Prancis, Potret Rusak Peradaban Sekuler


TintaSiyasi.com -- Berhari-hari sejumlah kota di Prancis dilanda kerusuhan. Bentrok meluas terjadi antara demonstran dan petugas keamanan sejak Rabu (28/6). Kerusuhan dipicu viralnya video pembunuhan remaja keturunan Aljazair Nahel pada  Selasa (27/6) di Nanterre, daerah pinggiran Prancis. Rahel ditembak mati seorang polisi saat mengenderai Mercedes kuning. Kerusuhan ini cukup besar dan meluas di beberapa kota, termasuk Paris. Prancis mengerahkan lebih dari 40 ribu aparat. Setidaknya 250 polisi terluka akibat bentrok. Lebih dari 1.300 demostran, sebagian besar anak muda, ditahan aparat. 

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyalahkan sosial media dan video game dalam kerusuhan ini. Menurut dia, para demonstran yang sebagian besar remaja teracuni tayangan video game. Sosial media pun dianggap Macron punya peran. Menurut dia, sosial media seperti Snapchat dan TikTok makin membuat situasi jadi panas. Ia pun mendesak perusahaan platform jejaring sosial tersebut untuk menghapus unggahan yang berkaitan dengan kerusuhan. Namun, persoalan sebenarnya tidak sesederhana itu. 

Kerusuhan Prancis merupakan masalah akut, yang mungkin kembali berulang kedepan. Kericuhan yang dipicu oleh kematiannya menjadi pengingat bagi banyak orang di Prancis pada peristiwa tahun 2005 lalu, ketika dua remaja, Zyed Benna dan Bouna Traoré, disetrum saat mereka melarikan diri dari polisi setelah pertandingan sepak bola dan menabrak gardu listrik di Kota Clichy-sous-Bois, di pinggiran Paris. Isu rasialis dan diskriminasi kerap kali muncul. Komite HAM PBB (OHCHR) pada Rabu (3/8/2022) pernah menyatakan Prancis bersalah atas tindakan diskriminasi terhadap Muslimah yang dilarang menghadiri pelatihan kejuruan di sekolah umum. 

Tidak hanya itu, islamophobia yang menguat bersamaan dengan sikap anti Asing, disebut-sebut sebagai pemicu. Pada 2004 Prancis mengadopsi kebijakan yang diskriminatif dan cenderung anti Islam, saat melarang pemakaian hijab dan simbol agama lainya di sekolah negeri. Sebuah penelitian yang dilakukan Badan Pemantauan Diskriminasi dan Kesetaraan Pendidikan Tinggi di Prancis mengungkap adanya diskriminasi dalam dunia pendidikan tinggi. Siswa dengan nama dan nama keluarga Muslim yang mendaftar ke program pascasarjana di universitas menghadapi diskriminasi lebih banyak daripada yang memiliki nama etnis Prancis.Prancis pun telah mengeluarkan kebijakan UU antiseperatisme yang dalam kenyataannya mengarah kepada Muslim di negara itu. 

Kerusuhan pun kerap muncul dengan berbagai pemicu. Pada protes kenaikan BBM pada akhir tahun 2018, 125.000 demonstran turun ke jalanan di seluruh negeri dan 10.000 di antaranya di Paris, yang juga mencatat kerusakan paling parah akibat bentrokan. Di ibukota Prancis itu para penjarah menghancurkan etalase-etalase toko dan membakar sejumlah mobil. Bentrokan dalam demonstrasi bukan hanya karena menentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Kekisruhan itu dinilai juga dipicu isu lain seperti pajak dan biaya hidup masyarakat yang terus meningkat. 

Kerusuhan Prancis sesungguhnya menggambarkan potret rusak peradaban Kapitalisme yang mengadopsi sekulerisme sebagai asasnya. Sebagai negara yang sering membanggakan diri sebagai paling sekuler dan liberal, Prancis telah menjadi bukti runtuhnya mitos-mitos sekulerisme yang selama ini dibanggakan. Selama ini, dengan berasas sekulerisme, sebuah negara dianggap akan menjadi stabil dari konflik, lebih harmonis, dan bisa menjamin kesejahteraan yang merata pada banyak pihak. Rusuh Prancis menghancurkan mitos itu. Hingga saat ini Prancis dan negara-negara Barat lainnya bisa disebut gagal untuk menyelesaikan persoalan diskriminasi, rasialisme, dan pemerataan kesejahteraan untuk rakyat. Mitos negara sekuler menjamin aspirasi agama pun tak terbukti. Pasalnya, banyak kebijakan yang justru menghalangi Muslim di Prancis untuk melaksanakan ajaran agamanya. Kebencian terhadap umat Islam yang menguat juga tidak bisa dilepaskan dari iklim politik negara sekuler Barat yang menjadikan Islam sebagai sasaran kebijakan jahat mereka seperti perang melawan radikalisme dan terorisme. 

Akar persoalan di Prancis dan negara Barat lainnya sesungguhnya muncul dari ideologi kapitalisme itu sendiri. Dengan prinsip sekulerismenya, mereka mencampakkan agama untuk mengatur masyarakat. Agama hanya diakui dalam masalah ritual, moral dan individual. Peradaban Kapitalisme yang dibangun atas dasar hawa nafsu manusia ini rusak bukan hanya asasnya, tetapi pada seluruh aspek kehidupannya. Inilah saatnya Islam tampil sebagai ideologi yang paling layak untuk mengatur umat manusia. 

Islam, sebagai agama wahyu yang bersumber dari Allah SWT yang memiliki sifat ar-Rahmaan dan ar-Rahiim, akan memberikan kebaikan pada seluruh umat manusia. Ajaran Islam yang berbasis pada akidah Islam adalah sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal manusia, dan akan menenteramkan hati. Syariah Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan memberikan kebaikan pada seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin). 

Inilah pesan penting saat kita memperingati hijrah Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Hijrah Rasulullah SAW sesungguhnya merupakan tonggak awal peradaban Islam yang ditandai dengan pendirian Negara Islam (Daulah Islam). Kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dalam sistem Khilafah ‘alaa minhaaj an-Nubuwwah. 

Khilafah bukanlah sekadar masalah historis. Khilafah adalah kewajiban syariah, yang wajib diperjuangkan umat Islam. Imam empat mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali) telah sepakat bahwa adanya khilafah dan menegakkan khilafah ketika tidak ada hukumnya wajib. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H) dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah menuturkan, “Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” 

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal.” (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205. AlLaahu Akbar! 

Ustaz Farid Wadjdi
Direktur Forum World on Islamic Studies (FIWS)
Sumber: Al-Wa'ie
 

Posting Komentar

0 Komentar