TintaSiyasi.com -- Memperingati kembali maulidnya Nabi SAW, ulama Aswaja, Kiai Rokhmat S. Labib mengatakan bahwa peringatan maulid harus mampu menambah kecintaan kepada Nabi SAW dan mewujudkan ketaatan kepada syariah-Nya secara kaffah.
“Peringatan maulid Nabi SAW bukan perayaan. Jadi, kegiatan maulid bukanlah kegiatan hari raya. Tetapi kegiatan zikro limaulidin Nabi SAW. Dengan peringatan ini kita harapkan mampu menambah kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, yang kemudian mewujudkan ketaatan pada syariah agama-Nya secara kaffah. Dan berjuang untuk menegakkannya dalam kehidupan,” ujarnya via daring kepada TintaSiyasi.com, Kamis, 28 September 2023.
Kata Kiai Labib, ayat yang selalu dibacakan tentang Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an Surat, Al-Ahzab ayat 21, yang maknanya begitu dahysat ketika Allah meyakinkan manusia tentang Nabi saw sebagai uswatun hasanah.
“Sering kali kita diingatkan oleh satu ayat yang tadi dibaca oleh Qari’, laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanatul limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā. Ayat ini pendek tapi memberikan makna luar biasa, untuk menunjukkan sungguh, benar-benar, betapa dashyatnya Allah yang Maha benar untuk meyakinkan kita, pada Rasulullah ada uswatun hasanah,” imbuhnya.
Selanjutnya, ulama Aswaja yang akrab disapa Kiai Labib itupun menjelaskan bahwa kalimat uswatun hasanah fi Rasululillah memberikan makna diantaranya adalah lil ishtisas, khusus pada diri Rasulullah. La fii ghairi, bukan pada yang lain.
Seperti dalam Al-Qur’an disebutkan, iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in. Maknanya adalah hanya untuk Allah, bukan yang lain. Ketika disebutkan atas Allah orang-orang mukmin itu bertawakal, maknanya kepada Allah bukan kepada yang lain. Allah menegaskan demikian supaya manusia tidak salah.
“Maka ketika didahulukan fii Rasulillahi lalu disebut uswatun hasanah, maknanya adalah ikhtishos. Teladan yang baik itu hanya pada diri Rasulullah SAW. Bukan selainnya. Kalau ada yang lain, itu adalah cerminan Rasulullah SAW. Seperti sahabat, tabi’in. Bukan fi Adam Smith, bukan fi Jhon Lock, bukan fi Karl Marck dan segala tokoh yang sekarang banyak diikuti kaum Muslim,” lanjut ia jelaskan.
Kiai Labib menjelaskan, bahwa kalimat yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab ayat 21 tersebut, Allah menyebutkan kata Rasulullah bukan Muhammad. Artinya, yang diikuti itu adalah Muhammad sebagai utusan Allah, yang dipilih untuk menyampaikan risalah dan petunjuk bagi manusia. Muhammad adalah manusia biasa tetapi menerima wahyu dan menjadi pilihan Allah SWT, hingga tentu Nabi SAW bukanlah sembarangan pilihan.
Ia juga menekankan bahwa siapapun yang taat kepada Rasul, hakikatnya adalah ketaatan kepada Allah SWT. Bahkan, Rasulullah SAW adalah sayyidul anbiya warrasul, imamul anbiya, yaitu pemimpin para nabi.
Pada saat Isra Miraj di masjid Al-Aqsa, Nabi SAW dijadikan imam para nabi. Dan risalah yang diturunkan kepada Muhammad SAW adalah risalah yang paripurna. Dan tidak ada yang mampu menyentuh Al-Qur’an itu di Lauhul Mahfuz, kecuali mereka yang disucikan.
Dalam kesempatan tersebut, Kiai Labib juga menyampaikan jalan turunnya Al-Qur’an yang mulia. Ia mengungkapkan, bahwa sebelum Al-Qur’an diturunkan, jin-jin biasanya mengambil tempat di langit untuk mendengarkan berita-berita langit.
“Tahu bagaimana Al-Qur’an itu diturunkan? Dalam surat Jin disebutkan, para jin sebelum turunnya Al-Qur’an, biasa mengambil tempat di langit untuk mendengarkan berita-berita langit. mereka dulu bisa duduk-duduk di langit untuk mendegarkan berita langit. Lalu pembicaraan malaikat mereka dengar, boleh jadi itu sedikit lalu diberikan pada dukun. Dukun kemudian menyebarkan kepada manusia diitambahi dengan sekian kebohongan,” jelas Kiai Labib.
Namun, tatkala Al- Qur’an diturunkan, semua dibersihkan. Tidak ada lagi jin-jin yang nongkrong untuk mendengarkan berita langit. Betapa dahsyat proses turunnya Al-Qur’an sampai kebiaasaan para jin mencuri beriita langit dibersihkan.
Al-Qur’an diturunkan oleh sayyidul malaikah, pemimpinya apara malaikat, bukan sekedar malaikat. Begitulah dahsyatnya wahyu dari Allah dibawa dari Lauhul Mahfudz, tidak tersentuh kecuali hamba yang disucikan. Dibawa oleh malaikat yang mulia, turun ke dunia, dan tidak ada satupun jin-jin yang mampu menyentuhnya.
Kemudian, Kiai Labib lanjut mengatakan bahwa manusia harus memiliki guru karena hanya manusia biasa. Sedangkan Nabi saw adalah manusia terbaik, tidak membutuhkan guru, karena langsung diajari oleh Malaikat Jibril. Sehingga, jika mnusia tidak punya guru, maka berbahaya.
Uswah Adalah Qudwah
Rasulullah SAW dikatakan sebagai uswah oleh Allah swt dalam Al-Qur’an, menurut Kiyai Labib, maknanya adalah kudwah, yaitu teladan yang harus diikuti.
“Apa itu uswah? Uswah adalah qudwah. Teladan yang diikuti. Makna teladan adalah segala yang dikatakan Nabi harus dikerjakan kalau dalam soal perbuatan,” jelas Kiai Labib.
Dengan kata lain, perbuatan yang dikerjakan Nabi SAW, harus dikerjakan dengan meneladaninya. Semisal Nabi SAW berdiri, maka kaum Muslim harus berdiri juga. Ketika Nabi SAW mewajibkan sesuatu, mensunahkan, maka tidak boleh dikerjakan sebaliknya.
“Li ajlih fi’lihi. Kita meniru perbuatannya. Jadi kalau cuma sekedar kebetulan sama, beliau berdiri kita berdiri, artinya bukan karena megikuti beliau. Hakikatnya ketika kita menjadikan Nabi SAW sebagai uswah, maka kita mengikuti nabi sesuai dengan hukumnya. Dan benar-benar berniat untuk mengikuti beliau,” kata Kiai Labib lanjut.
Kiai Labib menjelaskan, kalimat limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā, bagi orang yang mengharapakan Allah dan hari akhir, akan mengikuti Rasulullah sebagai uswah. Dan seperti yang selalu didoakan kaum Muslim diantara harapan yang dimaksud adalah safaat Rasullah SAW.
Penjelasan selanjutnya dari kalimat limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā oleh Kiai Labib mengatakan, kalimat tersebut adalah bentuk berita, atau dalam bahasa Arab disebut jumlah khabariyah. Tetapi maknanya al-amar atau perintah.
“Apa buktinya? Karena ada limang kāna yarjullāha wal-yaumal-ākhira wa żakarallāha kaṡīrā yang maknanya, orang yang tidak beriman, tidak mengharapkan hari kiamat, tidak mengharapkan Allah dan tidak mengharapkan serta tidak mengingatnya, pasti tidak mengikuti Rasulullah. Maka itulah qarinah yang menunjukkan secara pasti bahwa menjadikan Rasulullah SAW itu sebagai uswah adalah wajib,” tegasnya.
Dan kewajiban mengikuti Nabi SAW bukanlah terbatas hanya dalam satu perkara saja. Melainkan semuanya. Seperti yang disebutkan oleh Al Imam Ibnu Katsir, ayat ini adalah dalil bahwa kita harus mengikuti Nabi SAW fi afwalilhi, waaqwalihi. Semua yang diperintahkan oleh Rasulullah.
Rasulullah SAW Uswah Sempurna dan Paripurna
Kiai Labib menegaskan bahwa Rasulullah adalah uswah yang sempurna dan paripurna. Terbukti ketika terjadi perang ahzab, Rasulullah adalah seorang kepala negara yang terlibat langsung dalam peperangan. Bukan bersembunyi.
“Maka ketika ada pasukan yang ingin menyerang Madina, sebagai kepala negara, Rasulullah tidak bersembunyi. Kaum Muslim juga tidak hanya sekedar mengatakan, ayo kita ke masjid berdoa pada Allah SWT agar dihancurkan tentara-tentara kafir,” sebut Kiai Labib.
Sebagai kepala negara kata Kiai Labib, Nabi SAW menyuruh untuk mengumpulkan para sahabat, para ahli perang, dan mencari cara menghadapi pasukan azhab ynag jumlahnya ratusan ribu. Sementara kaum Muslim hanya terhitung sepuluh ribu saat itu.
Selanjutnya, Kiai Labib mengisahkan sosok ahli perang, Salman Al-Farisi yang membuat parit agar musuh terhalang masuk kota Madinah. Kaum kafir belum datang memerangi, mereka sudah tamat di parit. Dan jangan dibayangkan Madinah seperti Jakarta atau Bogor. Bebatuan yang digali oleh Nabi SAW dan para sahabat adalah batu-batu cadas.
“Mereka siang-malam tak kenal lelah membuat parit itu. Rasululah sebagai kepala negara, panglima perang, tidak berada di istana memerintahkan pasukan berjibaku membuat parit. Beliau mencontohkan sebagai pemimpin terjun langsung, ikut menggali parit. mereka bahkan tidak merasakan makanan dan minuman selama tiga hari. Digambarkan perut mereka diganjal dengan batu,” terangnya.
Menurutnya, belum ada pemimpin demikian hingga ikut mengangkut batu-batu dan memecahkannnya. Inilah gambaran seorang pemimpin yang uswah hasanah. Sebagai pemimpin perang saat itu, mencerminkan perang mengadapi musuh.
Selain itu, saat peristiwa memecahkan batu pada perang Ahzab, Kiai Labib juga menyebutkan bahwa Nabi SAW juga menyampaikan bisyarah.
“Seorang sahabat bertanya, kenapa engkau tersenyum wahai Rasulullah? Jawab Rasul, aku melihat pada kilatan pertama, Kisrah dan kota-kotanya. Kedua, aku melihat Kaisar dan kota-kotanya. Itu menunjukkann kaum muslim sedang dikepung oleh musuh. Tetapi juga diisyaratkan bahwa kita tidak hanya menerima serangan musuh, maka kelak kita juga akan datang menyerang musuh. Untuk menaklukkan mereka agar tunduk kepada Islam,” bebernya.
Bukan hanya sebagai individu, atau kepala kekuarga kaum Muslim meneladani Nabi SAW. Tetapi juga termasuk agar meniti jalan seperti Rasulullah untuk menuju perubahan menegakkan khilafah. Itulah yang seharusnya dicontoh. Begitulah cara Nabi saw yang sudah berhasil menegakkan negara di Madinah.
Jadi kaum Muslim, saat ini kita tak punya negara, jangan gunakan cara-cara yang tidak ditempu oleh Rasulullah SAW. Tidak akan pernah berhasil dan tidak akan diridhoi oleh Allah SWT. Kegagalan seperti sekarang yang dialami oleh umat katanya, karena tidak menjadikan Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah.
Tidak menjadikan syariat-Nya sebagai aturan dalam kehidupan. Sehingga yang terjadi justru ketidakberhasilan dan penistaan. Sebab telah berpaling dari peringatan Allah, yang akhirnya mendapatkan penghidupan yang sempit.
Maka jika ingin berhasil, ingin sukses, mendapat ridhanAllah SWT, yang dilakukan adalah mengikuti Rasulullah SAW. Dan kegagalan seperti sekarang kita lihat, kaum Muslim terus menderita akibat tidak menjadikan Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah, tidak menjadikan syariat-Nya sebagai aturan dalam kehidupan. Hingga terjadi malah penistaan. Tak ada pilihan lain kecuali menjadikan Rasulullah SAW sebagai uswatun hasanah,” pungkasnya. [] M. Siregar
0 Komentar