TintaSiyasi.com -- Menelusuri sejarah Pulau Rempang menyusul konflik agraria yang masih memanas antara ribuan warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau yang mempertahankan tempat tinggalnya dengan aparat pemerintah yang berupaya merelokasi warga untuk proyek strategis nasional (PSN) Pengembangan kawasan ekonomi baru Rempang Eco-city, sejarawan Nicko Pandawa mengungkap, akar masalah di balik konflik ini karena meninggalkan hukum Islam tentang ihya'ul mawat (menghidupkan tanah mati).
"Enggak pakai hukum Islam sehingga enggak pakai ihya'ul mawat, sehingga hak mereka untuk memiliki lahan di Rempang-Galang itu dilupain begitu aja. Padahal, itu sudah turun-temurun punya nenek moyang mereka dan legal juga," tuturnya kepada Tintasiyasi.com, Ahad, 17 September 2023.
Mengupas sejarahnya, menurut Nicko, penduduk Pulau Rempang memiliki hak atas tanah yang selama ini mereka huni karena mewarisi dari nenek moyang mereka yang telah menghidupkan tanah di sana. Menurutnya, aktivitas menghidupkan tanah mati (ihya'ul mawat) yang dilakukan leluhur suku Melayu, Orang Laut dan Orang Darat di Pulau Rempang, Galang dan sekitarnya tersebut sah menurut hukum yang berlaku saat itu.
Ia menerangkan, jauh sebelum Republik Indonesia diproklamasikan, di Pulau Rempang dan Galang diberlakukan hukum Islam di bawah Kesultanan Riau Lingga yang basis pemerintahannya ada di Pulau Penyengat.
Letaknya yang dekat dan berhadap-hadapan dengan Pulau Penyengat, Pulau Rempang menjadi salah satu tempat yang penting selain Tanjung Pinang. Di bawah pengaturan Batam, menurut Nicko, Orang Laut dan Melayu di Pulau Rempang dan Galang banyak yang menjadi pembantu sultan, menjadi prajurit sultan, jadi pembuat kapal, juga menjadi pasukan Kesultanan Riau Lingga.
"Rempang-Galang itu masuk ke pengaturan Batam yang dipimpin oleh seorang anak daripada Yang Dipertuan Muda Riau V Raja Ali Daeng bin Kamboja. Namanya Raja Isa. Dari situ, makin ramailah Rempang-Galang. Dari situ kemudian mulai banyak penduduk, pengaturan penduduk," terangnya.
Nicko menjelaskan, dalam urusan agraria di masa kesultanan digunakan hukum Islam. Dalam fikih Islam, lanjutnya, ada hukum tentang ihya'ul mawat yang menghalalkan bagi siapa pun yang telah menghidupkan tanah mati baik memagarinya, bercocok tanam maupun mendirikan bangunan permanen di atasnya untuk memiliki lahan tersebut sekalipun tanpa sertifikat.
"Dalam ihya'ul mawat, kalau ada misalkan salah seorang memagari lahan atau bercocok tanam di atas lahan itu atau mendirikan bangunan permanen, maka itu sudah dikategorikan sebagai ihya'ul mawat, sebagai menghidupkan tanah yang mati. Dan dari situ dia berhak atas tanah itu. Enggak perlu pakai sertifikat . Sertifikat itu hanya formalitas," ungkapnya.
Karena itu, menurutnya, keberadaan penduduk di Pulau Rempang tersebut sah bahkan mereka ada sebelum Indonesia merdeka, sehingga mereka berhak atas kepemilikan lahan. Meskipun belum ada sertifikat, lanjutnya, sebetulnya dalam sejarah kesultanan dikenal Surat Kurnia yang menjadi bukti pengakuan kesultanan terhadap kepemilikan individu atas tanahnya.
"Biasanya kalau di Kesultanan itu namanya Surat Kurnia. Surat daripada Yang Dipertuan Muda atau Sultan langsung kepada person tertentu untuk menghidupkan tanah yang mati. Itu ada biasanya. Batam itu juga include yang Rempang Galang. Jadi, sah-lah. Ada wakil atau amir daripada Sultan Yang Dipertuan Muda di pulau itu. Dan jelas mereka sangat berhak sekali atas kepemilikan lahan walaupun sekali lagi walaupun enggak punya sertifikat," imbuhnya.
Hanya saja, kata Nicko, ketika penjajah tiba di Nusantara, termasuk menjajah Riau-Lingga, kemudian berdiri Republik Indonesia dan dibentuk Otorita Batam, hukum Islam tidak digunakan, justru menggunakan sistem dari penjajah sehingga ihya'ul mawat tidak lagi dikenal.
"Kan yang jadi masalah itu kan ketika Riau lingga itu dijajah, kemudian Republik Indonesia berdiri, tapi tetap pakai sistem penjajah gitu loh. Kemudian didirikan otorita Batam tahun 90 an. Enggak pakai hukum Islam sehingga enggak pakai apa itu namanya ihya'ul mawat," ujarnya.
Penggunaan hukum warisan kolonial dan penghilangan hukum Islam itu menurutnya menjadikan hak warga Rempang untuk memiliki lahan di tanah leluhurnya seakan dilupakan.
"Padahal itu sudah turun-temurun punya nenek moyang mereka dan legal juga. Sebenernya sertifikat itu cuma dari hukum kolonial dan hukum republik aja. Sebelum ada republik dan kolonial, orang-orang yang sudah hidup dan diatur dengan Islamnya gitu," ungkapnya.
Solusi
Nicko berharap konflik di Pulau Rempang ini dapat diselesaikan dengan baik dan hati-hati. Ia mengingatkan agar jangan sampai rasa kecewa terhadap kezaliman pemerintah dengan sikap represifnya terhadap warga Rempang demi investasi, malahan disikapi dengan upaya separatis.
Sebab, menurutnya umat Islam kini sudah terpecah-pecah. Komentar tentang separatis menurutnya sangat berisiko. Secara geopolitik, menurutnya, Kepulauan Riau dekat dengan Singapura. Sementara yang menjadi basis politik Amerika dan Israel. Menurutnya, solusinya mesti ganti sistem, kembali kepada sistem Islam.
"Jadi harus hati-hati, jangan sembarangan juga kita cuap-cuap soal separtis. Lita udah terpecah-belah begini, jangan dipecah belah lagi lah. Harus cari solusi lain. Apa? Yang lebih masuk itu tuh, lebih ke ganti sistem," pungkasnya. [] Saptaningtyas
0 Komentar