Road to 2024 (21): Politik Uang, Biaya Mahal, dan Penyakit Turunan Pemilihan


TintaSiyasi.com -- Sebagian rakyat akhirnya menyadari dampak liberalisasi politik demokrasi. Biaya pemilu yang mahal dikeluarkan panitia. Pun calon legislatif harus merogoh koceknya lebih dalam. Tidak cuma jutaan, tetapi menyentuh angka miliaran. 

Bayangkan saja, jika pemilu dipenuhi peredaran uang di publik, rasanya mengharapkan kehadiran pejabat yang suci dan jujur begitu sulit. Pemilu sekadar gincu memoles calon-calon yang siap-siap untuk balik modal ketika menjabat di pemerintahan.

Fakta ini pun didukung dengan politik uang sebagai umpan untuk menang. Rakyat sebagai konstituen tak pernah dididik dengan politik yang benar. Malah ditakuti dengan politik identitas yang kerap dialamatkan kepada Islam. 

Padahal dalam Islam memiliki sistem politik yang khas yang tidak dimiliki lainnya. Politik Islam lebih pada pengurusan kehidupan dan penjagaan agama. Tidak seperti demokrasi yang memisahkan agama dari kenegaraan.

Politik uang, biaya mahal, dan penyakit turunan dalam kontestasi pemilihan demokrasi telah merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik uang cenderung menyuburkan praktik suap-menyuap. 

Terkadang dibumbui dengan dalih-dalih yang pragmatis mematikan akal manusia. Biaya mahal mendorong calon untuk meyusun strategi korupsi ketika duduk di kursi jabatan. Berapa banyak pejabat dan anggota legislatif yang terlibat praktik penyelewengan jabatan dan bersifat koruptif?

Penyakit turunan lainnya berupa polarisasinya masyarakat karena beda dukungan dan pilihan. Mencuat fitnah dan saling merendahkan antar anak bangsa. Terkadang berujung pada tindakan kriminal yang bisa menghilangkan nyawa. Sportifitas dalam rivalitas politik yang digadang-gadang dalam konteks demokrasi tak mampu terwujud. Sebaliknya, memperparah jurang antar anak bangsa.

Bertambah Akut

Demokrasi tidak seindah yang digambarkan dalam teori. Praktik demokrasi berkali-kali mengangkangi akal sehat. Seseorang yang tidak layak menjabat dipoles untuk bisa naik jabatan. 

Pemilik modal dan kapital kalau tidak bermain langsung terkadang duduk dibelakang sebagai sutradara. Bertemunya dua kutub kepentingan oligarki politik dan ekonomi. Demokrasi telah menjadi lahan subur memunculkan kerusakan dalam tata negara dan kehidupan bangsa.

Kenapa makin ke kinian penyakit demokrasi bertambah akut? Sedangkan rakyat masih silau dengan mimpi demokrasi yang sebenarnya sulit terwujud? Inilah beberapa analisisnya.

Pertama, jargon dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat dianggap memikat. Faktanya jargon ini bertolak belakang dengan kepentingan politisi yang didanai oligarki. Alhasil rakyat tersingkir dan jargon itu berganti dari oligarki oleh oligarki dan untuk oligarki.

Kedua, penyakit yang bertambah akut ini karena pemikir, akademisi, dan intelektual yang mengkaji demokrasi tidak menyadari sakit bawaannya. Cenderung memegang teguh demokrasi dan mencoba dikembalikan kepada teks dan teori aslinya. 

Memandang demokrasi dari kacamata musyawarah dan keadilan rasanya kian jauh dari keadaan. Demokrasi kini menjelma menjadi buldoser yang siap merampas hak-hak rakyat.

Ketiga, sudah tahu penyakit bawaan demokrasi, tetapi rakyat tidak memiliki solusi. Politisi yang memiliki kesadaran pun seolah berdiam diri dan beralasan menunggangi demokrasi untuk merubahnya sesuai visi-misi. Rakyat pun tidak pernah ditunjukkan jalan terang untuk keluar dari kubangan demokrasi.

Keempat, pragmatisme yang menjangkiti rakyat dan pejabat. Demi menang dimainkan politik uang. Rakyat pun tak mau memilih kalau tidak ada uang. Edukasi politik pun minim. Pembahasan politik dianggap sulit dan menyulitkan. Alhasil mengambil sikap mudah dan mengabaikan pembahasan yang sebenarnya menyangkut hajat hidup orang banyaka.

Kelima, demokrasi didengungkan oleh negara pengusungnya sebagai sistem yang ideal. Tak ayal negeri-negeri tempat muslim tinggal latah mengambilnya pasca keluar dari kediktatoran. 

Mungkin demokrasi cocok jika diambil negara yang memisahkan agama dengan kehidupan. Sayangnya tidak cocok jika diambil di negeri kaum muslim yang memang tidak bisa memisahkan agama dari kehidupan.

Penyakit akut ini tidak akan hilang, jika terus dipelihara tanpa mau beralih ke sistem politik yang lebih bersahaja. Bahkan penyakit ini akan bertambah akut dan dianggap lumrah dalam kancah perpolitikan. Kalau sudah begini, rakyat yang perlahan kelimpungan dan mati.

Menengok Politik Islam

Politik Islam tidak bertumpu pada uang untuk menduduki jabatan. Landasannya aqidah Islam yang kokoh. Kepribadian politisi diukur bukan dengan banyaknya modal dan terkenal. Lebih pada kepribadian Islami yang terpatri pada aspek pemikiran dan tingkah laku keseharian. Semesta politik Islam berfokus pada pengurusan umat dengan syariah kaffah. Jadi menitikberatkan pada Islam yang terwujud secara nyata dalam kehidupan.

Politik Islam terkait penentuan jabatan tidak seperti demokrasi. Untuk menjadi wakil dalam majelis umat tak perlu biaya mahal dengan modal besar. Keterwakilan untuk mengoreksi penguasa dan mengawal penerapan syariah. 

Tujuannya bukan sekadar jabatan, tapi ketaatan. Untuk menjadi gubernur atau wali tak pakai pilah pilih. Cukup ditunjuk khalifah dengan orang yang sesuai syariah. Begitu pula khalifah diangkat dengan baiat, yaitu taat pada Allah dan Rasul-Nya.

Konteks itu semua akan terwujud dalam bingkai politik Islam. Sistem inilah yang selayaknya menjadi fokus perhatian umat. Umat Islam sudah memiliki kekyaan khazanah politik Islam. Jadi tidak perlu berpaling ke yang lain. 

Maka untuk memberangus politik uang, biaya mahal, dan penyakit turunan dalam pemilihan diperlukan sistem Islam yang kaffah sebagai solusi masa depan. Yakin!!


Oleh: Hanif Kristianto 
Analis Politik-Media

Posting Komentar

0 Komentar