TintaSiyasi.com -- Begini pembahasan Ustaz Fauzan alBanjary, pada dunia kesehatan seperti profesi perawat atau dokter. Yang sering terjadi antara mereka dengan pasien adalah akad ijarah. Apakah sudah sah atau belum. Ijarah dalam syariat Islam, menurut istilahnya adalah akad atas manfaat. Konsultan kesehatan tersebut memaparkan, jika manfaat datang dari benda disebut manfaat guna atau manfaat saja. Jika itu datang dari manusia maka disebut jasa. Ijarah bisa terjadi pada benda atau manusia. Yaitu pada dirinya atau pada jasa yang diberikan.
"Dalam pengertian yang lain, ijarah itu adalah kepemilikan dari ajir oleh musta'jir atas manfaat si ajir. Kepemilikan suatu manfaat dari si ajir. Sebaliknya bagi si ajir, orang yang dipekerjakan. Ia memiliki harta dari orang yang mempekerjakan ini. Jadi ijarah itu adalah kepemilikan suatu manfaat dari ajir oleh mustajir, dan sebaliknya kepemilikan harta dari musta'jir oleh ajir. Kepemilikan harta ini maksudnya adalah upah, ungkapnya dalam video yang berjudul Mewaspadai Akad-akad Bathil dalam Dunia Kesehatan di kanal YouTube HELPS Kajian episode #Kajian127, pada hari Ahad, (13/10) lalu.
Dan yang perlu kita perhatikan adalah dalam Islam ajir itu dari jenisnya, pertama bisa saja itu adalah orang yang melakukan amal/bekerja pada orang individu saja dengan waktu tertentu. Orang yang melakukan pekerjaan di pabrik, di kebun-kebun, di lahan pertanian kepada seorang dengan upah tertentu. Atau dia itu adalah seorang pegawai negeri pemerintahan di setiap/seluruh departemen kemslahatannya, paparnya.
Orang yang bekerja pada orang lain ini, swasta atau pemerintah disebut ajirul khos atau ajirotul syakhsi. Sedangkan yang kedua orang yang melakukan waktu pekerjaan tertentu pada siapa saja dengan upah tertentu, baik itu menjadi tukang batu, penjahit, membuka praktek dokter/kebidanan, itu semua adalah bentuk profesi. Ini disebut ajirul mustaraf/ajir am, orang yang bisa menerima siapa saja (orang yang mempekerjakan diri sendiri). Pada profesi di bidang kesehatan, biasanya dokter/bidan yg bekerja pada suatu instansi atau klinik sendiri, ini bisa jadi ajirul khas atau ajirul am. Atau dalam waktu bersamaan dia ajirul khas maupun am. Pada waktu tertentu dia dinas, pada waktu tertentu dia praktek sendiri. Oleh karena itu harus memenuhi hukum-hukum ijarah. Adapun ijarah supaya sah harus ada dua pihak yang berakad, ungkapnya.
Kalau dokter dengan pasiennya, kalau dokter bekerja di suatu instansi maka dokter menjadi ajir pada rumah sakit sebagai mustajir. Kemudian obyek akad adalah manfaat/jasa yang dia berikan menjadi standard upah. Dan harus ada sigot atau ijab qobul. Sesungguhnya transaksi yang terjadi di klinik antara dia dengan pasien itu harus memenuhi rukun ijarah. Jika tidak memenuhi rukun ijarah maka jadi tidak sah, jelasnya.
Syarat-syarat tentang dua pihak ini, harus baligh, harus berakal, kemudian dia mampu melakukan aktivitas ijarah itu, baru dia sah. Untuk al aqidani ini saya pikir sudah terpenuhi, secara umum karena tidak bisa orang itu bekerja melakukan aktivitas kecuali sudah mencapai umur. Kemudian tentang sigot ini juga penting tapi ini mudah, ijab disini berarti perbuatan yang menunjukkan bahwa kita bertransaksi. Bisa saja harus diucapkan atau tidak diucapkan. Misalkan menerima pelayanan langsung dari dokter maka, itu berarti dia melakukan ijab dan qobul dengan perbuatan tidak perkataan. Untuk hal-hal remeh boleh dengan perbuatan, untuk hal-hal besar itu harus ijab qobul perkataan/tulisan. Kalau transaksinya sudah besar mestinya dengan ijab qobul yang jelas supaya tidak terjadi perselisihan, tambahnya.
Ustaz Fauzan memaparkan, yang harus kita bahas lebih mendalam itu dari sisi manfaat, pada sisi manfaat ini ada syarat yang harus dipenuhi yaitu manfaat harus mubah (yang jelas, tidak ghoror), bisa diserahterimakan, orang bisa merasakan manfaat itu, ini kalau berhubungan dengan benda, harus dijamin bahwa pemanfataan tidak menghabiskan zat bendanya.
Misalkan ijarah lilin, sifatnya akan habis, maka tidak boleh. Kita bicaranya manfaat jasa. Bahwa manfaat itu adalah sesuatu yang memiliki nilai, bukan sesuatu yang tidak memiliki nilai yang layak. Kemudian manfaat itu haruslah bisa dirasakan, dan orang yang mempekerjakan bisa mengambil manfaat dari jasa.
Ini terkait manfaat dari jasa. Agar semuanya jelas, tidak menjadi ghoror, harus jelas. Tidak menjadi masygul, supaya manfaat menjadi maklum.
Caranya bagaimana, yang pertama jenis pekerjaan, dalam akad harus jelas. Jadi kalau dokter akan melakukan tindakan apa, itu harus jelas, jika tidak jelas tidak sah ijarohnya. Bisa menyebabkan masygul, imbuhnya.
Kemudian ada waktu, ada yg memang harus menyebutkan waktu. Ini juga harus jelas. Ada juga yang tidak jelas, misalkan dalam pengobatan pasien, dokter tidak bisa menentukan kapan kesembuhan pasien, maka yang bisa dilakukan apa, melakukan tindakan apa, dan sampai kapan itu harus jelas. Karena ini berhubungan dengan upah, yang akan diberikan pasien kepada dokter. Ini mudatul amal. Supaya jelas manfaat yang diambil, jika tidak maka akadnya tidak bisa dianggap sebagai sesuatu ijarah yang sah. Begitu juga orang bekerja di klinik. Harus jelas waktunya, apakah satu tahun, atau dua tahun kah itu harus jelas. Jika tidak bisa menyebabkan tidak sah, jelasnya.
Yang penting juga menjadi obyek dalam rukun ijarah itu adalah upah. Hartanya harus mubah, tidak boleh dari yang najis, harus yang suci, tidak boleh membayar orang dengan khamr, kotoran binatang meskipun kotoran binatang tersebut berharga. Misalnya seorang pengusaha pupuk kandang, itu berharga maka membayar dengan kotoran, tambahnya.
Ustaz Fauzan mengungkapkan, kemudian upah diketahui dengan maklum, dengan jelas dapat diserahterimakan, dapat dimanfaatkan dan milik yg menyewa tenaga/jasa. Diperincikan dengan upahnya ijarotul amal, upah harus disebutkan dalam kontrak kerja, disebutkan/diberitahukan dalam akad ijarah, baik itu dokter ke pasien, bidan ke pasien, harus disebutkan dalam transaksi sebelum melakukan tindakan.
Dalilnya, "Apabila salah seorang mengontrak tenaga seorang pekerja maka hendaklah diberitahukan kepadanya upahnya." Biasanya yang menawarkan upah dari musta'jir kepada ajir, kebalikannya yaitu dari ajir yang menawarkan upah itulah yang menjadi akad mereka. Kalau akad tidak jelas maka akad jadi fasad. Jadi upah ini wajib disampaikan/diberitahukan kepada pekerja.
Hadiah yg diberikan kepada ajir, bukan riswah. Hadiah atau hibah adalah harta yang diberikan kepada pegawai/pejabat/pekerja tanpa kompensasi apapun. Kebanyakan masyarakat menganggapnya boleh, karena menganggap tidak ada kepentingan tertentu. Berbeda dengan riswah. Dalil hadiah dengan riswah berbeda. Dalil larangan riswah sendiri. Sedangkan dalil hadiah, hadiah kepada pegawai/pekerja itu adalah bagian dari gratifikasi, paparnya.
Hukum pemberian hadiah: para ulama menyimpulkan seorang pegawai menerima hadiah hukumnya adalah haram. Hukum menerima hadiah terbagi menjadi dua: akad ijarotul amal dan ijarotul syakhsi. Menerima hadiah itu hukumnya haram, karena dalam hadist mengandung ilat, karena dia diberi hadiah karena posisinya sebagai pegawai/pejabat. Dan dia sudah mendapat upah atas pekerjaannya itu. Oleh karena itu haram hukumnya, bagi dokter yang bekerja di suatu rumah sakit kemudian menerima hadiah dari pasien, detailer/farmas, maka hukumnya haram menerima hadiah itu, tegasnya.
Ustaz Fauzan menjelaskan, berdasarkan dalil, yang artinya: "Barangsiapa yang kami angkat sebagai pegawai untuk melakukan suatu pekerjaan lalu kami sudah memberikan gaji, maka apa saja yang kamu ambil diluar gaji itu adalah harta khianat".
Hadis yang terdapat dalil: "Tidak halal jika seorang pegawai mendapatkan tambahan atas apa-apa yang telah ditetapkan baginya." Hadits ini juga dalil: "Apa saja yang diambil selain gaji adalah termasuk harta ghulul/harta khianat."
Ini berbeda kalau hadiah itu diberikan kepada ajirul am/ijarotul amal. Seorang profesional yang membuka jasanya sendiri. Maka hukumnya adalah jaiz/boleh, sebab pekerja tersebut tidak dipekerjakan oleh pihak lain. Ilatnya hilang. Larangan hadiahnya hilang. Menjalankan sebuah pekerjaan dimana dia akan mendapatkan ujroh krn menunaikan pekerjaan. Pemberian hadiah tersebut bisa dikategorikan sebagai bonus yang diberikan oleh mustajir kalau itu datang dr pasiennya kepada yang diberi pekerjaan/dokter, tambahnya.
Oleh karena itu hukumnya mubah menerima hadiah bagi dokter yg praktik mandiri di kliniknya sendiri itu sebagai ajir am atau ijarotul amal dan tidak bekerja menjadi pegawai bagi pihak lain. Artinya dokter itu hanya memperoleh upahnya langsung dari praktiknya terhadap pasien, bukan gaji oleh pihak lain. Karena hadiah ini bisa dianggap bagian dari fee/ komisi/ bonus, kalau itu terkait dengan para detailer dari farmasi misalnya, itu adalah komisi dari samsaroh jual beli. Selama samsarohnya itu memenuhi segala rukun dan syaratnya maka pemberian detailer farmasi/apotik kepada dokter itu seperti memberangkatkan seminar internasional kah, mau memberikan mobil kah, dan seterusnya itu adalah bagian dari fee/,komisi. Jadi dokter itu adalah perantara antara perusahaan farmasi dengan pasien. Samsaroh sendiri adalah hak yang diperbolehkan berdasarkan hadis-hadis Rasulullah SAW., pungkasnya. [] Tari Handrianingsih
0 Komentar