Palestina: Negara Bangsa yang Dipaksakan


TintaSiyasi.com -- Syam adalah sebuah negeri metropolitan pada jamannya. Bangsa-bangsa besar di dunia ingin memiliki pengaruh disana. Yunani, Romawi, Persi, Qibty, Sayur, Babilon dan beberapa bngasa lainnya pernah menguasai wilayah Syam secara bergantian sepanjang jaman.

Oleh karena itu konflik dan peperangan kerap kali terjadi. Maka tidak mengherankan jika penduduk Syam terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama yang dulu pernah saling menguasai maupun para pendatang dari yang berdagang disana, termasuk bangsa asing yang disebut filistin.

Pada era Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, umat Islam sudah melakukan upaya dakwah dan jihad ke wilayah Syam. Namun demikian baru pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Syam dan Mesir berhasil dibebaskan dari kekuasaan Romawi Timur atau Bizantium. 

Oleh karena itu penduduk asli negeri Syam saat penaklukan Khalifah Umar bin Khattab sebagian besarnya beragama Nasrani, dan sedikit sekali yang beragama Yahudi. Setelah penaklukan itu umat Islam banyak berada disana.

Awalnya pasukan Muslim hanya tinggal di benteng-benteng pertahanan saja. Mereka membiarkan aktifitas pertanian, kerajian dan perdagangan penduduk asli berjalan seperti biasa, persis dengan kondisi sebelumnya.

Para pedagang bangsa Arab yang beragama Islam biasa berinteraksi dengan pedagang Yahudi atau pedangang Arab Kristen seperti sebelumnya, tidak ada yang berbeda.

Hanya jizyah dan kharaj saja yang mereka ambil sebagai tuntunan hukum Syariah bagi para Ahlu Dzimah. Interaksi umat Islam terhadap mereka lebih kepada kegiatan kepengurusan dan dakwah.

Namun demikian, pada saat berjangkitnya wabah tho'un, penduduk Syam dari berbagai bangsa banyak yang meninggal dunia. Bahkan sebagian besar pasukan muslim yang berjaga disana juga ikut terkena dampaknya. 

Tidak kurang 24000 orang pasukan Muslim meninggal dunia. Sisanya segera memindahkan benteng penjagaan kelokasi lainnya. Saat itu banyak sahabat Nabi yang meninggal, sehingga Khalifah Umar merasa harus melihat secara langsung.

Pasca pandemi berakhir, hanya sedikit penduduk Syam yang tersisa. Hal ini kemudian yang mendorong umat Islam dari Jazirah Arab berpindah kesana. Jadi, bukan orang filistin yang entah ada dimana yang menjadi penduduk Syam pasca terjadinya wabah Tho'un.

Sehingga ketika Muawiyah ditugasi untuk menjadi Wali atau gubernur Syam, ia berhasil mendapatkan dukungan dan simpati dari penduduk Arab Kristen lokal maupun penduduk Arab muslim imigran.

Di wilayah Syam inilah Muawiyah di kemudian hari berhasil membentuk kekuasaan Bani Umayyah. Pusat pemerintahan kekhilafahan pada akhirnya dipindah ke bumi Syam dari tempat sebelumnya.

Ketika masa pemerintahan kekhilafahan Turki Utsmani, penduduk yang tinggal di wilayah Syam juga tidak pernah menganggap diri mereka sebagai orang Filistin atau Palestina. Mereka menyebut diri mereka adalah penduduk Syam. 

Saat ini yang diopinikan sebagai Palestina hanyalah sebagian kecil wilayah di Tepi Barat dan jalur Gaza. Hal itu tentu sangat jauh dari harapan kaum muslimin dan penduduk Syam yang sudah ribuan tahun beranak-pinak disana.

Nama Palestina adalah bentuk dari antitesis yang diberikan Zionis Yahudi bagi sebagian rakyat Syam agar negara Israel bisa terbentuk. Sejak akhir Perang Dunia ke I Inggris menguasai daerah tersebut.

Pada Akhir Perang Dunia II Inggris hengkang dan diganti dengan kaum Zionis. Pada tahun 1963 PLO dibentuk untuk membebaskan Palestina, namun di tahun 1993 PLO mengakui Israel merdeka. Sebuah tontonan komedi.

Semua konflik yang terjadi di wilayah Syam, tentang Israel Palestina, tentang solusi dua negara dan lain sebagainya adalah operasi cipta kondisi. Mungkin hal ini susah untuk dimengerti bahkan oleh sebagian umat Islam sendiri. Namun, ketika kita memahami perbandingan ideologi berupa aqidah dan aturan hidupnya, kita bisa lebih untuk mudah memahami.

Perasaan umat Islam yang telah ditarik oleh para penjajah kepada Palestina, segala pemikiran bahkan juga dana, seolah-olah tidak menuju pada penyelesaian masalah yang terjadi disana. 

Umat Islam di Tepi Barat, jalur Gaza, Al Quds, seolah-olah seperti disiksa, diobati, diberi makan seadanya, lalu dipukuli lagi agar seluruh Umar Islam menjadi sakit hati. Begitulah yang terjadi.

Oleh karena itu harus ada sekelompok orang dari umat yang berjuang untuk menyadarkan dan membangkitkan pemikiran mereka, bahwasanya umat Islam itu satu dan tidak boleh dipecah-pecah dalam ikatan ashobiyah kebangsaan yang sangat rendah nilainya. 

Kita harus memiliki visi dan misi persatuan umat Islam. Kita harus memperjuangkan penduduk Syam dengan dengan cara dakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam, bukan sekedar solusi dua negara kebangsaan. 

Wallahu A'lam bish Shawwab.


Oleh: Trisyuono D.
Pemerhati Sejarah 

Posting Komentar

0 Komentar