TintaSiyasi.com -- Menanggapi terjadinya kasus perampasan tanah dan lahan warga Rempang oleh pemerintah, Aktivis Muslimah Ustazah Rif'ah Kholidah menjelaskan bagaimana sebab terjadinya Kepemilikan tanah atau lahan oleh seseorang dalam Islam Menjawab bertema Bagaimana Hukum Mengambil Lahan Orang Lain? di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (8/10/2023).
Ustazah mengatakan, konflik tanah antara penguasa dengan rakyat belakangan ini marak terjadi. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat bahwa dalam waktu 8 tahun selama pemerintahan Joko Widodo terdapat 2.710 konflik lahan di seluruh Indonesia, dan 73 di antaranya merupakan konflik lahan akibat Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Seperti konflik lahan pembangunan jalan tol Padang sampai Pekanbaru, konflik Bendungan Wadas di Kabupaten Purworejo, konflik Pulau Rempang Galang, dan lainnya," sebutnya.
Ia menceritakan, konflik Pulau Rempang ini terjadi berawal dari penolakan warga terhadap proyek Rempang Eco City. Dimana proyek ini akan membuat ribuan warga Rempang terancam kehilangan tempat tinggal yang sudah mereka huni secara turun temurun selama ratusan tahun yang lalu. Mereka menolak keras janji manis pemerintahan terkait dengan penyiapan hunian tetap atau relokasi bagi masyarakat yang terdampak.
"Atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Perampasan hak tanah dan lahan rakyat menjadi dalih pembenaran bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan para oligarki," mirisnya.
Dalam kasus Rempang ini, katanya, pemerintah berdalih bahwa warga tidak mempunyai hak terhadap kepemilikan dan manfaat lahan karena tidak mempunyai sertifikat tanah. Dengan alasan itulah, maka sejak tahun 2001 pemerintah pusat dan BP Batam menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk perusahaan swasta.
"HPL ini kemudian berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha (MEG) dimana dari kasus ini ada indikasi bahwa dalam menentukan kepemilikan lahan, pemerintah menggunakan hukum kolonial Belanda yaitu domain faclaring, yakni lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan, secara otomatis beralih menjadi milik negara, dan negara berwenang untuk mengelola lahan itu, termasuk menyerahkan lahan tersebut kepada Asing atau pihak yang lain," imbuhnya
Lalu, katanya, bagaimana Islam mengatur tentang kepemilikan lahan atau tanah? Dan bagaimana hukum mengambil lahan atau tanah milik orang lain?
"Pada dasarnya, lahan atau tanah adalah bagian dari alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Dia lah sebagai pemilik yang hakiki atas lahan atau tanah tersebut. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur'an surat Al-Hadid ayat 2
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ia menjelaskan, ayat ini menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu, termasuk tanah atau lahan adalah milik Allah semata. Kemudian, Allah sebagai pemilik sejati, memberikan kuasa istikhlaf kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum Allah SWT. Sebagaimana dalam surat Al-Hadid ayat 7.
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ ۖ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
"Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar".
"Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan dalil asal usul kepemilikan atau Al-aslul milki adalah Allah, dan manusia tidak punya hak kecuali memanfaatkan atau melakukan tasharruf dengan cara yang telah diridai oleh Allah SWT. Maka, atas dasar inilah tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah kecuali dengan hukum Allah saja," jelasnya.
Lebih jauh ia menerangkan, syariat Islam telah menjelaskan hukum tentang cara-cara memperoleh kepemilikan tanah. Syekh Abdurahman Al Maliki dalam kitabnya Asasul Aqdi fil maali halaman 56 menjelaskan cara-cara memperoleh kepemilikian tanah dengan cara di antaranya adalah pertama yaitu melakukan transaksi jual beli, kedua, dengan perolehan harta waris, ketiga dengan adanya hibah atau pemberian, keempat, dengan melakukan ihya'ul mawat atau menghidupkan tanah yang mati.
"Kelima, melakukan tagyir yaitu memagari atau membuat batas-batas pada tanah yang mati, seperti menaruh bebatuan, memagari, menaruh kayu, balok, membuat tembok, dan yang lainnya. Maka, sesuatu yang menunjukkan atas pembatasan tanah dan pemisahan dari yang lain dengan batas-batas tersebut, maka itu dianggap memagari.
Kemudian keenam, dengan cara tanah yang diberikan oleh negara secara gratis atau cuma-cuma. Tanah i'tha' ini adalah tanah yang sudah dipagari, tetapi tidak ada pemiliknya. Maka dengan demikian negaralah yang memilikinya dan negara boleh memberikan kepada rakyatnya sebagaimana Rasulullah SAW memberikan tanah kepada Abu Bakar dengan cuma-cuma atau gratis. I'tha' ini adalah hukumnya mubah dengan dalil perbuatan Rasulullah SAW.
"Itulah cara-cara yang syar'i bagi seseorang untuk memiliki lahan atau tanah. Namun demikian, syariat Islam juga mengingatkan kepada para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahan atau tanahnya selama tiga tahun, karena penelantaran seperti itu akan menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan itu, dan selanjutnya lahan tersebut akan diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijma sahabat pada masa Khalifah Umar bin Khattab," paparnya.
Ia menyebut, berkaitan tanah yang ada di Pulau Rempang yang sudah dihuni beratus-ratus tahun lamanya dengan menghidupkan tanah yang mati, maka mereka adalah pemilik yang sah secara Syariah, ketiadaan sertifikat tidak boleh bagi negara bertindak semena-mena untuk mengambil lahan milik warga yang sudah turun temurun mereka kelola dan huni.
"Maka dengan demikian, mengambil tanah atau lahan milik orang lain tanpa alasan yang syar'i adalah perbuatan ghasab dan zalim yang diharamkan oleh Allah SWT. Rasulullah SAW telah mengancam kepada para pelaku yang mengambil tanah milik orang lain dengan siksa yang pedih, sebagaimana dalam hadis Rasulullah SAW.
«مَنْ ظَلَم قِيدَ شِبْرٍ مِن الأرْضِ؛ طُوِّقَهُ مِن سَبْعِ أَرَضِين». [متفق عليه]
"Siapa yang berbuat zalim (dengan mengambil) sejengkal tanah, maka akan dikalungkan di lehernya tujuh lapis bumi."
Ustazah mengatakan, tidak bisa dibayangkan ketika seseorang mengambil sejengkal tanah saja kemudian siksanya seperti itu, apalagi kalau orang itu mengambil berhektar-hektar tanah, bahkan ratusan hektar, maka siksanya lebih pedih daripada itu.
"Sehingga, sengketa dan perampasan lahan tidak akan pernah tuntas selama tidak dikelola dengan hukum syariah," tegasnya.
Menurutnya, sistem sekularisme kapitalis yang diterapkan hari ini terus akan mengancam para pemilik lahan. Mereka akan kesulitan untuk mendapatkan lahan pengakuan atas pemilik lahan mereka. Sebaliknya, penguasa lebih berpihak kepada para oligarki dan koorporasi atas nama investasi.
"Maka, hanya dengan penerapan Islam lah yang memberikan perlindungan yang menyeluruh dan keadilan untuk semua umat manusia," tutupnya [] Nurmilati
0 Komentar