Skripsi Tak Jadi Syarat Kelulusan S1: Inikah Inovasi Cepat Lulus Kuliah atau Proyek


Tintasiyasi.com -- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menegaskan ketentuan tak wajib skripsi sebagai tugas akhir bagi mahasiswa S1 dan D4 diserahkan kepada keputusan setiap perguruan tinggi (CNNIndonesia, 30/8/2023).

Berita Kompas pada hari yang sama Nadiem membantah dirinya menghapus skripsi sebagai tugas akhir untuk kelulusan mahasiswa jenjang strata satu dan diploma 4 ( S-1/D4) dengan menegur para insan media yang memberitakan dirinya menghilangkan skripsi dan tidak membolehkan menulis jurnal. Berita serupa sontak viral dan menjawab kegundahan terkait skripsi yang tahun 2015 pernah muncul bahasan. Hingga hoaks Jokowi menghapus skripsi.

Pro kontra mahasiswa pun menguar dikalangan mahasiswa. Berita Jateng tv mengungkap suara mahasiswa UNDIP dan Unisula adanya perbedaan pendapat yang muncul diantara mahasiswa. Syarifuddin Yunus melalui blog Kompasiana menampilkan survei membuktikan, 93% mahasiswa atau alumni S1 setuju skripsi tidak lagi jadi syarat kelulusan S1 (Kompasiana, 30/8/2023).

Survei dilakukan kepada kepada 50 mahasiswa semester 7 dan alumni S1 yang lulus dalam 3 tahun terakhir secara daring. Para rektor universitas pun beberapa mengeluarkan pendapatnya. Meski jika dilihat beberapa waktu yang lalu mengatakan tak setuju tapi saat ini harus mengubah pendapatnya. 

Aturan anyar yang dikatakan Nadiem  tertuang dalam Permendikbudristek No 53 Tahun 2023 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Dalam Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi yang disiarkan langsung via Youtube Kemendikbud RI, Selasa (29/8), Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan menjelaskan beberapa perubahan yang akan berlangsung dalam pendidikan tinggi. Salah satunya menyerahkan pada pihak universitas untuk tugas akhir mahasiswa dengan proyek ataupun karya yang laiinya. 

Nasib Perguruan Tinggi dalam Kurikulum Merdeka

Kehebohan dunia pendidikan kembali terjadi setelah Nadiem Makarim mengeluarkan pernyataan S1 dan D4 tidak wajib skripsi. Faktanya yang dilakukan Kemenristek tidak hanya satu program itu tapi juga menerapkan dan merombak kurikulum. Sebagaimana dulu ketika UN dihapus dan diganti dengan Asesmen saat Covid 19 tahun 2020. Lalu perubahan kurikulum KTSP ke kurikulum 13.

Setelah 2021 adanya pergantian lagi menjadi kurikulum merdeka. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mencanangkan reformasi sistem pendidikan Indonesia melalui kebijakan Merdeka Belajar. Tujuannya adalah untuk menggali potensi terbesar para guru-guru sekolah dan murid serta meningkatkan kualitas pembelajaran secara mandiri. 

Untuk pendidikan tinggi kurikulum merdeka lebih spesifik disebut Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Program ini digulirkan dengan berbagai spesifik program seperti magang mahasiswa, KKN tematik, riset dan seterusnya. Merdeka Belajar Kampus Merdeka merupakan salah satu kebijakan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Salah satu program dari kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka adalah hak belajar untuk mahasiswa selama tiga semester di luar program studi. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa.

Kebijakan ini untuk menyiapkan mahasiswa dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, dunia kerja dan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan tidak menentu. Hal tersebut seringkali disebut sebagai VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity) Era. Sebuah situasi dimana perubahan menjadi sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol, dan kebenaran serta realitas menjadi sangat subjektif.

Untuk itu, kompetensi mahasiswa harus disiapkan agar lebih siap dengan kebutuhan zaman VUCA ini. Link and match menjadi salah satu yang harus dilakukan lebih gencar, tidak saja dengan dunia usaha dan dunia industri, sering disebut dengan DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri ), tetapi juga dengan masa depan yang berubah dengan begitu cepat.

Sehingga, Perguruan Tinggi dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran, yang mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal dan selalu relevan dengan perkembangan dunia karir.

Tugas skripsi selama ini dianggap hanya bersifat formalitas untuk mencapai gelar sarjana, bukan merupakan cerminan idealisme disiplin ilmu yang dipelajarinya. Bahkan ada yang yang menyebut skripsi malah jadi beban. Karena bagi mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan menulis ilmiah, skripsi bisa jadi penyebab stress dan frustrasi, Hingga akkhirnya tidak menutup kemungkinan akhirnya skripsi disusun alakadarnya atau plagiasi. Tanpa implikasi terhadap dunia kerja atau praktik di masyarakat yang signifikan.

Wakil rektor bidang kemahasiswaan dan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito mengatakan pihaknya akan mengkaji kebijakan baru Mendikbudristek; dia menambahkan bahwa beberapa prodi di UGM sudah menerapkan beragam bentuk tugas akhir selain skripsi. FISIPOL (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) UGM misalnya, mahasiswa bisa membuat karya apakah film apakah magang itu bisa jadi skripsi juga, hanya namanya tugas akhir. Itu bisa beragam tidak seperti skripsi konvensional. 

Maka, terlihatlah bagaimana nasib pendidikan tinggi ke depan yang berarti penyiapan mahasiswa sesuai kebutuhan DUDI. Dengan demikian tugas akhir pun bisa sangat beragam sesuai kreatifitas, koneksi dan keinginan mahasiswa. Tidakkah ini terkesan menantang idealisme mahasiswa? atau malah permainan kata untuk mendekap mereka sejak awal dengan arahan dunia kerja dan korporasi?

Standar yang Harus Dicapai Mahasiswa dan Diarahkan Universitas Berdasarkan Pasar, Khas Cara Pandang Kapitalisme

Kebijakan menghapus kewajiban skripsi ini mendapat sambutan baik di kalangan mahasiswa. Selama ini, skripsi tidak jarang menjadi ganjalan yang membuat mahasiswa lulus lebih lama. Nilainya sebagai karya akademik juga kerap dipertanyakan. Bahkan ada yang bilang dunia kerja terkadang tidak bertanya apa skripsi yang sudah disusun mahasiswa untuk syarat lulus.

Tetapi, ketika dihapuskan sama sekali banyak juga yang menyayangkan jika mahasiswa kehilangan kemampuan menulis secara ilmiah. Membingungkan juga bukan, sebenarnya standar lulus itu apa? Kampus itu tempat pendidikan atau tempat penjaringan dunia kerja? 

Di Amerika, untuk mendapatkan gelar sarjana atau lulus S1 tidak perlu pakai skripsi. Secara umum, kampus-kampus menerapkan syarat minimal SKS yang harus ditempuh, IPK minimum, dan ujian akhir semester untuk menentukan kelulusan. Dikutip dari laman Coursera, mahasiswa di AS memerlukan setidaknya 120 SKS untuk lulus dari program sarjana (atau sekitar 180 SKS di sekolah dengan sistem seperempat) dan IPK minimum (biasanya 2,0).

Mahasiswa di AS juga dapat mentransfer kredit yang diperoleh dari kursus yang telah diselesaikan sebelumnya, seperti kursus di program asosiasi yang diikuti dan atau sebagainya. Untuk tugas akhir sendiri, biasanya mahasiswa di AS akan melakukan proyek profesional dan ujian komprehensif tertulis untuk mencapai gelar sarjana mereka. Tentu saja di AS juga sudah ada support sistem lebih mapan sehingga standar dunia kampus adalah efektivitas persiapan dunia kerja. 

Tentu saja berbeda ketika diterapkan di wakanda ini. Masih lekat dalam benak kita bagaimana kasus UIN Solo ketika DEMA mencari dana dengan upaya sendiri. Harapan pengajar yang berpola jadul mungkin akan mengajukan sponshorship pada pabrik, industri atau tempat usaha lain. Tapi genzie yang mereka paham dunia IT dan maya melihat berbeda dari generasi baby blummer dan generasi X.

Maka, dengan kurikulum merdeka bersatu bersama moderasi beragama dalam dunia pendidikan wakanda bukankah pragmasitas pasti jadi acuan bukan iman.  Standar pendidikan tinggi sesuai DUDI pun sebenarnya jelas mengarahkan mahasiswa menuju ke jalan masa depan pilihan karier. Sehingga pendidikan tinggi bukanlah tempat mencari ilmu pengetahuan dan menempa idealisme. Tapi sama dengan lembaga kursus penyiap kebutuhan pasar. Sungguh ironis.

Penulis sebenarnya juga tidak meributkan harus skripsi atau tidak. Karena dari awal semua mengetahui skripsi hanyalah pilihan karya cerminan pendidikan tinggi. Ada rasa bangga dan puas ketika skripsi yang dibuat dengan sungguh-sungguh akhirnya selesai dan dipertanggungjawabkan.

Tetapi ini bukan pilihan mahasiswa, tapi program universitas bukan? Dan universitas adalah tingkat pendidikan tinggi setelah lulus sekolah sebelumnya. Maka sebenarnya wakanda mengarahkan generasi mudanya ini dengan target pendidikan seperti apa? Tentu saja karena wakanda adalah negara bukan bukan arahannya pun dari dulu tidak jelas. Meski mayoritas warganegaranya muslim.

Dalam Islam, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi laki-laki dan juga wanita. Bahkan Allah Swt. memberi derajat yang lebih tinggi kepada setiap orang yang berpengetahuan. Firman Allah, “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadalah: 11).

Rasulullah Saw juga bersabda dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah no 224).

Pendidikan di dalam Islam, baik asas maupun kurikulumnya dilandasi oleh akidah Islam. Melalui pendidikan Islam, anak-anak dibekali pemikiran dan ide-ide sesuai dengan akidah Islam sehingga anak-anak tumbuh menjadi muslim sejati dan mengaplikasikan ilmu pengetahuannya di dalam kehidupan.

Pengajaran tsaqafah Islam diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Tsaqafah Islam tidak sebatas akhlak dan akidah, tetapi juga menyangkut muamalah, ekonomi, sosial budaya, politik, hingga pemerintahan yang semua itu dilandasai oleh akidah Islam.

Sedangkan ilmu pengetahuan sains dan teknologi diajarkan sesuai kebutuhan, kemampuan, dan tanpa paksaan. Jika seseorang berkeinginan mendalami ilmu kedokteran, maka ia akan diberikan ilmu tersebut. Semuanya diperoleh dengan mudah, tanpa persyaratan yang berbelit-belit.

Oleh karena pendidikan adalah kewajiban bagi setiap individu, maka pemerintah yakni khalifah bertanggung jawab penuh agar warganya mendapatkan pendidikan tanpa membedakan status sosial kaya atau miskin dengan biaya yang ditanggung oleh negara. Negara juga bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bagi rakyatnya seperti sekolah, perpustakaan, dan laboratorium. 

Dengan demikian, akan lahir generasi unggul yang berakidah Islam, berwawasan, dan menguasai ilmu pengetahuan sebagaimana masa-masa keemasan dahulu di mana Dunia Islam yang berpusat di Bagdad pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia.[]

Oleh: Retno Asri Titisari
(Dosen Online 4.0 Diponogoro)


Posting Komentar

0 Komentar