TintaSiyasi.com -- Dikutip dari CNN Indonesia, 9 Agustus 2023 menurunkan berita tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang hendak membuka peluang untuk mengusulkan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) untuk membuat aturan penundaan pemilu di masa darurat. Meski demikian, MPR menegaskan bahwa usulan itu tidak terkait penundaan Pemilu 2024 dan kontestasi akan berjalan sesuai jadwal.
Disebutkan bahwa Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan pihaknya akan mengusulkan wacana tersebut saat hari konstitusi 18 Agustus mendatang. Arsul mengakui wacana itu mulai jadi pembahasan di internal lembaganya dalam beberapa waktu terakhir menyusul pengalaman saat pandemi 2020 lalu. Pasalnya, kata Arsul, UUD yang berlaku saat ini belum mengatur soal penundaan pemilu di masa darurat seperti pandemi. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, Apakah bisa dibenarkan usulan tersebut di alam demokrasi?, apakah tidak ada strategi lain untuk menyelenggarakan pemilu di masa pandemi sehingga aspek kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara tetap terjamin? Mungkinkan upaya penundaan pemilu di masa darurat disalahgunakan oleh rezim?
Era reformasi telah berjalan 25 tahun sejak 1998. Benarkah tujuan kemerdekaan 1945 sudah tercapai atau justru jauh diselewengkan orang, menjauh dari cita-cita Proklamasi sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Demokrasi dengan ketaatan pada konstitusi mestinya menjadi acuan bersama agar tujuan nasional Indonesia merdeka dapat dicapai.
Hari-hari terakhir ini seluruh ruang dipenuhi wacana penundaan pemilu dengan demikian berimbas pada perpanjangan masa jabatan Presiden, DPR dan DPD. Sementara berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UUD 45, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD dan tata cara pemilihannya diatur dalam undang-undang sesuai Pasal 6A ayat 5 UUD 45. Kemudian dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Sebagai negara hukum, semua pihak harus menyadari bahwa ada aturan dasar yang harus dipatuhi, yakni konstitusi. Semua aturan dan ketentuan konstitusi harus dianggap final dan mengikat secara mutlak, tidak bisa diutak-utik lagi oleh siapapun, kecuali dengan mekanisme konstitusional melalui amandemen UUD 45 oleh lembaga tinggi negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Termasuk perihal penundaan pemilu pun harus dalam bingkai konstitusional. Tidak boleh dilakukan secara "bar-bar", terkesan anarkhi. Terkait dengan usulan penundaan pemilu di masa darurat sekalipun harus dipertimbangkan secara matang di alam demokrasi yang berintikan pada kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai.
UUD 1945 asli telah mengatur bahwa pemilu dilaksanakan dalam waktu lima tahunan dengan maksud untuk membatasi masa jabatan penyelelenggara pemerintahan negara. Itu sudah baku dan dalam keadaan tertentu memang dimungkinkan pemilu dipercepat ataupun ditunda. Indonesia pernah melakukan percepatan pemilu ketika suatu pemerintahan ambruk, misalnya Pemilu di era reformasi.
Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Euforia demokrasi pasca orde baru sangat dapat dirasakan pada saat semua elemen bangsa sepakat untuk mempercepat pemilu di tahun 1999 padahal seharusnya pemilu baru dilaksanakan tahun 2003. Kita yakin di sini yang sedang berkuasa bukan rezim otoriter, melainkan rezim demokratis. Tidak ada mafia hukum antara eksekutif, legilatif dan yudikatif. Sementara itu, penundaan pemilu nasional di negeri ini belum pernah terjadi dalam keadaan apa pun. Pemilu kada memang terjadi penundaan mengingat adanya upaya untuk pelaksanaan pemilu nasional serentak pada tahun 2024.
Usulan penundaan pemilu melalui amandemen UUD 1945 harus ditolak. Kita tetap mempertahankan ketentuan bahwa "Pemilu itu dilangsungkan berkala lima tahun sekali berdasarkan Pasal 22 E ayat UUD 1945,"
Selain menabrak prinsip demokrasi yang intinya ada pembatasan kekuasaan menurut hukum yang pasti, upaya penundaan pemilu juga bertentangan prinsip penyelenggaraan kepemimpinan nasional lima tahunan yang dianut oleh UUD 1945. Selain itu usulan penundaan pemilu juga bertentangan UU Pemilu karena dalam undang-undang tersebut hanya mengenal penundaan dalam bentuk susulan dan lanjutan serta tidak boleh ada penundaan pemilu secara nasional. Penundaan susulan kalau di tahapan tertentu terjadi upaya yang tidak memungkinkan dilakukan proses pemilu karena bencana. Maka tahapan yang tertunda disusulkan.
Saudara sekalian, sebagaimana diketahui bahwa hukum dasar itu ada 2, yaitu hukum dasar tertulis (konstitusi) dan hukum tidak tertulis (konvensi). Konstitusi itu bukan peraturan perundang-undangan biasa yang mudah untuk diubah dan dijalankan semau rezim yang berkuasa.
Ada yang berpendapat bahwa "demi keselamatan rakyat, konstitusi dapat dilanggar". Padahal UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi negara RI juga memuat dalil atau prinsip salus populi suprema lex esto. Oleh karena itu dalam implementasinya, penerapan dalil "salus populi suprema lex esto" dapat terjadi penyimpangan oleh rezim yang lebih mengutamakan kekuasaan dibandingkan hukum. Dalil itu terkesan sebagai alasan pembenar dari semua tindakan dan kebijakannya meskipun secara konstitusional tidak benar. Apalagi kebijakan dan tindakan rezim itu didasarkan atas penerapan prinsip "negara tidak boleh kalah" secara keliru.
Oleh karenanya, penerapannya dalil “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” ini perlu dipertanyakan dan dikritisi agar tidak disalahgunakan oleh rezim yang cenderung berwatak otoriter konstitusional. Dalil ini juga tidak boleh menjadi alasan MPR untuk mengajukan usulan penundaan pemilu dalam keadaan darurat karena berpotensi disalahgunakan oleh rezim yang otoriter, apalagi telah terjadi mafia hukum antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Jika dalam rezim yang sedang berkuasa telah terjadi mafia hukum, maka rezim akan sangat setuju untuk dilakukannya penundaan pemilu dengan berbagai dalil, kriteria yang telah ditentukan oleh rezim itu sendiri sekarang ini. Penundaan pemilu akan lebih menguntungkan rezim yang berkuasa, baik Presiden, DPR maupun DPD. Mereka tidak perlu bersusah payah mencari suara pemilih namun masih tetap menjabat untuk jangka waktu tertentu, bisa 1 tahun, 2 tahun dan seterusnya. Tergantung dari kesepakatan rezim, dan bisa dipastikan bahwa rakyatlah yang pada akhirnya akan berpotensi dirugikan.
Meskipun ketentuan terkait dengan keadaan darurat ditentukan secara rigid oleh MPR, tetapi dalam praktiknya, rezim otoriter bisa menyiasatinya dengan berbagai upaya yang melibatkan ketiga ranah kekuasaan sekaligus. Kolusi akan dilakukan, bahkan mafia dalam industri hukum pun akan dipraktikkan. Inilah potensi-potensi buruk yang akan terjadi ketika kekuasaan sedang dipegang oleh kekuasaan yang otoriter dan memang kekuasan (status quo) itu cenderung ingin dipertahankan dengan berbagai cara baik melalui cara demokratis maupun cara otoriter dalam sistem pemerintahan yang awalnya dipilih secara demokratis pula (Ziblatt dan Levitsky: 2018).
Kesimpulannya, dari pada suatu saat bangsa ini terjebak pada situasi dilematis terkait dengan penundaan pemilu pada masa darurat, lebih baik usulan MPR tersebut ditolak. Pemilu harus tetap dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahunan. Jika terjadi keadaan darurat, maka yang perlu dicari adalah cara penyelenggaraannya. Zaman semakin modern dan serba digital, maka cara-cara digitalisasi pemilu pun bisa ditempuh terkait dengan penyelenggaraan pentahapan pemilu. Mulai dari sosialisasi, pendaftaran, kampanye hingga pemungutan suara. Sistem itulah yang seharusnya disiapkan mulai dari sekarang, bukan membuka wacana penundaan pemilu dalam keadaan darurat melalui amandemen UUD 1945. Tabik![]
Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Selasa: 15 Agustus 2023
0 Komentar