menyimpang secara prosedural, menyalahgunakan wewenang antarpejabat instansi negara, serta mengabaikan pernyataan Presiden Jokowi untuk tidak menjadikan TWK sebagai alasan pemberhentian pegawai KPK. Jika pola kebijakan buruk ini terus berlangsung, tentu menghambat upaya pemberantasan korupsi. 

Kedua, independensi KPK sebagai institusi pemberantas korupsi kian terkikis.

Fenomena G30S/TWK beberapa waktu lalu menjadi bukti tidak independennya lembaga ini dalam mengatasi persoalan korupsi, maupun pengangkatan pegawai KPK. Padahal posisi KPK adalah lembaga negara bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Saat hegemoni kekuasaan juga menerpa institusi ini, bagaimana ia tetap dalam independensinya? Terlebih pegawai KPK sekarang berstatus sebagai ASN yang harus tunduk pada UU ASN. 

Ketiga, pemberantasan korupsi kian tebang pilih.

Alih status pegawai KPK dari independen menjadi ASN adalah bentuk pembunuhan independensinya. Hal ini bisa mengarahkan keberpihakan KPK kepada rezim berkuasa. Jika model kepemimpinan KPK dalam bayang-bayang kuasa, bagaimana wajah pemberantasan korupsi di masa depan? Sementara realitasnya, pelaku korupsi besar justru dari pihak yang berkuasa atau dekat dengan sang penguasa. Sangat mungkin terjadi tebang pilih dalam penanganannya. Tak lagi melihat bobot kesalahan kasus perkasus, tapi cenderung menakar tingkat kesalahan dari posisi kekuasaan. Jika seperti ini, justru akan menjauhkan dari semangat membabat habis para koruptor.
 
Keempat, memunculkan kegaduhan di antara institusi negara yang dapat mempengaruhi trust politik hukum pemberantasan korupsi di negeri ini. 

Jika di tengah upaya pelemahan KPK ini Presiden Jokowi tidak mampu mengambil kebijakan tepat, maka akan memicu kegaduhan politik. Selanjutnya, trust masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK/rezim akan mengendur.

Demikian beberapa dampak pelemahan KPK yang akan berkontribusi pada situasi lebih berat dalam pencegahan dan penanganan korupsi. Sebagai kepala pemerintahan, semestinya Presiden Jokowi menyelamatkan marwah KPK. Apalagi KPK di bawah kepemimpinan saat ini dinilai makin jauh dari aspirasi publik. 

Akankah Jokowi berani berani terlepas dari instruksi Megawati selaku Ketum PDIP? Ikut  kata Bu Mega atau ikut kata publik, dengan meninggalkan legacy untuk kepentingan rakyat banyak?

Strategi Ideal Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia menjadi persoalan kronis. Hasil riset berbagai lembaga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini termasuk tertinggi di dunia. Upaya pemberantasan korupsi pun telah dilakukan. Tapi tak kunjung berhasil. Sebab tidak dilakukan komprehensif, setengah hati, minim teladan pemimpin, serta rendahnya pengungkapan kejahatan korupsi, padahal masyarakat mengetahuinya terjadi di mana-mana.

Kini, masyarakat tentu menanti strategi jitu untuk mengatasi salah satu problem besar negara ini. Jalan apa yang bisa diberikan Islam sebagai agama yang paling banyak dianut di negeri ini dan mungkin juga paling banyak dianut oleh para koruptor, agar kerahmatan yang dijanjikan bisa terwujud?

Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah strategi ideal pemberantasan korupsi yang ditunjukkan oleh syariat Islam berikut ini:

Pertama, sistem penggajian yang layak. 

Aparat pemerintah harus bekerja sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban menafkahi keluarga. Maka agar bisa bekerja tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka diberikan gaji dan tunjangan hidup layak.

Prinsip pemberian gaji rendah kepada pegawai dengan membuka kemungkinan perolehan tambahan pemasukan (yang halal dan haram) semestinya ditinjau ulang. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi menjadi pemicu korupsi.

Kedua, larangan menerima suap. 

Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah biasanya mengandung maksud tertentu. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar – separuh untuk kaum Muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi – datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separuh untuk orang Yahudi.

Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum Muslimin tidak memakannya.” Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah), langit dan bumi tegak.” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).

Suap akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak semestinya sampai dia menerima suap. Di bidang peradilan, hukum pun ditegakkan tidak adil atau cenderung memenangkan pihak yang mampu memberikan suap.

Ketiga, perhitungan kekayaan.

Jumlah kekayaan pelaku korupsi akan bertambah cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti melakukan korupsi. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana dilakukan oleh khalifah Umar bin Khaththab menjadi cara bagus  mencegah korupsi.

Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaannya didapat dengan cara halal. Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitulmal, atau membagi dua kekayaan itu, separuh untuknya dan sisanya untuk negara. Cara inilah sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.

Keempat, teladan pemimpin.

Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksanakan tugas dengan amanah. Ia takut melakukan penyimpangan karena Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban.

Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin ‘Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik baitulmal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan para pemimpin, praktik busuk ini tentu cenderung ditiru bawahannya, hingga upaya memberantas korupsi menjadi tidak berarti.

Kelima, hukuman setimpal.

Pada umumnya, orang takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk hukuman bagi koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan berefek jera. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin ditayangkan di televisi), penyitaan harta, serta hukuman kurungan hingga hukuman mati.

Keenam, pengawasan masyarakat.

Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat bermental instan cenderung menempuh jalan pintas saat berurusan dengan aparat, misal tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia turut mengawasi pemerintahan dan menolak aparat yang mengajak menyimpang.

Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang.” 

Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Bila ditambah dengan teladan pemimpin, hukuman setimpal, larangan pemberian suap, pembuktian terbalik, dan gaji mencukupi, insya Allah korupsi akan teratasi.

Jelas bahwa syariat Islam telah memberikan startegi pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di sinilah pentingnya seruan penegakan syariat Islam agar masyarakat mengetahui penanganan masalah korupsi secara komprehensif.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)



Posting Komentar

0 Komentar